Eropa pada abad XIV dikenal sebagai masa dimulainya jaman renaissance. Renaissance sendiri diartikan sebagai lahirnya kembali zaman kuno.[1] Zaman kuno yang dimaksudkan di sini adalah zaman Yunani dan Romawi klasik. Renaissance ini merebak hampir di semua sendi kehidupan; seni, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain sebagainya. Para seniman, arsitek, sejarahwan, tidak lagi melanjutkan tradisi abad pertengahan (masa sebelum renaissance) melainkan menggali kembali warisan-warisan masa lampau dari Yunani dan Romawi kuno.[2]

Renaissance sendiri sangat menekankan aspek humanisme. Humanisme sendiri sering diartikan sebagai sistem pemikiran yang menjadikan manusia sebagai ukuran dan titik tolak dalam menemukan kebenaran dan makna hidupnya. Humanisme melihat manusia sebagai makhluk otonom, yang menjadi sumber bagi nilai dan pengetahuannya, tanpa acuan Allah.[3] Namun, renaissance-humanisme yang bukan hanya ditandai oleh perubahan sistem berpikir saja melainkan juga ekspansi Eropa yang lantas menemukan benua-benua baru, menyadarkan manusia bahwa; “…di dunia ini Allah sendiri hadir dan dihaturi puji serta bakti…”[4] Hal ini berbeda sungguh dengan pandangan masa sebelumnya yang lebih melihat dunia sebagai sesuatu yang jelek.

Perkembangan paham humanisme di Eropa kala itu dipengaruhi juga oleh kedatangan para cendikiawan Yunani ke Eropa akibat merosotnya Kekaisaran Bisantium dan juga gerak maju pasukan Turki di Balkan. Dalam situasi seperti ini, humanisme semakin digandrungi banyak orang, terlebih di Italia. Namun, bukan berarti tidak ada yang tidak setuju dengan paham ini. Savonarola, salah satu contohnya, memimpin aksi bakar terhadap kesia-siaan sebagai sebuah reaksi terhadap merebaknya seni yang mengeksplorasi ketelanjangan[5].

Girolamo Savonarola oleh Fra Bartolommeo (1497) | Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/78/Girolamo_Savonarola_by_Fra_Bartolommeo_%281497%29.jpg

Gereja Kristiani di Zaman Renaissance[6] 

Renaissance dan humanismenya membawa dampak yang “menguatkan” dan “melemahkan” Gereja Kristiani. Di satu pihak, pada saat itu muncul para teolog dan pemikir Kristen yang menggabungkan konsep humanisme dengan konsep gereja dengan sangat baik. Salah satu contohnya adalah Desiderius Erasmus Rotterdam sang Pangeran Kerajaan Sains. Ia bercita-cita membentuk humanitas christiana; membebaskan teologi dari formalisme nonklerikal yang tidak bertumpu pada sumber-sumber iman: Alkitab dan tulisan para Patres.

Di samping itu, ada juga seorang Stois, Seneca, yang lewat buah karyanya pada tahun 1509 dan 1518 yakni Stultitiae laus dan Colloquia familiaria telah membuka jalan untuk terjadinya reformasi Lutherian di kemudian hari.

Sumber: https://socialstudieshelp.com/the-renaissance-europes-epoch-of-cultural-awakening/

Selain dalam buak pikiran para pemikir dan teolog, di bidang seni pun, banyak seniman kondang dan berpengaruh zaman ini yang mendedikasikan karya mereka yang dipenuhi dengan ide renaissance-humanisme. Mereka-mereka itu misalnya adalah Leonardo Da Vinci dan Giotto. Di ranah mistitisme pun zaman ini menyumbangkan hal-hal yang penting dalam diri Joakhim Fiore, Franssiskus Assisi, Margaretha Kortona. Ta jarang juga muncul orang-orang yang menjadi tak terlalu percaya pada Kristiani, mempertanyakan otoritas gerejawi. Dari sini muncullah keskeptisan terhadap Gereja dan lantas berkembang menjadi murtad.

Renaissance humanisme membawa dua dampak yang sama sekali berbeda pada Gereja Kristiani. Namun ini bukan berarti pada masa itu ada dua aliran humanisme pula yang berkembang yakni humanisme kristiani dan humanisme non-kristiani. Pada dasarnya humanisme renaissance adalah ide yang mencerahkan namun sekarang bagaimana apresiasi dan seperti apa aplikasi dari ide itu yang diejawantahkan oleh tiap individu yang menggunakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Kearah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, 1983
Holmea, Arthur F. (terjemahan), Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, Momentum, Jakarta, 2000
Kristiyanto, Eddy, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta, 2002

Catatan Belakang
[1] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 98.
[2] Lihat Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 240.
[3] Arthur F. Holmea, (terjemahan), Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, Momentum, Jakarta, 2000, hal. 237; I.R. Poedjawijatna, op-cit¸ hal. 98-99.
[4] Eddy Kristiyanto, OFM, Op-cit. hal. 236-237
[5] Eddy Kristiyanto, OFM, Op-cit. hal. 237
[6] Bagian ini hampir seluruhnya bersumber dari : Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 238-240.


*Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka mata kuliah Sejarah Kristiani di Program Sarjana STF Driyarkara, 2011 yang lalu.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram