Ketika saya hendak mulai menulis makalah ini, salah satu kawan di jejaring sosial twitter menulis demikian, “sejarah negara-negara di dunia membuktikan bahwa penegakan hukum yang tegas, keras dan adil adalah syarat utama dan fondasi bagi kemajuan ekonomi.” Bagi saya, apa yang dikatakannya di twitter itu punya keterkaitan dengan bahan yang akan menjadi rujukan utama saya dalam tulisan ini yakni bab X yang bertajuk “Law” dari buku Natural Law and Natural Right karya John Finnis.
John Finnis dikenal sebagai filsuf hukum yang berusaha mengembalikan peran moral ke dalam hukum yang oleh para filsuf aliran positivisme hukum dihilangkan perannya dalam pemikiran tentang hukum.[1] Hukum yang berlandaskan moral ini adalah salah satu ciri khas dari natural law yang kehadirannya dalam sejarah mendahului kehadiran hukum positivis. John Finnisi yang lahir pada 1940 ini adalah Profesor hukum dan Filsafat Legal di Universitas Oxford dan juga di Universitas Notre Dame.[2] Sejak 1989 ia sudah menjadi Profesor Hukum dan Filsafat Hukum dan sejak 1966 ia adalah tutor hukum di Universitas Collegge. Pada 1972-1989 ia menjabat sebagai Rhodes Reader pada Hukum Pesemakmuran Inggris dan Amerika Serikat.[3]
Seperti yang sudah saya katakan pada paragraf awal tulisan ini bahwa yang menjadi rujukan utama tulisan ini adalah Bab X dari sebuah karya penting John Finnis yakni Natural Law and Natural Right. Yang hendak tulisan ini tuju dengan menjadikan bab X tersebut sebagai rujukan adalah menunjukan ciri-ciri utama dan the rule og law sebagai pendasaran sebuah negara modern alias negara yang berdasarkan atas hukum. Untuk tujuan itu saya akan pertama memaparkan secara singkat apa yang diuraikan John Finnis dalam bab X karyanya tersebut. Selanjutnya, kedua, kita akan menunjukan relefansi pemikiran John Finnis tersebut dengan keadaan di Indonesia saat ini. Dan pada bagian ketiga kita akan memberikan semacam kesimpulan atas pemaparan ini.
Hukum Menurut Finnis: Dari Sangsi Hingga Hukum Alam sebagai Analogi
Kita tahu bahwa negara modern adalah negara yang berlandaskan atas hukum. Hal ini dilaksanakan karena negara tersebutlah yang menjadi pintu masuk Finnis dalam bab ini—yakni jika kita sesuaikan dengan judul yang diberikannya untuk bab ini, “Law”—sebelum membicarakan hukum dan definisi hukum lebih jauh adalah ia mengurai hubungan sanksi dan hukum. Sanksi bagi Finnis adalah sarana untuk mendidik orang. Karena sanksi adalah salah satu perangkat hukum, maka sesungguhnya ia pada tujuan terakirnya adalah untuk mencapai kebaikan bersama (common good). Selanjutnya, menurutnya sanksi tersebut pun bukan berarti menghilangkan kebaikan individu orang bersangkutan. Justru kebaikannya itulah yang diperjuangkan dengan memberinya sanksi. Karena sanksi diharapkan membawanya pada pelajaran tentang hukum dan selanjutnya tak akan ada lagi kesalahan dilakukannya.
Setelah membahas soal sanksi, Finnis sedikit membahas perihal “Unjust Punishment”. Di dalam bagian ini ia membahas apa itu Lembaga Hukum dan pada titik mana Lembaga Hukum ini bisa dikatakan diselewengkan. Lembaga Hukum pada dasarnya merupakan sebuah bentuk respons manusia pada kebutuhannya yang praktis. Berbeda dengan lembaga atau institusi lainnya, karena ia bernama lembaga hukum, maka tujuan praktis yang hendak dicapainya adalah menjaga atau melindungi kebaikan bersama yang adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Demikianlah, tujuan dari Lembaga Hukum adalah menjaga kebaikan bersama itu. Finnis lantas menekankan bahwa ketika sebuah Lembaga Hukum tidak menjalankan hal itu tetapi dijalankan untuk kepentingan lainnya semisal kepentingan seperti kepentingan pribadi atau individu maka lembaga tersebut sudah menjauhi prinsipnya.
