Michael Sandel membuka bab tentang Aristoteles dengan mengangkat kisah Callie Smartt, seorang anggota tim Cheerleader di SMA Andrews di West Texas. Smartt adalah penderita kelumpuhan akibat penyakit syaraf otak dan ia hanya dapat bergerak di atas kursi roda namun ia menjadi penyemangat bagi anggota kelompoknya. Di akhir musim, pelatih mengatakan Callie bahwa ia harus mengikuti latihan rutin yang secara nyata tak mungkin diikutinya lantaran penyakit yang dideritanya. Alhasis, ia pun dikeluarkan dari tim. Menghadapi kenyataan ini, ibu dari Callie beranggapan bahwa hal ini akibat iri hati anggota tim lainnya atas gemuruhnya tepuk tangan penonton untuk Callie setiap kali ia tampil.

Menurut Sandels, kasus ini melahirkan dua pertanyaan yakni pertama mengenai keadilan (kewajaran) yakni apakah Callie yang mengalami ketidak-adilan karena proses perekrutan tim tidak memungkinkan orang dengan cacat seperti dirinya ikut ataukan dengan mengikuti proses perekrutannya justru ada keadilan untuk semua anggota Cheerleader? Dengan pendekatan tanpa-diskriminasi, maka jelaslah jawabannya; Callie tidak boleh dikeluarkan dari tim. Namun, dengan jawaban itu, menurut Sandels, kita belumlah lepas dari kontroversi utama kasus tersebut; apakah yang dimaksud dengan penampilan yang bagus menurut aturan yang ada di dalam Cheerleader? Atau, pertanyaannya bisa dikatakan demikian, apakah tujuan adanya sebuah kelompok Cheerleader?

Penentang Callie mengklaim bahwa Cheerleader yang baik harus mampu melakukan gerakan mengangkang dan jatuh berguling-guling. Sedangkan para pendukung Callie mengatakan bahwa hal ini membingungkan lantaran belum menjawabi maksud/tujuan sesungguhnya dari keberadaan tim Cheerleader. Bukankah Cheerleader bertujuan memberikan inspirasi bagi tim sekolah yang bertanding dan semangat bagi para pendukung tim tersebut? Maka Callie telah melakukan dengan baik apa yang semestinya dilakukan oleh Cheerleader. Yang terpenting untuk kasus ini dengan demikian adalah membedakan esensi dari kehadiran tim Cheerleader, dan apa yang tidak penting darinya.

Masalah kedua adalah mengenai kemarahan atau dendam. Apakah ada kemarahan pada Pelatih tim Cheerleader sehingga ia menetapkan peraturan yang tak memungkinkan Callie terlibat? Sandel menduga, pelatih marah karena Callie menerima penghargaan yang tidak sesuai dengan apa yang pantas dia terima. Dengan kehadiran Callie nilai dari seorang Cheerleader yang hebat mengalami penurunan. Gerakan senam yang menjadi ciri khas anggota Cheerleader dengan demikian tidak menjadi penting ketika Callie ada di dalam tim tersebut dan dengan gerakan-gerakannya mendapatkan penghargaan yang lebih dari pada yang didapat anggota tim yang lain.

Callie, menurut Sandel, berhasil menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk menjadi Cheerleader yang baik. Ada sebuah pengaruh sosial yang mana membuat tujuan dan penghargaan yang patut diterima seorang Cheerleader harus didefinisikan ulang.

Michael J. Sandel | Sumber: https://scholar.harvard.edu/

Kasus ini menunjukan pada kita tentang apa yang paling penting tentang Cheerleader; (1) apakah yang terpenting adalah tujuan yang sesungguhnya, yang asali dari adanya Cheerleader itu ataukah (2) perihal apakah kualitas seorang cheerleader adalah sesuatu yang essensial? Namun hal kedua ini membawa kita pada problem perihal kualitas seperti apakah yang patut mendapat penghormatan. Tujuan dari Cheerleader bergantung pada nilai yang dari nilai tersebut lahirlah pengakuan dan penghargaan.

Alasan Adanya Sesuatu

Kisah tentang Cheerleader di West Texas mengantar kita untuk mempelajari teori keadilan dari Aristotels. Dalam kisah di atas dua hal penting dalam politik Aristoteles telah mengemuka yaitu (1) keadilan bersifat teleologis. Pendefinisian yang benar menuntut kita untuk mengambarkan dengan jelas “telos’ (atau tujuan, akhir, atau esensi alamiah) dari praktik sosial. (2) Keadilan pun juga adalah suatu ungkapan kehormatan. Pemahaman tentang “telos” dari sebuah tindakan atau argumentasi tentang hal itu adalah juga alasan atau argumentasi tentang apa nilai yang harus dihormati dan dihargai darinya.

