Ada sebuah panorama yang hampir diterima sebagai rahasia umum dalam filsafat barat modern bahwa seluruh sejarah filsafat barat modern adalah turunan dari Platon dan Aristoteles. Kalimat ini tentu mengingatkan kita pada sebuah gambar Platon dan Aristoteles yang mana menggambarkan Platon yang tangannya menunjuk ke atas (ke langit) dan Aristoteles yang tangannya menunjuk ke bawah (ke bumi).
Dalam panorama demikianlah tulisan ini hendak menempatkan dirinya yakni hendak menempatkan pemikiran Karl Marx sebagai sebuah sistem filsafat yang sedikit banyak berkiblat pada pemikiran Aristoteles. Pencaharian itu akan dibuktikan melalui pembacaan atas teks Metafisika karya Aristoteles terkhusus pada pemikiran Aristoteles dalam karya tersebut mengenai substansi. Pasalnya, dalam pemikiran Karl Marx, terkhusus dalam Das Kapital Buku I, kita pun akan menemukan penekanan atau pencaharian Marx mengenai substansi terhadap komoditas, sebuah hal yang penting—setidaknya menurut Marx—dalam sistem kehidupan dan ekonomi kapital.
Tujuan tersebut akan coba dilakukan dalam beberapa langkah yang sekaligus adalah bagian-bagian dari tulisan ini. Pertama akan dipaparkan apa pemikiran Aristoteles mengenai katagori substansi dan sembilan katagori lainnya di dalam teks Metafisika-nya. Kedua akan dipaparkan pemikiran Marx tentang substansi dari komoditas. Ketiga sebagai penutup akan dibuktikan—tentu melalui pembacaan para komentator—sejauh mana Marx adalah juga seorang pemikir Aristotelian.
Pemikiran Aristoteles tentang Pengada sebagai Substansi
Berbicara tentang pemikiran Aristoteles mengenai pengada sebagai substansi kita tentu akan berpaling pada Metaphysics Buku VII (Zeta). Pada Buku VII ini Aristoteles hendak menjawab pertanyaan mendasar “apa itu pengada” yang mana perlu ditilik melalui pertanyaan “apa itu pengada yang utama”[1]. Sebelum membahas lebih jauh mengenai ‘pengada yang utama’, hendaknya kita perlu tahu tentang sepuluh kategori pengada menurut Aristoteles. Perkara sepuluh kategori ini sendiri dibicarakan Aristoteles dalam buku Categories (Kategoriai). Sepuluh pengada itu adalah substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, kondisi, aksi atau tindakan (aktif), dan dikenai aksi atau tindakan (pasif).[2]
Dari kesepuluh kategori ini, Aristoteles membaginya menjadi dua yakni predikat essensial yang adalah kategori substansi dan predikat aksidental yang meliputi sembilan kategori lainnya. Predikat essensial berarti ia merupakan suatu ciri essensial bagi keberadaan sesuatu dan predikat aksidental berarti ia tidak berciri essensial bagi keberadaan sesuatu. Pada Metaphysic 1017a10 Aristoteles memberi contoh tentang seorang musisi. Pada seorang musisi yang membangun—rumah misalnya—kemampuan membangun bukanlah predikat essensial bagi seorang musisi. Kemampuan bermusiklah predikat essensial-nya. Jika seorang musisi kehilangan kemampuan bermusiknya (misalnya oleh kerusakan pada bagian tertentu otaknya), maka ia tidak bisa lagi disebut musisi (paling-paling ia hanya dikenang sebagai pernah menjadi musisi). Sedangkan bila seorang musisi yang juga berkemampuan membangun rumah kehilangan kemampuan membangun rumahnya, predikatnya sebagai musisi tak hilang darinya.[3]
Demikianlah, kategori substansi adalah predikat yang tak mungkin hilang dari sesuatu (atau katakanlah subjek) karena jika ia hilang maka subjek yang dipredikatkan itu pun hilang. Sedangkan sembilan kategori yang lain adalah predikat yang bisa hilang dari sesuatu dan tak membuat sesuatu itu turut hilang. Dari contoh di atas, seorang musisi punya kategori substansi kemampuan bermusik sedangkan membangun rumah adalah kategori aksi atau tindakan-nya.
Di dalam buku Metaphysics Buku VII Aristoteles memaknai substansi dalam empat pengertian yakni essensi, universal, genus, dan substratum. Kita akan melihat dua pemahaman dari substansi ini yakni substratum dan genus.