Kemudian, Finnis memberi lima prinsip legal order yakni pertama hukum membawa definisi, secara spesifik, jelas, dan menjadi mungkin untuk interaksi manusia, dengan cara sistem peraturan-peraturan dan institusi-institusi yang mana institusi-institusi tersebutlah yang membuat dan mengelolah peraturan, dan membakukan eksistensi mereka, ruang lingkup, aplikatifnya dan operasinya.[4] Finnis lantas melihat bahwa dalam point pertama ini terdapat sesuatu yang aksiomatik yakni hukum menjadikan dirinya ada oleh kemampuannya sendiri. Pertanyaan yang mengikuti uraian ini adalah bagaimanakah hukum yang otoritatif bisa dilakukan oleh sesuatu yang tidak otoritatif? Pertanyaan ini rupa-rupanya mendapatkan jawabannya di poin ke dua.
Poin kedua tersebut adala legal sistem melandasi alasan keberadaan hukum pada peristiwa-peristiwa hukum di masa lalu.[5] Demikain penjelasan Finnis, “The primary legal method of showing that a rule is valid is to show (i) that there was at some past time, t1, an act (of a legislator, court, or other appropriate institution) which according to the rules in force at t1 amounted to a valid and therefore operative act of rule-creation, and (ii) that since t the rule thus created has not determined (ceased to be in force) by virtue either of its own terms or of any act of repeal valid according to the rules of repeal in force at times t2, t3…”[6] Jadi, alih-alih hukum legal mencari kemungkinan keberadaanya dari hal lain di luar hukum—seperti yang ditanyakan Finnis—hukum justru melandasi dirinya pada peristiwa-peristiwa hukum di belakangnya atau sebelumnya.
Hal ini bisa kita contohkan demikian. Sebuah peraturan tentang lelang misalnya ketika berlaku sekarang dia menempatkan atau mendapat legitimasinya dari masa lalu yakni waktu ketika hukum itu ditetapkan. Namun demikian, apa yang dibuat hari ini dalam bidang hukum dengan demikian selalu dipikirkan konsekuensi dan dampaknya untuk masa depan.
Poin ketiga adalah hukum harus memungkinkan pribadi-pribadi untuk menerapkan hukum atau aturan baik untuk dirinya sendiri atau pun dirinya dalam hubungan dengan orang lain.[7] Artinya bahwa hukum itu haruslah memberi kebebasan orang untuk pula membuat peraturan dan juga janji-janji untuk kepentingan dirinya dan juga dalam kaitan dirinya dengan orang lain. Hal ini misalnya bisa kita lihat pada pembuatan perjanjian bisnis, surat bermeterai, dsb.
Poin keempat adalah apa yang jelas dan terprediksi itu dapat dibawa ke dalam interaksi manusia dengan beragam teknik yakni, “… the treating of (usually datable) past acts (whether of enactment, adjudication, or any of the multitude of exercises of public and private ‘powers’) as giving, now, sufficient and exclusionary reason for acting in a way then ‘provided for”[8]. Di sini yang dimaksudkan adalah apa yang sudah dirumuskan dengan baik oleh hukum tersebut akan diaplikasikan dalam kehidupan manusia dengan beragam teknik yang memungkinkan dia terlaksana. Dan poin kelima adalah teknik ini diperkuat dengan sistem kerja di mana setiap pertanyaan atau problem koordinasi sekarang diatur oleh tindakan-tindakan juridis masa lalu. Poin kelima ini seperti mengulangi poin ke dua. Jika di poin ke dua penekanannya pada pendasaran, maka poin ke lima ini penekanannya pada tindakan. Setiap tindakan dari hukum pada masa kini selalu dilandasi dan mempelajari segala pengalaman dan tindakan hukum yang pernah terjadi di masa lalu.
Sebelum menjelaskan kelima poin ini, Finnis sebelumnya merujuk ke Max Weber dalam rangka menjelaskan perihal hukum dalam hubungannya dengan sanksi dan keotoritasan yang tersedia. Rujukannya atas Weber adalah dalam rangka menjawab pertanyaan, “would there be need for legal authority and regulation in a world in which there was no recalcitrance and hence no need for sanctions?”[9] Weber menemukan dalam kehidupan modern apa yang bisa disebut ‘hukum’ ada dalam sistem legal. Hukum untuk Weber adalah koordinasi otoritas (authoritative coordination) yang beroperasi dengan kepatuhan terhadap hukum, perintah-perintah hukum yang konsisten. Di sini berperan penting mereka yang berwenang yang menjalankan hukum dalam kapastitas mereka yang ditentukan oleh undang-undang.
Maka, kita sebenarnya bisa menarik garis apa yang dikehendaki oleh Finnis dengan memaparkan pemikiran Weber tentang hukum dan lima ciri hukum legal. Finnis menyimpulkan bahwa sebenarnya hukum menurut Weber dan hukum positif itu tidak terlalu ada bedanya. Keduanya, pengertian hukum Weber dan lima ciri hukum, bisa diartikan dalam dua pengertian yakni hukum sebagai hukum paksaan (coercive order) dan hukum mengatur ciptaanya sendiri.
Hal penting kedua yang hendak disampaikan Finnis dalam tulisan ini adalah perihal the rule of law. Yang dimaksudkan dengan the rule of law di sini adalah perintah berdasarkan hukum. Bisa kita artikan hal ini sebagai negara berdasarkan hukum yang merupakan ciri-ciri negara modern, dengan demikian merupakan ciri-ciri hukum modern pula. Demikian Finnis, “The name commonly given to the state of affairs in which a legal system is legally in good shape is ‘the Rule of Law’”.[10] The Rule of Law bisa dikatakan tercipta apabila sistem hukumnya menunjukan aspek-aspek sebagai berikut: (i) aturan itu prospektif, tidak berlaku surut, dan (ii) bersifat pasti terpatuhi (iii) aturan itu ditetapkan, (iv) jelas, dan (v) berkoheren dengan yang lain (vi) aturan itu cukup stabil sehingga memungkinkan orang untuk dibimbing oleh pengetahuan mereka atas isi aturan itu (vii) pembuat keputusan dan perintah yang aplikatif untuk situasi yang relatif terbatas dipandu oleh aturan yang diundangkan, jelas, stabil, dan relatif umum, dan (viii) mereka yang memiliki otoritas untuk membuat, mengelola, dan menerapkan aturan memiliki kapasitas resmi (a) bertanggung jawab atas kepatuhan mereka dengan ketentuan yang berlaku untuk kinerja mereka dan (b) melaksanakan hukum benar-benar dengan konsisten dan sesuai dengan tujuannya[11].
Di dalam delapan unsur yang memungkinkan sebuah sistem dikatakan benar-benar the rule of law ini kita menemukan bahwa selalu ada proses dan para aktor di dalamnya. Jika disandingkan dengan lima hal di atas maka terlihat bahwa ada kesamaan atau ada persamaan dalam tujuannya yakni menghantarkan individu untuk memenuhi kenyamanan dirinya sendiri. Individu hanya bisa menjadi dirinya—memiliki ‘harga diri’ menjadi ‘agen yang bertanggung jawab’—jika mereka tidak dibuat untuk menjalani kehidupan mereka untuk kenyamanan orang lain, tetapi diperbolehkan dan dibantu untuk menciptakan identitas hidup mereka sendiri ‘seumur hidup’ mereka. Ini juga tidak memungkinkan para penguasa untuk menggunakan kewenangan mereka demi tujuan-tujuan tertentu untuk pribadi atau golongannya. Sehingga pemegang wewenang hukum secara implisit bertujuan untuk menjaga kebaikan bersama atau menuju kebaikan bersama. Tujuan kedelapan desiderata ini adalah untuk membentuk subyek yang berwenang martabat dirinya sehingga bebas dari bentuk-bentuk manipulasi.
Patut diperhatikan bahwa the rule of law itu semacam sebuah kondisi ideal. Sebagai sebuah kondisi ideal bisa saja dia tercapai namun bisa saja dia hanya sebatas angan-angan yang terus diupayakan. Menyadari hal ini, Finnis pun menjelaskan batas-batas dari the rule of law tersebut. Pertama-tama, Finnis ingin menunjukan bahwa the rule of law ini kemungkinan besar akan berbahaya jika berada di bawah kekuasaan sebuah tirani tertentu. Finnis merujuk pada Lon Fuller dan para pengkritiknya.