Dua hal di atas dan relasi antara keduanya adalah kunci etika Aristoteles dan sistem politiknya. Bagi Aristoteles perdebatan tentang keadilan tidak bisa tidak adalah juga perdebatan tentang kehormatan, nilai dan sifat alami dari hidup yang baik. Aristoteles dengan demikian berbeda dengan teori modern tentang keadilan yang berusaha memisahkan pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan dan hak dari argumentasi tentang kehormatan, nilai dan hasrat moral dan berusaha mencari prinsip-prinsip keadilan yang bersifat netral di antara dua hal tersebut. Dan memungkinkan orang untuk memilih dan mengejar keputusan akhir bagi dirinya sendiri.

Bagi Aristoteles, keadilan adalah memberikan kepada orang lain apa yang dibutuhkannya dan memberikan pada setiap orang apa yang menjadi haknya. Yang menjadi hak pribadi seseorang dan pembedaan antara kebaikan dan hasrat adalah apa yang didistribusikan atau dibagikan itu. Menurut Aristoteles, keadilan meliputi dua faktor yakni barang-barang dan orang-orang yang ditentukan untuk memilikinya. Dengan kata lain manusia yang sederajat berhak secara sederajat pada barang-barang.

Kesederajatan ini bergantung pada apa yang didistribusikan dan nilai-nilai yang relevan dengan barang-barang tersebut. Aristoteles mencontohkan seruling dan pemain suling. Dalam pendistribusian seruling, seorang pemain suling terbaik harus mendapatkan suling yang terbaik. Bagi Aristoteles tujuan dari adanya suling adalah menghasilkan suara yang terbaik maka yang paling mungkin untuk menghasilkan suara yang terbaik dari seruling haruslah mendapatkan yang terbaik. Dengan demikian, dalam kasus ini, ada semacam ‘diskriminasi’ dari konsep ‘keadilan Aristoteles. Namun ‘diskriminasi’ tersebut dilakukan demi pemenuhan dari tujuan dari sesuatu ada atau dibuat.

Menurut Sandel, cara berpikir teleologis, seperi Aristoteles di atas, terasa aneh ketika membicarakan keadilan. Contoh yang diberikan oleh Sandel adalah apakah sebuah lapangan tenis kampus ada baiknya digunakan oleh mereka yang membayar mahal, oleh para tokoh penting kampus, ataukah para pemain tenis terbaik? Contoh lain adalah biola Sradivarius yang dibeli oleh seorang kolektor yang lantas memajang biola itu di rumahnya dan bukannya menjadi milik Itzhak Perlman. Kita tentu merasa sayang dengan kenyataan ini karena kita tahu bahwa biola dibuat untuk dimainkan.

Pemikiran teleologis ini lazim di zaman Yunani Kuno—Aristoteles dan Plato. Bagi pemikir-pemikir ini, alam berada dalam keadaan yang teratur sehingga pemahaman kita atas alam dimungkinkan ketika kita memegang tujuannya. Perkembangan zaman dan ilmu pengetahuannya membuat pemikiran teleologis menjadi terlupakan namun Sandel mengatakan bahwa ia tak hilang sepenuhnya.

Setelah berbicara tentang keadilan dalam kerangka teleologis, Sandel lantas beralih membicarakan distribusi dalam kerangka keadilan dan hak-hak dalam institusi social. Mengikuti argument teleologis Aristoteles, ia lantas, untuk hal tersebut, membicarakan tujuan universitas dan politik.

Tujuan dari Institusi Sosial (Universitas dan Politik)

Ada dua pendapat mengenai apa yang menjadi keutamaan dan keunggulan dari universitas. Pertama, semata untuk memuliakan dan memberikan penghargaan atas keunggulan akademis. Kedua, universitas mengemban tugas terhadap masyarakat dengan memberi teladan dan membangun cita-cita atau gagasan dalam masyarakat. Setelah menemukan keutamaan dan keunggulan universitas, hal berikut yang patut dipertanyakan adalah sesiapa yang pantas menjadi bagian dari universitas dan apa fungsinya. Pertanyaan ini berhubungan dengan hal yang sangat praktis yakni syarat-syarat, administrasi dan ketentuan-ketentuan untuk dapat masuk ke universitas tersebut. Syarat, ketentuan, dan administrasi tersebut haruslah sesuatu yang adil juga.

