Pada 2019 – 2021 yang lalu, sebagai bagian dari Gudskul Ekosistem, saya berkesempatan berlibat di dalam riset perihal kolektif seni bersama beberapa rekan dari Gudskul Ekosistem dan jejaring kami. COVID-19 membuat rencana riset tersebut sedikit harus kami modivikasi; misalnya, kami berencana untuk residensi di beberapa kolektif namun hal itu tidak mungkin terjadi karena kondisi COVID-19, sehingga kami mengubahnya dengan diskusi dan wawancara mendalam secara online. Hasil dari penelitian itu lantas dipersembahkan dalam bentuk buku yang bisa kawan-kawan akses melalui website fixer.id yang tersedia dalam dwi bahasa, Indonesia-Inggris.
Pada buku tersebut, saya menyumbang artikel bertajuk seperti judul postingan ini. Di bawah ini, dua paragraf pertama dari artikel dimaksud:
Apa yang melatari sekumpulan orang berkumpul danbekerja secara bersama-sama dengan aturan main tertentu—terkadang peraturan itu ditetapkan dari awal, tetapi lebih kerap terbentuk secara organik—di medan seni kontemporer Indonesia? Salah satu alasan paling awal yang menjadi asumsi kami adalah bekerja dan hidup dengan cara kolektif-komunalistik. Cara hidup kolektif-komunalistik itu sendiri bukanlah hal baru dalam konteks kebudayaan Indonesia. Pasalnya, berkolektif dan atau berkomunitas membutuhkan sebuah mekanisme kerja yang terangkum dalam kata ini: Gotong royong.
Masyarakat Indonesia sudah mengenal gotong royong dari jauh-jauh hari. Ketika Indonesia hendak memulai perjalanannya, dibutuhkan pendasaran hidup bersama sebagai bangsa. Dan ketika itu, di dalam pidato Pancasila pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945, Sukarno mengatakan, “…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong,,. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!” Sehingga, gotong royong adalah Philosophische Grondslag bangsa Indonesia.
Terjemahan Inggris:
What motivates groups of people to come together and work with certain rules of thumb—sometimes set from the start, but more often formulated organically—in the Indonesian contemporary art scene? One of our earliest assumptions was the urge to work and live in a communalistic-collective way. This way of life is not new in Indonesian culture. Living among a collective and/or community requires an operating mechanism that is summed up in one phrase: gotong royong (mutual cooperation).
The peoples of Indonesia have long been familiar with this concept of mutual cooperation. When our republic was about to embark on its journey as an independent nation, it was decided that a national foundation of gotong royong was required. At that time, in his Pancasila speech at a session of Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI—the Investigating Committee for Preparatory Work for Independence), on June 1, 1945, Sukarno said, “…If I squeeze five into three, and three into one, I can think of one word that truly embodies Indonesia: ‘gotong royong’”. The State of Indonesia that we found must be a state of ‘gotong royong’.” Thus gotong royong is Indonesian Philosophische Grondslag.

Sedangkan di bawah ini adalah dua paragraf pengantar umum dari buku Mengeja FIXER 2021: Pembacaan Kolektif Seni Indonesia dalam Sepuluh Tahun Terakhir dimaksud:
FIXER adalah inisiatif penelitian untuk mengumpulkan dan mengarsipkan pengetahuan tentang model kerja dan strategi keberlanjutan kolektif seni di Indonesia. Inisiatif ini dimulai pada 2010, ketika North Art Space, Jakarta, memprakarsai penelitian dan pameran “Ruang Alternatif & Kelompok Seni di Indonesia” yang kemudian dikenal sebagai FIXER. Pembacaan pada 2010 melibatkan 21 kelompok seni dan ruang alternatif yang tumbuh di beberapa kota di Indonesia antara 2000-2010. Pameran FIXER pertama dikuratori oleh Ade Darmawan dan Rifky Effendi, serta periset, Mirwan Andan. Hampir satu dasawarsa kemudian, muncul keinginan untuk meneruskan kerja pencatatan berkelanjutan atas dinamika kolektif seni di Indonesia. Penelitian FIXER pun dilanjutkan oleh Gudskul Ekosistem sebagai usaha untuk memetakan dan membaca kembali berbagai perkembangan kolektif seni selama sepuluh tahun terakhir, terutama dalam konteks strategi keberlanjutan serta gagasan dan praktik artistik kolektif seni dari berbagai generasi dan wilayah. Berbasis penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, survei FIXER kali ini mencakup keberadaan 58 kolektif seni yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia.
Keinginan untuk mencatat dinamika kolektif seni di Indonesia didorong oleh fenomena pertumbuhannya, yang menjadi semakin signifikan dalam perkembangan ekosistem seni rupa di Indonesia dalam sebelas tahun terakhir. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai kolektif yang memiliki praktik artistik beragam—sebagian di antara mereka mendapat pengakuan publik seni rupa internasional. Pertumbuhan kolektif seni di berbagai daerah di Indonesia mendorong lahirnya berbagai peristiwa dan inisiatif berkesenian yang selama ini tidak terfasilitasi oleh negara. Menyitir catatan Ade Darmawan dalam katalog FIXER 2010, kemunculan kolektif atau kelompok seniman tersebut perlu dilihat sebagai, “usaha menanggapi perubahan masyarakat, demi perkembangan gagasan praktik seni rupa yang relevan dan terlibat langsung dengan kenyataan sosial yang terjadi di masyarakatnya.”
Terjemahan Inggris:
FIXER is a research initiative that collects and archives knowledge about the operating models and sustainability strategies of art collectives in Indonesia. This initiative started in 2010, when North Art Space, Jakarta, launched a research project and exhibition called “Alternative Space & Art Groups in Indonesia,” later known as FIXER. The research project in 2010 involved 21 art groups and alternative spaces that had flourished between 2000-2010 across several cities in Indonesia. The first FIXER exhibition was curated by Ade Darmawan and Rifky Effendi, along with Mirwan Andan as researcher. Nearly a decade later, we have a renewed aspiration to record the dynamics of art collectives in Indonesia. Thus, Gudskul Ekosistem is now continuing the project of mapping and examining the development of art collectives over the last ten years, especially in the context of their sustainability strategies, artistic ideas and practices, and how these factors vary and interconnect across multiple generations and regions. Building upon FIXER’s previous research, the FIXER survey this time covers 58 art collectives spread across various locations in Indonesia.
FIXER’s aspiration to record the dynamics of art collectives in Indonesia is motivated by an awareness of the significant growth of the Indonesian art ecosystem over the last 11 years. This is marked by the emergence of a multitude of collectives with various artistic practices—some of which have received recognition from international art communities. The growth of art collectives in many regions in Indonesia has led to the birth of numerous artistic events and initiatives, which have been organized without facilitation by the state. To cite Ade Darmawan in the 2010 FIXER catalog, the emergence of these art collectives or groups needs to be seen as “an effort to respond to changes in the society, for the sake of the development of ideas of art practices that are more relevant and immediately involved with the reality in the society.”

Kawan-kawan yang tertarik dengan buku dimaksud, bisa mengaksesnya di sini.***