Aristoteles memberi pemahaman dari substratum yakni:
“Now the substratum is that of which other things are predicated, while it is itself not predicated of anything else. And so we must first determine the nature of this; for that which underlies a thing primarily is thought to be in the truest sense its substance.”[4]
Substratum sebagai pemahaman dari substansi dengan demikian adalah landasan bagi hal-hal lainnya. Jadi bisa dikatakan substansi dalam pengertian substratum adalah hal penentu yang memungkinkan sembilan kategori lain dilekatkan. Substratum bisa juga dikatakan sebagai landasan bagi benda-benda yang lainnya, jika kita menarik pemahaman ini lebih jauh. Dengan adanya landasan umum ini, setiap benda bisa dibandingkan.[5] Berbicara tentang perbandingan maka mengemuka tuntutannya yakni keseukuran di antara apa yang diperbandingkan itu. Substratum ini dalam buku Fisika Buku I dari Aristoteles disamakan dengan hal material; “perunggu adalah substratum material dari sebuah patung sebelum dikenai bentuk apa pun”[6]. Dengan demikian, substratum-lah pula yang memungkinkan adanya keseukuran antara benda-benda yang hendak diperbandingkan.[7]
Berbicara tentang kesebandingan dan ukuran maka kita bolehlah masuk pada pemahaman substansi yang berikutnya yakni genus. Genus adalah sesuatu yang universal yang padanyalah yang partikular meletakan dirinya atau terletak. Misalnya, manusia adalah genus sedangkan yang partikular adalah Platon, Sokrtates, dsb.[8] Dalam contoh ini, genus dengan demikian adalah juga substratum bagi hal-hal partikular yang lainnya. Di dalam Methaphysic 1058a8 Aristoteles mengemukakan demikian:
That which is other in species is other than something in something, and this must belong to both; e.g. if it is an animal other in species, both are animals. The things, then, which are other in species must be in the same genus. For by genus I mean that one identical thing which is predicated of both and is differentiated in no merely accidental way, whether conceived as matter or otherwise[9]
Pada teks di atas nyatalah bahwa keseukuran sebuah entitas atau benda dengan benda yang lainnya menampak jelas dalam genus. Melalui genus, perbedaan sebuah benda dengan benda yang lainnya dikemukakan sekaligus juga menjadi persamaan dari keduanya yang memungkinkan perbedaan keduanya. Misalnya, sebuah jarak lima meter dengan jarak tiga meter punya kesamaan atau genus dalam meter tetapi perbedaannya, kepartikularan di antara keduanya, mengemuka dalam tiga dan lima.[10]
Demikianlah, kita sudah melihat, bagi Aristoteles pengada yang utama dari sepuluh kategori yang dikemukannya adala substansi. Substansi adalah predikat yang tidak bergantung pada predikat yang lain; justru predikat yang lain bergantung pada substansi ini. Di sini yang nampak adalah pengertian substansi sebagai substratum. Dalam pengertian substansi sebagai substratum sedikit banyak mengemuka pula kebutuhan akan pengertian substansi sebagai genus. Genus adalah sifat universal di mana padanya sifat-sifat yang partikular melekatkan dirinya. Dengan demikian genus ini memungkinkan persamaan dan perbedaan dari benda-benda yang berbeda sifat secara partikular namun seara universal punya satu sifat yang sama; dengan kata lain, punya kesamaan genus.
Marx dan Yang Substansial dalam Komoditas
Pemikiran Marx tengan ekonomi yang mengemuka dalam bukunya Das Kapital adalah pertama-tama telaahnya akan sistem ekonomi yang mulai mengemuka di zamannya yakni sistem ekonomi kapital. Apa yang dilihat Marx sebagai yang terutama dan penting dalam sistem ekonomi kapital ini adalah komoditas. Itulah sehingga Marx membuka Das Kapital-nya dengan kalimat demikian:
Kemakmuran dalam masyarakat di mana cara produksi kapitalis itu tegak, nampak sebagai “timbunan besar komoditas”. Komoditas nampak sebagai bentuk dasarnya, dan karena itu penyelidikan kita mesti dimulai dari telaah terhadap komoditas itu.[11]
Dari sini kita sudah melihat bagaimana intuisi Marx adalah mencari akar dari sesuatu yakni akar dari sistem ekonomi kapitalisme yang menurutnya ada pada komoditas. Maka, penelitian selanjutnya bagi Marx adalah penelitian atas komoditas itu sendiri.
Di dalam komoditas, menurut Marx, kita akan menemukan nilai. Nilailah yang memungkinkan suatu benda disebut komoditas. Nilai di dalam komoditas ini akan terbagi lagi menjadi beberapa jenis nilai yakni nilai pakai, nilai tukar, dan nilai kerja. Namun, apakah yang utama dari ketiga nilai ini bagi komoditas atau apa yang memungkinkan komoditas sebagai komoditas dari tiga bentuk nilai ini? Pertanyaan ini bisa kita bahasakan ala Aristotelian, apakah substratum dari komoditas; nilai pakai, nilai tukar, ataukah nilai kerja? Kita akan coba melihat secara ringkas pembahasan Marx atas ketiga bentuk nilai tersebut.
Nilai pakai komoditas terwujud saat komoditas itu dipakai atau dikonsumsi.[12] Dengan demikian, ketika sebuah komoditas tidak dipergunakan (misalnya masih ada dalam rak sang penjualnya) maka nilai pakai-nya pun tak akan nampak. Apalagi menurut Marx:
Adalah kegunaan sebuah benda yang menjadikannya nilai pakai. Tetapi kegunaan itu bukan sesuatu yang menggantung begitu saja di udara. Karena dibatasi oleh jasad dari komoditas itu, maka kegunaan tersebut tidak memiliki eksistensi yang terpisah dari komoditas.[13]
Dari kutipan di atas nyatalah bahwa nilai pakai tidak menentukan dirinya sendiri dan atau menentukan hal lain di luarnya dalam perkara komoditas ini. Melainkan, nilai tukar masih mengandaikan atau membutuhkan hal lain untuk menyatakan dirinya. Dalam hal ini, nilai tukar dalam komoditas membutuhkan bentuk material (jasad) dari kommoditas tersebut.
Sedangkan nilai tukar merupakan kuantitas atau sebagai proporsi yang digunakan dalam mempertukarkan nilai pakai jenis tertentu dengan nilai pakai jenis lainnya.[14] Namun, hubungan pertukaran ini selalu berubah dalam waktu dan tempat. Sehingga menurut Marx, “nilai tukar yang tak terpisahkan dari sebuah komoditas nampak sebagai pengertian yang kontradiktif”[15]. Nilai tukar pun bukanlah sesuatu yang substantif karena dia masih, seperti yang diungkapkan pada kutipan di atas, berubah sesuai dengan waktu dan ruang. Artinya, ia masih dipredikatkan oleh waktu dan ruang tertentu.
Marx kemudian memeriksa perkara nilai kerja. Bagi Marx, kerja dalam menciptakan komoditas yang terpenting adalah waktu kerja sosial. Waktu kerja yang diperlukan secara sosial adalah waktu kerja yang biasanya dicurahkan dalam kondisi produksi normal pada suatu masyarakat tertentu dengan derajak keahlian dan intensitas kerja rata-rata.[16] Inilah bagi Marx yang menjadi ukuran yang sama bagi semua komoditas. Yang menentukan besaran nilai dari sebuah komoditas adalah nilai dari waktu kerja. Demikian Marx, “karena itu hal yang menentukan besaran nilai sebuah barang adalah jumlah kerja yang diperlukan secara sosial untuk memproduksinya.”[17] Nilai ini yang akhirnya terekspresikan dalam nilai tukar, dan nilai kerja inilah yang membentuk material dari komoditas yang menentukan juga nanti nilai guna dari komoditas itu sendiri.
Demikianlah, kita sudah melihat bagaimana Marx mencari apa yang terpenting dan yang menentukan sebuah model ekonomi kapitalisme. Pertama, Marx menemukan bahwa model ekonomi kapitalisme itu ditentukan oleh timbunan komoditas. Dari sana, ia mencari apa yang tak berubah atau apa yang membuat sebuah komoditas menjadi komoditas. Ia lantas menemukan bahwa di dalam komoditas terdapatlah nilai pakai, nilai guna, dan nilai kerja. Dari ketiganya ini, Marx memeriksa lagi, apa yang paling utama dan tidak ditentukan oleh hal-hal lainnya. Dalam perkara komoditas, Marx menemukan bahwa yang utama dan terpenting adalah nilai kerja. Karena nilai kerja tidak ditentukan oleh hal lain di dalam komoditas itu sendiri dan nilai kerja justru menentukan nilai lain yang ada dalam komoditas.
Penguraian Marx terhadap nilai di dalam komoditas ini sedikit banyak terlihat mengikuti skema atau pandangan Aristoteles tentang substansi sebagai substratum yang melandasi hal-hal yang lain. Namun apakah benar Marx mengikuti Aristoteles atau apakah hal itu adalah intuisi pemikirannya sendiri? Hal itu akan kita lihat pada bagian berikut tulisan ini sekaligus juga sebagai penutup tulisan.
Penutup: Apakah Marx adalah Aristotelian?