Argumen mengenai keadilan dan hak-hak, seperti yang diuraikan sebelumnya, merupakan juga perdebatan mengenai maksud, fungsi atau tujuan dari sebuah institusi masyarakat, yang kemudian menjadi cermin bagi gagasan-gagasan yang saling bertentangan atas keutamaan apa yang seharusnya dijunjung institusi tersebut. Aristoteles yakin bahwa tujuan-tujuan tersebut adalah sesuatu yang ada dalam jangkauan pemikiran kita, artinya dapat kita urai dan telaah. Dalam kenyataannya di masyarakat tujuan-tujuan tersebut selalu melahirkan pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kemasyarakatan, baik secara politis ataupun tidak. Pertanyaannya kemudian bagaimana kita menyelaraskan antara gagasan mengenai kehormatan dan keutamaan? Dalam gagasannya mengenai politik, Aristoteles menggambarkan hubungan teleologi dan honorific (penghormatan).

Berbicara mengenai politik membawa kita pada pertanyaan “siapa yang seharusnya (pantas) memiliki hak untuk mengatur” dan “bagaimana kewenangan politik tersebut diamanatkan”. Karena muatan politik adalah masalah umum yang terjadi dalam praktek di masyarakat yaitu, distribusi pendapatan, kemakmuran dan kesempatan-kesempatan, tidak selalu mengenai uang tapi mencakup juga kehormatan dan kekuasaan. Untuk itu kita terlebih dahulu mesti melihat apa yang menjadi tujuan sebuah persekutuan politik. Karena, secara praktis, kita lihat bahwa beda komunitas politik berarti beda kepentingan yang dibelanya.

Berbeda dengan pemikiran Aristoteles yang diuraikan Sandel, politik saat ini dipenuhi oleh cita-cita atau tujuan pribadi masyarakat. Pemilu dibuat agar masyarakat dapat menentukan secara kolektif tujuan dan cita-citanya. Pemilu adalah prosedur yang memungkinkan kita menentukan nasib kita sendiri. Namun Aristoteles melihat politik adalah sarana untuk membentuk kewarganegaraan yang baik dan untuk menghasilkan karakter yang baik. Berikut kutipan dari Aristoteles:

Polis sejatinya disebut polis dan bukan sekedar nama saja, seharusnya mencurahkan dirinya  kepada usaha dan cita-cita kebaikan. Berlawanan dengan itu artinya hanya akan merendahkan persekutuan politik menjadi sekedar perkumpulan saja……berlawanan dengan itu hanya akan menurunkan hukum menjadi sekedar perjanjian…yang menjamin hak-hak manusia satu atas lainnya – selain menjadi, sebagaimana mestinya, aturan-aturan dalam hidup seperti itu akan membawa kebaikan dan keadilan bagi warga polis” (Sandel, hlm. 193)

Tujuan-tujuan politik hari ini seringkali disalah-artikan dan dibesar-besarkan oleh klaim-klaim politik; contohnya adalah dua klaim politik besar yang bersaing yaitu Oligarkis dan Demokrat, contoh yang barangkali diangkat Sandel dari politik USA. Oligarkis percaya bahwa mereka yang makmurlah yang pantas memerintah sedangkan demokrat percaya bahwa kewenangan politik adalah milik semua orang yang terlahir bebas. Padahal politik seharusnya tidak sekedar mengenai bagaimana mengamankan atau meraup (meningkatkan) kemakmuran ekonomi dan juga bukan semata pihak mayoritaslah yang lantas memiliki hak untuk memimpin.

Keutamaan masyarakat adalah cita-cita yang paling tinggi dari persekutuan politik. Masyarakat dilihat sebagai sebuah kesatuan utuh dan cara menjaganya adalah melalui keadilan dan kebaikan bersama, yang dapat dicapai dengan cara belajar hidup baik dan mengembangkan kapasitas serta keutamaan kita sebagai manusia. Lalu siapa yang pantas memegang amanat tersebut? Aristoteles menggambarkan Pericles sebagai contoh yang pantas. Mereka yang unggul dalam keutamaan masyarakat berarti yang terbaik untuk membawa kebaikan bersama dalam masyarakat, dan itu dapat dilihat dari kontribusinya dalam membangun karakter persekutuan politik. Mereka inilah, bukan mereka yang termakmur, terbanyak atau terpopulerlah, yang pantas mendapatkan pengakuan dan pengaruh politik yang tertinggi. Kehormatan dan tanggung jawab tertinggi adalah milik mereka yang paling baik mengenali kebaikan bersama dan keutamaan masyarakat. Manusia seperti itu tidak hanya akan memberikan kebijakan-kebijakan yang bijaksana atau menyenangkan bagi semua orang. Tapi juga menghargai dan menghormati keutamaan masyarakat, yang merupakan alasan sebenarnya dari keberadaan komunitas politik.

Sumber: https://www.loc.gov/resource/ppmsca.37648/

Di sini kita lihat bagaimana aspek teleologi, yang menekankan pada pentingnya tujuan sesuatu itu berada, bejalan bersama dengan aspek honorific (penghormatan) yang penekanannya pada nila-nilai yang harus dihargai, dalam penjelasan mengenai keadilan.

Berpolitik dan Menjadi Manusia yang baik

Bagi Aristoteles tujuan politik adalah menghantarkan manusia pada hidup yang baik. Pernyataan ini berlandaskan pada keadaan asali manusia, yang membedakannya dengan binatang, yakni kemampuannya berbahasa. adalah kemampuannya untuk berpolitik. Dan melalui bahasa inilah manusia mampu membeda-bedakan, melihat dan merundingkan tentang yang baik yang mana hanya dimungkinkan terlaksana, kemampuan berbahasa tersebut, di dalam perkumpulan politik. Dengan argument ini, Aristoteles sebenarnya hendak mengatakan bahwa politik/polis (negara kota) ada secara alamiah dan mendahului manusia individual. Karena hanya pada perkumpulan politiklah manusia menggunakan dengan maksimal kealamiahannya sebagai manusia yang membedakannya dengan binatang. Politik, dengan demikian, haruslah mempunyai sesuatu yang penting yang tidak dimiliki di dalam kegiatan yang lainnya, sehingga hanya di sanalah kealamiahan manusia dimungkinkan teraktualisasi. Hal ini membawa kita pada pemikiran Aristoteles tentang keutamaan dan hidup baik.

Bagi Aristoteles kehidupan moral bertujuan pada kebahagiaan yang mana adalah jalan, sebuah aktivitas jiwa, menuju keutamaan. Orang dengan keutamaan/orang berbudi luhur (virtuous person) menurut Aristoteles adalah orang yang menempatkan kesenangan dan kesedihan pada hal yang benar. Keutamaan moral adalah sesuatu yang didapatkan dari sebuah kebiasaan dan kebajikan didapatkan hanya dengan melakukannya.

Kebiasaan adalah sebuah langkah menuju keutamaan moral. Bagi Aristoteles dengan mendalami kebiasaan yang bajik/bijak, kita akan mampu memahami aksi-aksi yang bijak. Namun demikian, melakukan sesuatu yang bermoral berbeda dengan taat pada hukum. Hukum mengatur sesuatu yang singular sedangkan kebajikan moral berurusan dengan yang particular. Dan pendidikan moral membantu kita melihat sisi-sisi yang partikular dari sebuah situasi yang membutuhkan sebuah aturan tertentu dan bukan aturan yang lainnya. Demikian Aristoteles:

Hal-hal yang berkaitan dengan perilaku dan pertanyaan tentang apa yang baik bagi kita tidak memiliki suatu kepastian, lebih dari masalah-masalah kesehatan… Agen-agen sendirilah yang dalam setiap kasus harus mempertimbangkan apa yang sesuai dengan kesempatan, seperti yang terjadi juga dalam seni pengobatan atau navigasi.(Sandel, hlm. 198)

Keutamaan moral dengan demikian tidak terletak semata pada kebiasaan yang baik. Lebih jauh, keutamaan moral menyangkut melakukan hal yang baik pada orang yang benar, pada taraf yang benar, pada waktu yang benar, dengan motif yang benar dan dengan cara yang benar. Keutamaan moral dengan demikian membutuhkan sebuah keputusan tertentu, sebuah kemampuan atau pengetahuan yang dalam bahasa Aristoteles disebut ‘kebajikan praktis’ yang menyangkut bagaimana cara beraksi. Kebajikan Praktis, menurut Aristoteles, adalah kapasitas untuk beraksi yang raasional dan benar dengan penghormatan pada kebaikan manusia.