Fuller dan para pengkritiknya mengatakan bahwa bahwa the rule of law adalah pisau bermata ganda; di satu sisi ia bisa menjadi penjaga hukum di lain pihak ia bisa digunakan untuk melegitimasi kepentinga para penguasa tiran. Yang dipersoalkan lebih jauh oleh Finnis adalah kata “dapat” yang diangkat oleh mereka yang berpikir demikian. Kata “dapat” berarti mengandung unsur kesengajaan, sebuah unsur negatif yakni unsur yang memungkinkan ia diselewengkan. Maka, ketika ia berhasil diselewengkan—salah satu dari kedelapan desiderata itu—otomatis di saat itu juga kita tidak bisa berkata bahwa sistem tersebut berada dalam kondisi the rule of law. ‘Pengkhianatan’ atas the rule of law pun bisa terjadi ketika the rule of law diikuti hanya sebagai taktik untuk nantinya medelegitimasinya kembali. Misalnya begini. Sebuah partai tertentu mengikuti segala aturan yang ada untuk mencapai kekuasaan dalam Pemilu. Setelah mereka duduk di dalam kepemimpinan kemudian hukum itu pun mereka ubah atau mereka manfaatkan demi kepentingannya sendiri.
Setelah memaparkan dasar-dasar hukum legal dan menunjukan desiderata-desiderata the rule of law, Finnis kemudian masuk ke pada definisi tentang hukum itu sendiri dari pandangannya. Demikian Finnis, “…the term ‘law’ has been used with a focal meaning so as to refer primarily to rules made, in accordance with regulative legal rules, by a determinate and effective authority (itself identified and, standardly, constituted as an institution by legal rules) for a ‘complete’ community, and buttressed by sanctions in accordance with the rule guided stipulations of adjudicative institutions, this ensemble of rules and institutions being directed to reasonably resolving any of the community’s co-ordination problems (and to ratifying, tolerating, regulating, or overriding co-ordination solutions from any other institutions or sources of norms) for the common good of that community, according to a manner and form itself adapted to that common good by features of specificity, minimization of arbitrariness, and maintenance of a quality of reciprocity between the subjects of the law both amongst themselves and in their relations with the lawful authorities”[12].
Dari definisi ini kita lihat bahwa Finnis mau menunjukan bahwa apa yang dikatakan sebagai hukum itu harus mengandung unsur-unsur ciri-ciri hukum dan the rule of law. Itulah hukum modern. Dengan demikian Finnis memberikan sebuah definisi hukum yang bisa dikatakan cukup ideal. Tetapi keadaan ideal itulah hukum yang sebenarnya atau hukum dapat mencapai kesempurnaannya dalam keadaan ideal, keadaan ketika segala ciri-cirinya terpenuhi dan segala desideratanya berjalan dengan baik.
Dengan mendefinisikan hukum secara demikian, Finnis ingin mengatakan bahwa hukum alam tidak bisa disejajarkan atau dianggap sebagai hukum. Hukum alam hanya mungkin dianalogikan sebagai hukum. Demikian Finnis, “‘Natural law’—the set of principles of practical reasonableness in ordering human life and human community—is only analogically law, in relation to my present focal use of the term: that is why the term has been avoided in this chapter on law, save in relation to past thinkers who used the term”[13]. Namun, bukan berarti hukum alam itu tidak ada hubungannya atau sumbangannya terhadap hukum. Finnis akan melirik kepada Thomas Aquinas untuk menunjukan hubungan itu.
Bagi Aquinas, hukum (dalam contoh soal pembunuhan) merupakan turunan dari hukum alam, diturunkan dari prinsip-prinsip umum hukum alam dan ini bukan sekadar hukum positif tetapi memiliki kekuatannya dari hukum alam. Jadi di dalam hukum positif, ada hukum alam. Hooker mengatakan bahwa hukum ini hanya meratifikasi dan menambahkan kekuatannya dengan hukuman. Finnis mengamini pandangan Aquinas dan Hooker tetapi ia menekankan bagaimana penerimaan atau masuknya prinsip moral ke dalam sistem legal perlu diperhatikan.
Bahasa hukum legal berbeda sekali; tidak memformulakan masalah moral tetapi lebih langsung. Atau hukum yang lebih langsung sebagai ‘perintah’ ini memberikan sesuatu yang lebih praktis. Untuk Aquinas hukum terlatak dalam dua bagian yaitu ‘derivasi dari hukum alam seperti kesimpulan yang disimpulkan dari prinsip-prinsip umum’ dan ‘derivasi dari hukum alam seperti implementasi arahan-arahan umum’. Aquinas pun berpendapat bahwa semua hukum yang dibuat manusia berasal dari hukum alam.
Indonesia Sebagai Negara yang Berdasarkan Atas Hukum?
Pertanyaan ini tentu sangat mudah dijawab dengan sekali menarik nafas dan melepaskannya dan sekali memberi kepala untuk mengingat keadaan hidup di negeri ini. Tetapi tentu saja kita harus memberikan alasan-alasan khusus dan jika mungkin contoh-contoh kasus untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum? Pertama-tama, kita akan memeriksa hukum di Indonesia dalam lima ciri hukum legal yang diberikan oleh Finnis.
Point pertama adalah hukum haruslah membawa definisi secara spesifik jelas sehingga memungkinkan dalam interaksi manusia. Untuk poin pertama ini kita bisa katakan bahwa di Indonesia masih mungkin untuk terjadi. Definisi-definisi hukum di Indonesia bisa dikatakan cukup jelas dan punya definisi yang kuat. Point kedua kita melihat bahwa di Indonesia pun hal itu terjadi. Bahkan, di Indonesia hukum yang ada sekarang landasannya ada pada peristiwa-peristiwa hukum dan hukum dari penjajah Belanda. Point ketiga pun dapat kita katakan ada di dalam hukum di Indonesia. Di negeri ini kita dimungkinkan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian hukum sendiri dengan orang lain yang berhubungan dengan kita. Salah satu contohnya adalah penggunaan meterai ketika kita hendak membayarkan uang pembelian rumah, dsb. Point keempat pun bisa kita saksikan di Indonesia. Definisi-definisi hukum diturunkan dalam praktek-praktek tertentu untuk menjaga supaya definisi-definisi tersebut bisa dijalankan secara praktis dan tak sulit dalam kehidupan. Point kelima pun saya kira masih bisa ditemukan di Indonesia, bagaimana segala tindakan hukum di masa ini berlandaskan pula tindakan hukum di masa lalu dan ketetapan-ketetapan hukum di masa lalu.
Sekarang kita akan melihat masalah desiderata dari the rule of law dalam aplikasinya di Indonesia. Desiderata pertama mengatakan bahwa hukum bersifat prospektif, tidak berlaku surut. Ini tentu tak perlu kita perdebatkan lagi, ini terjadi dan dipraktekan di negeri kita. Pada desiderata kedua bersifat terpatuhi. Ini tak bisa kita katakan berlaku dengan baik di negeri kita. Contohnya sangat jelas, kita lihat saja para pengguna jalan, apakah mereka setia dalam mematuhi lampu lalu lintas? Yang ketiga adalah aturan itu ditetapkan. Ya, untuk desiderata ketiga ini bisa dikatakan terjadi dan dilaksanakan di Indonesia. Hukum itu jelas merupakan poin keempat. Di sini bisa kita perdebatkan. Di Indonesia pasal-pasal hukum tertentu terasa tidak jelas. Misalnya pada P3 & SPS 2009 kita menemukan bahwa pada pasal tentang iklan tidak jelas bahwa apakah iklan tersebut yang dikatakan tidak boleh lebih dari 20% dalam waktu siaran. Yang menjadi tidak jelas adalah waktu siaran itu berapa lama; sehari, seminggu, sebulan, atau setahun?[14] Poin desiderata keenam pun saya rasa tidak bisa dikatakan terjadi di Indonesia. Contohnya bisa kita gunakan masalah P3 dan SPS di atas. Dengan tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan waktu siaran maka peraturan tersebut multi interpretasi dan dengan demikian tidak bisa dikatakan stabil. Poin desiderata ketujuh pun menurut saya bermasalah. Kita bisa meleihat betapa bobroknya para pembuat atau pemangku hukum kita. Mereka tidak dipandu oleh sebuah peraturan yang stabil. Desiderata ke delapan pun menurut saya cukup bermasalah terlebih pada point turunan (b)-nya yang berbunyi, “melaksanakan hukum benar-benar dengan konsisten dan sesuai dengan tujuannya”. Para pemangku hukum di Indonesia alih-alih menjalankan hukum secara konsisten sesuai dengan tujuannya, mereka justru berusaha menyelewengkannya.
Penutup
Seperti yang sudah dikatakan dalam makalah ini sebelumnya bahwa Finnis merumuskan sebuah hukum yang ideal. Tujuan hukum seperti pula yang sudah kita bahas dalam tulisan ini selalu bersifat demi kebaikan bersama (common good) sebuah tujuan dari hukum legal yang diturunkan dari hukum alam. Patut kita ingat bahwa hukum alam tidak bisa dikatakan sebagai hukum; ia hanya sebagai analog atas hukum.
Namun demikian untuk menjadi sebuah negara modern yakni negara yang berlandaskan atas huku—kita tentu ingat bahwa negara kita Indonesia ini pun sebenarnya berpikir bahwa dirinya berlandaskan atas hukum—setidaknya dalam pandangan Finnis ini harus memenuhi lima ciri hukum legal dan hukumnya harus memenuhi delapan desiderata the rule of law. Sebelum bagian penutup ini kita sudah mencoba untuk melihat apakah Indonesia memenuhi kedua hal itu. Ternyata tidak. Maka, hukum di Indonesia belumlah menjalani fungsinya sebagai sebuah landasan terhadap negara karena dia tidak dijalankan—ingat bahwa dalam desiderata-desiderata itu bukan sekadar ide tetapi selalu ada situasi dan orang yang menjalankannya—dengan baik; terdapat cacat-cacat pada pemenuhan desiderata desideratanya.
Saya sampai pada kesimpulan bahwa demi menjadi sebuah negara yang modern warga negara dari negara tersebut sendirilah yang harus mengusahakannya; karena desiderata-desiderata hukum legal sepenuhnya berjalan dalam sebuah situasi dan kondisi tertentu serta dijalankan oleh orang-orang dan oknum-oknum tertentu. Ketika hukum kita timpang, maka yang bertanggung jawab adalah kita semua, warga negara ini. Tentu secara spesifik kita bisa menunjukannya pada para pemangku hukum namun setidaknya itulah tugas kita. Dengan tidak menjalankan hukum sebagaimana idealnya a la Finnis, kita tidak mengusahakan kebaikan bersama (common good) yang merupakan tugas utama yang ‘dititahkan’ hukum alam yang berarti moral kepada kita. Maka, saya hanya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat demikian, “jangan teriak-teriak tentang keseronokan Lady gaga jika anda sendiri belum bisa mengurus dengan baik hukum di negara anda; jangan teriak-teriak orang dari luar sana tidak bermoral ketika anda sendiri tak bisa sama sekali, dalam waktu lima menit pun mengemban tugas moral yakni kebaikan bersama melalui hukum di negeri anda sendiri.”
Daftar Bacaan:
Finnis, John, Natural Law and Natural Right: Second Edition, (New York: Oxford University Press), 2011.
Wacks, Raymon, Philosophy of Law: A Very Short Introduction, (New York, Oxford University Press), 2006
Sumber Internet:
http://andrewgoddard.squarespace.com.
http://www.law.ox.ac.uk
http://remotivi.or.id
[1] Raymon Wacks, Philosophy of Law: A Very Short Introduction, (New York, Oxford University Press), 2006, hlm. 18.
[2] http://andrewgoddard.squarespace.com/john-finnis/. Diakses pada 30 Mei 2012.
[3] http://www.law.ox.ac.uk/profile/john.finnis. Diakses pada 30 Mei 2012.
[4] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition, (New York: Oxford University Press), 2011, hlm. 268.
[5] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 268.
[6] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 268.
[7] “Thirdly, then, rules of law regulate not only the creation, administration, and adjudication of such rules, and the constitution, character, and termination of institutions, but also the conditions under which a private individual can modify the incidence or application of the rules (whether in relation to himself or to other individuals)”. John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 268.
[8] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 269.
[9] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 266.
[10] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 270.
[11] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 270.
[12] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 276-277.
[13] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 280.
[14] “Menyoal Iklan di TV, Menggugat Makna Ruang Publik. http://remotivi.or.id/meja-redaksi/menyoal-iklan-di-tv-menggugat-makna-ruang-publik. Diakses 30 Mei 2012.
*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah UAS mata kuliah Filsafat Hukum Kontemporer Semester genap 2011/2012 di STF Driyarkara, Jakarta.