Salah satu argumen yang cukup kokoh bahwa Marx adalah seorang Aristoteliajn saya temukan dalam tulisan Scott Meikle bertajuk “History of Philosophy: The Metaphysics of Substance in Marx”. Dalam tulisan tersebut, Meikle mengatakan bahwa “Marx adalah seorang Aristotelian dalam metafisika dan jika kita tidak menempatkan hal ini di dalam kepala kita, maka kita tidak bisa mengapresiasi karyanya”[18]. Lanjut Meikle, Marx memang tidak menulis sebuah buku filsafat tentang metafisika, namun di dalam metode pemaparan Marx mengenai teori-teorinya, kita menemukan cara kerja metafisika dari Aristoteles.
Setidaknya, Meikle menekankan bahwa Marx mengikuti metode atau pandangan Aristoteles dalam hal substansi terlebih apa yang dipaparkan Aristoteles tentang hal itu dalam buku Metaphysics, Nicomacomean Ethic, Categories, dan Politics. Perihal substansi ini terlihat jelas dalam pemaparan Marx mengenai kerja, pertukaran, dan nilai; tiga hal yang juga dibahas Marx dalam buku Das Kapital-nya [19] Dengan demikian, cukup beralasanlah bila kita mengatakan bahwa Marx adalah seorang Aristotelian. Memang, pemaparan pada bagian ini belumlah memadai namun setidak-tidaknya kita mendapatkan sebuah kompas, melalui pembacaan dan paparan Meikle, tentang hal itu.***
Daftar Pustaka:
Aristoteles, Metaphysics, dalam J. Barnes ed., The Complete Works of Aristotle, (Princeton, N.J.), 1991.
Marx, Karl., Kapital Buku I, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, (Jakarta: Hasta Mitra), 2004.
Meikle, Scott., “History of Philosophy: The Metaphysics of Subsctance in Marx”, dalam Terrell Carver, ed. The Cambridge Companion to Marx, (Cambridge: Cambridge University Press), 1991.
Politis, Vasilis., Routledge Philosophy Guidebook to Aristotle and the Metaphysics (London & NYK: Routledge), 2004.
Suryajaya, Martin., Epistemologi Ekonomi dalam Teori Nilai: Sebuah Telaah atas Peralihan dari teori Nilai-kerja ke Teori Nilai-ulitilas Berdasarkan Realisme Kritis Roy Bhaskar, thesis untuk gelar Magister di STF Driyarkara, 2013.
[1] Vasilis Politis, Routledge Philosophy Guidebook to Aristotle and the Metaphysics (London & NYK: Routledge), 2004, hlm. 190.
[2] Lih. Catatan untuk Kuliah Membaca teks Metafisika Aristoteles oleh H. Dwi Kristanto, M. Phil., hlm. 46.
[3] Aristoteles, Metaphysics, dalam J. Barnes ed., The Complete Works of Aristotle, (Princeton, N.J.), 1991, hlm. 67-68.
[4] Aristoteles, Metaphysics…, hlm. 90.
[5] Martin Suryajaya, Epistemologi Ekonomi dalam Teori Nilai: Sebuah Telaah atas Peralihan dari teori Nilai-kerja ke Teori Nilai-ulitilas Berdasarkan Realisme Kritis Roy Bhaskar, thesis untuk gelar Magister di STF Driyarkara, 2013, hlm. 19.
[6] Martin Suryajaya, Epistemologi Ekonomi dalam Teori Nilai…, hlm. 19.
[7] Martin Suryajaya, Epistemologi Ekonomi dalam Teori Nilai…, hlm. 20.
[8] Vasilis Politis, Routledge Philosophy Guidebook to Aristotle…, hlm. 199.
[9] Aristoteles, Metaphysics…, hlm. 147.
[10] Martin Suryajaya, Epistemologi Ekonomi dalam Teori Nilai…, hlm. 20.
[11] Karl Marx, Kapital Buku I, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, (Jakarta: Hasta Mitra), 2004, hlm. 01.
[12] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm. 4.
[13] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm. 4.
[14] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm. 4.
[15] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm. 4-5.
[16] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm 7.
[17] Karl Marx, Kapital Buku I…, hlm. 7.
[18] Scott Meikle, “History of Philosophy: The Metaphysics of Subsctance in Marx”, dalam Terrell Carver, ed. The Cambridge Companion to Marx, (Cambridge: Cambridge University Press), 1991, hlm. 296.
[19] Scott Meikle, “History of Philosophy: The Metaphysics of Subsctance in Marx”…, hlm. 298-299.
*Catatan: Tulisan ini dari tugas akhir Mata Kuliah Membaca Metafisika Aristoteles di STF Driyarkara, semester genap 2012/2013.