Kebajikan praktis adalah nilai moral dengan implikasi politik. Orang dengan kebajikan praktis dapat mempertimbangkan dengan baik apa yang baik, tidak hanya untuk dirinya tapi untuk seluruh penduduknya, dan untuk kemanusiaan secara keseluruhan. Pertimbangan dengan demikian menyangkut sesuatu aksi yang patut diambil sekarang dan di sini dengan melihat atau mempertimbangkan kebaikan manusia yang tertinggi yang bisa dicapai dibawah keadaan tertentu.

Teranglah di dalam politik (polis) orang bisa mencapai keutamaan ini. Tujuan dari menjadi warga negara (atau tujuan dari politik) bagi Aristoteles memang adalah demi mencapai keutamaan. Karena di dalam politiklah kebiasaan yang memungkinkan adanya keutamaan moral dan tindakan-tindakan bajik bisa dilakukan. Orang yang baik dengan demikian adalah dia yang menggunakan dengan sepenuhnya kealamiahannya yang membedakannya dengan binatang yakni kepenuhannya dalam mengelaborasi kemampuan berbahasanya menuju keutamaan hidup. Orang yang baik adalah orang dengan keutamaan hidup yang hanya mungkin didapatkan melalui aktivitas langsung, terjun di dalam polis.

Alasan bahwa esensi politik adalah hidup yang baik menurut Aristoteles adalah pertama hukum-hukum polis menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, membentuk karakter yang baik, dan menempatkan kita pada keutamaan warga negara. Kedua kehidupan sosial memungkinkan kita untuk meningkatkan kapasitas untuk mempertimbangkan dan dengan kebajikan praktis kita menjadi baik dalam mempertimbangkan sesuatu dengan memasuki arenanya; menjadi warga negara (sosial).

Bagi Aristoteles, tujuan politik lebih tinggi daripada memaksimalkan keuntungan (utilitas) atau memberikan aturan yang adil untuk mengejar kepentingan individu. Hal ini, sebaliknya, merupakan ekspresi alam kita, sebuah kesempatan bagi berlangsungnya kapasitas manusia, merupakan aspek penting dari kehidupan yang baik.

Aristoteles menulis tentang politik sebagai jalan menuju kebaikan hidup di atas sebuah sistem politik yang tidak semua orang bisa berpartisipasi di dalamnya. Mereka yang tidak bisa berpartisipasi itu adalah anak-anak, perempuan, dan budak. Apakah dengan demikian Aristoteles mendukung perbudakan?

Pada intinya, Aristoteles menerima budak sejauh orang yang menjadi budak itu menjadi budak karena secara alamiah ia dilahirkan dalam kapasitas tersebut. Pada kenyataannya, saat itu banyak budak di Yunani didapatkan dari perang. Mereka yang kalah perang diperbudak. Bagi Aristoteles, budak yang demikian sebenarnya adalah manusia bebas yang dicabut kebebasannya dan diperbudak.

Kasus Martin

Michael Sandel sekali lagi mengutarakan sebuah kasus menyangkut keadilan dilihat dari tujuan adanya sesuatu. Kali ini adalah Casey Martin, seseorang dengan kelainan peredaran darah yang berpengaruh pada kaki, namun ahli dalam bermain golf. Bila berjalan, Martin akan akan merasakan sakit yang luar biasa, sampai-sampai dapat menyebabkan pendarahan serta patah tulang. Walaupun demikian, Martin selalu unggul dalam bidang olah raga. Ia bermain dalam tim kejuaraan Stanford, kemudian beralih ke kejuaraan professional. Martin mengajukan permohonan kepada PGA (Perkumpulan pemain golf profesional) untuk menggunakan mobil golf selama mengikuti pertandingan. Namun PGA menolak permintaan tersebut dengan merujuk pada aturan yang melarang penggunaan mobil dalam kejuaraan profesional tingkat tinggi. Para pemain yang lain pun setuju. Mereka berpendapat bahwa stamina fisik berpengaruh terhadap prestasi. Sehingga, pemain golf yang menggunakan mobil akan mendapat keuntungan dibandingkan dengan yang berjalan kaki.

Martin membawa kasus ini ke pengadilan. Dengan menimbang latar belakang sejarah permainan golf dan pengaruh aktivitas berjalan selama permainan golf, pengadilan memenangkan Martin karena mengendarai mobil tidak akan mengubah dasar permainan atau memberikan keuntungan yang tidak adil. Alasan pengadilan sebagai berikut: (1) hakikat permainan golf adalah memukul bola menggunakan tongkat dan mengarahkan ke lubang sasaran dengan jarak tertentu dengan melakukan pukulan sesedikit mungkin, dan (2) permainan golf adalah permainan dengan intensitas kegiatan fisik yang rendah.

Keputusan ini menimbulkan perdebatan. Hakim Antonin Scalia yang tidak setuju dengan keputusan pengadilan demikian:

Untuk menentukan sesuatu disebut “mendasar” biasanya dinilai dari hubungannya untuk mencapai tujuan, seberapa perlu aktivitas tersebut. Tetapi hal mendasar dalam sebuah permainan tidak menyangkut tujuan penting dan mendasar kecuali sebagai hiburan, serampangan mengatakan bahwa beberapa aturan permainan merupakan hal penting dan mendasar (Sandel, hlm. 205)

Menurut Scalia, peraturan kritis yang dibuat PGA tidak perlu dikritisi. Secara sederhana, aturan itu bisa saja dicabut jika penggemar tidak menyukainya.

Menurut Sandel, pendapat Scalia mengabaikan beberapa aspek. Pertama, Scalia meremehkan nilai olahraga dan kompetisi. Penggemar atau pemain percaya bahwa aturan olahraga yang mereka gemari tidak diatur secara serampangan. Jika demikian, olahraga akan memudar menjadi sekedar sandiwara. Kedua, penerapan aturan yang berbeda pada pertandingan yang sama akan menurunkan nilai permainan. Aturan permainan dirancang dan disepakati untuk dipakai sebagai pedoman dan aturan permainan bersama. Bila aturan dibedakan dalam satu kejuaraan, lantas keahlian macam apa yang dipertandingkan, bakat dan prestasi macam apa yang hendak direbutkan? Nilai sportivitas olahraga pun akan menurun jika demikian.

Menurut Sandel, salah satu syarat penilaian keadilan adalah kesamaan alat ukur dan cara pengukuran. Dalam kasus mobil golf Martin, Sandel mengkritik keinginan Martin agar diperlakukan berbeda dari pemain golf lainnya. Martin minta hak perlakuan khusus dengan tujuan agar dapat memenangkan kejuaraan golf profesional yang akan memberinya hadiah uang dan nama tenar. Martin menjadikan kelemahan fisiknya sebagai alasan pembenar untuk mencapai tujuannya.

Casey Martin | Sumber: https://golfdigest.sports.sndimg.com/

Kesimpulan

Dari kasus di awal paparan Sandel dan di akhir paparannya, jelaslah terlihat bahwa yang terpenting adalah setia pada alasan dan tujuan dari sesuatu. Dengan demikian, bolehlah dikatakan, Sandel sepakat dengan Aristoteles. Sikap Sandel atas kedua kasus tersebut berbeda; dalam kasus pertama ia membela Callie dan dalam kasus kedua ia menentang Martin. Maka, keberpihakan dari Sandel sebenarnya ada pada kesetiaan pada alasan serta tujuan dari sesuatu, dalam kedua kasus ini keberadaan Cheerleader dan Permainan Golf.

Perdebatan tentang hak dan keadilan kerap terjadi. Begitu pula dengan debat tentang tujuan lembaga sosial, barang-barang yang dijual-belikan, dan keutamaan yang mereka hormati dan hargai. Pendapat Aristoteles dalam melihat hal ini adalah kembali pada tujuan dari hal-hal tersebut. Lantaran, di dalam tujuan-lah nilai-nilai keutamaan yang harus dihargai dan dihormati terkandung. Teleologis Aristoteles ini rupa-rupanya mengajak kita untuk tidak bias dalam meliat sebuah persoalan dengan persoalan yang lainnya.

Saat ini pengertian keadilan kerap dihubungkan dengan distribusi pendapatan, kemakmuran dan kesempatan. Namun Aristoteles memaksudkan keadilan tidak berorientasi pada uang, namun pada martabat dan kehormatan. Bagi Aristoteles tujuan akhir politik tidak untuk menyusun suatu Undang-Undang tentang hak, namun untuk membentuk masyarakat yang baik yang mampu mengelola sifat-sifat baik. Memampukan individu agar dapat mengembangkan keutamaan dan martabat manusia dalam mengelola kebaikan umum untuk mendapatkan keadilan.


*Catatan: Teks ini dari tugas-tugas kuliah pada Program Magister STF Driyarkara beberapa tahun yang lalu. Berbeda dengan beberapa teks serupa, pada teks ini saya tidak mencantumkan tanggal dan nama matakuliahnya. 

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram