Aku mengenangmu Dengan Pening Yang Butuh Panadol
Berto Tukan
Penerbit Anagram, September 2021
(cetakan pertama). X + 80 halaman
Sampul Buku “Aku Mengenangmu Dengan Pening yang Butuh Panadol”

Jakarta meledak jadi kenyataan yang berkeping-keping. Seorang penyair memunguti keping-keping kenyataan urban, menyusun sebuah puzzle memahami hidup, dan “hidup” jadi sesuatu yang ilusif karena keping-keping itu tak selalu sesuai untuk sebuah gambaran besar. Bahkan untuk sesuai dengan gambaran diri saja, agaknya musykil –apakah “penyair”? Seorang yang menulis puisi dan menerbitkannya? Atau tak perlu menerbitkannya? Ataukah seorang yang tak perlu menulis puisi, hanya perlu peka pada momen-momen puitik? Apakah Berto seorang penyair, dan kalau iya, penyair macam apa? (Pertanyaan ini tentu bisa dianulir oleh jawaban, apa pentingnya Berto penyair atau bukan? Ini nanti akan saya sentuh.)

Buku kumpulan puisi kedua Berto Tukan, setelah kumpulan sebelumnya, Sudah Lama Bercinta, Ketika Bercinta Tidak Lama (2018), masih menampakkan pergumulan Berto dengan dunia sehari-hari yang kebanyakan adalah dunia urban Jakarta. Pergumulan yang selalu mengemban posisi Berto sendiri sebagai seorang “pendatang” (tapi, secara kultural, siapakah yang bukan “pendatang” di Jakarta?). Pergumulan yang antara lain mewujud dalam diksi dan kosakata, bentuk, dan percobaan-percobaan pengucapan lain yang ingin menyempal dari tradisi liris arusutama puisi Indonesia.

Dalam diskusi buku Sudah Lama Bercinta… di Post Santa, Berto mengeluhkan dominasi Chairil Anwar dan puisi lirisnya dalam perpuisian di Indonesia. Tentu, puisi liris Chairil Anwar yang dimaksud adalah puisi semacam Cemara Berderai Jauh atau Senja di Pelabuhan Kecil. Puisi-puisi yang di satu sisi melanjutkan jelajah liris Amir Hamzah, dan kemudian menjadi “hantu” yang selalu menggayut di udara penciptaan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, beberapa puisi awal Taufik Ismail yang oleh Goenawan disebut masuk kategori “puisi suasana”, dan sampai sekarang terkesan sebagai bentuk terbaik puisi menurut pelajaran-pelajaran sastra di kebanyakan sekolah dan kampus.

Jalur liris mengakarkan puisi pada seni-bunyi, dan biasanya memang untuk dinyanyikan. Puisi dalam tradisi susastra peradaban tua di dunia, termasuk dalam peradaban Yunani Kuno, mengerahkan perangkat-perangkat bunyi seperti rima dan metrum, untuk mencapai keindahan bunyi dari bahasa. Dalam puisi modern, puisi liris menyatakan “Aku”, menghadirkan ekspresi individu dalam mengungkapkan perasaan-perasaan batin melalui susunan kata yang dikelola segi bunyinya. Dalam ungkapan terkenal Hartojo Andangdjaja, yang lantas jadi judul bukunya, puisi adalah “dari sunyi, jadi bunyi.

Ungkapan perasaan batin amatlah penting dalam puisi liris modern, karena itulah wahana untuk penghadiran Aku –bagaimana ia menanggapi dunia di luar Aku, bagaimana ia melakukan abstraksi-abstraksi untuk menstrukturkan realitas yang ia lihat atau alami, bagaimana ia menafsir dan memaknai dunia, bagaimana ia bergumul dengan dirinya sendiri, berupaya semakin mengenali diri. Dalam tradisi liris, segala pergumulan itu diberi syarat: mencapai keindahan bahasawi. Apa yang dimaksud “keindahan”, tentu banyak perdebatan di situ.

Berto, yang dalam diskusi itu mengakui memang mengagumi juga puisi-puisi liris Chairil Anwar, memilih jalur non-liris. Sebetulnya, Chairil Anwar sendiri –sebagai seorang modernis tothok, yang antara lain tercirikan dalam obsesinya bereksperimen dengan bentuk– juga bereksperimen bentuk non-liris. Khususnya, dalam puisi berjudul 1943. Dalam puisi itu, Chairil membongkar hasrat keindahan dan keteraturan bentuk. Puisi dipenuhi oleh bait-bait satu kata, membangun sebuah kesan chaotic dan impresif akan sebuah dunia yang sedang berai dan tak bisa dijinakkan oleh rima dan metrum.

Eksperimen semacam ini membuka jalan bagi puisi-puisi seperti dicipta oleh Sutarji Calzoum Bachrie, Toeti Heraty, Yudhistira ANM Massardi, Afrizal Malna, hingga Aan Mansyur. Berto mengambil jalur non-liris ini, dengan menapaki jalur unik yang telah dibuka oleh Afrizal Malna, yakni jalur penyair sebagai pewarta alam kebendaan sebuah dunia industrialisme tahap lanjut (late industrialism). Dalam alam kebendaan kontemporer ini, benda-benda yang lazim dalam keseharian urban, termasuk merk-merk produk dan kemasan-kemasannya, menjadi unsur pembangun dunia puitik yang valid.

Sebuah Sudut Stasiun Kota | @BertoTukan

Diksi puisi-puisi Berto dibangun oleh sebuah penerimaan nyaris total pada derasnya rangsang benda di dunia urban yang ia alami: Jakarta, dengan segala kekacauan dan kearifannya. Sedemikian, hingga merk obat “Panadol” pun menjadi bagian diksi puitiknya. Malah dijadikan judul kumpulan ini, bukan? Judul dari salah satu puisinya, yang sebetulnya sedang mengorek kegalauan atas usia, dalam pening dan kesadaran yang terserak.

tersentak bunyi kipas angin berputar
pening panadol terkurung di meja baca

lelah pada helaan ini
aku ingin mengajakmu

(halaman 31)

Puisi pendek ini mengandung lompatan-lompatan imaji. Dari “pening panadol”, melompat ke pikiran tentang “selera”, lalu “kolaborasi”, lalu sebuah komentar yang padat tentang dunia keberagamaan kita saat ini, yang tampaknya mengalami intensifikasi simbolik sekaligus mengalami pemiskinan dimensi batinnya:

doa tersiasia
rumah ibadah setiap dua rw satu  

Eh, dari situ, masih melompat pula ke “bis transjakarta duapuluh empat jam” dan lompat lagi ke “beberapa Langkah kecil”. Berto bisa menyalahkan lompatan-lompatan “liar” dalam puisi ini pada Panadol yang rupanya memengaruhi Aku-lirik menyerap dunia dalam peningnya. Tapi, keberserakan tuturan seakan acak ini juga bertebaran di sekujur buku, dalam derajat keacakan berbeda-beda (sebetulnya, malah, kebanyakan tidak acak-acak amat –tapi disusun dan dibaca sebagai keseluruhan, akan terasa kuat keberserakan itu). Artinya, ini memang watak puisi-puisi dalam kumpulan ini. Puisi-puisi yang lahir dari keterserakan keping-keping kenyataan.   

Misalnya, dalam puisi pertama, nongkrong malam di monas, minum segelas plastik kopi, engga jadi apaapa:

kabarkabar terjadwalkan
terbang berhamburan ke kepala kami

angkot melaju kencang
terkunyah Bersama tempe mendoan
kehilangan gurih angin el nino (atau el nina?)
per diem per diem per diem

Sering, puisi-puisi Berto di buku ini tersusun dari sebuah hidup tak berstruktur di suatu gang Jakarta, yang padat sehingga celana dalam tetangga pun jadi lanskap jendela Berto (halaman 29-30). Tak ada mooi indie di situ. Ataukah justru itu mooi indie Jakarta bagi Berto?

selamat sore, jeqardah!
kakiku tercebur lumpur mooi indie-mu

(halaman 35)

Jika iya, ini adalah sebuah mooi indie bagi Berto (dugaan saya, ini mooi indie yang ironis bagi Berto), ada sedikit keliru kaprah dalam memahami mooi indie. Dalam seni rupa, istilah mooi indie (Hindia permai) adalah sebuah karakterisasi aliran senirupa yang dikritik oleh Sudjojono –aliran lukisan, biasanya oleh para pelukis Belanda– yang menyukai objek pemandangan alam permai di tanah Hindia, dan kehilangan koneksi dengan kenyataan hidup rakyat yang hidup sehari-hari di alam permai itu. Kritik Sudjojono terhadap mooi indie sangatlah teknis: Sudjono mengalihkan batas pandang pada suatu garis horison nan jauh untuk menangkap pemandangan permai itu, menjadi batas pandang manusia, yang lantas bisa menangkap keseharian hidup orang-orang di alam rural yang dilukis para pelukis mooi indie.

Yang ditatap Berto dalam puisi-puisinya, yang ia sebut “mooi indie-mu” itu lebih mirip objek tatapan Sudjojono ketimbang objek tatapan para pelukis mooi indie asliTapi, kalaulah itu memang sebuah kesalahkaprahan, konteks tekstual puisi-puisi Berto membuatnya tak apa-apa. Keberserakan dalam dunia hidup Berto yang jadi objek tatapan puitiknya menyebabkan ada semacam kelenturan pilihan kata, abstraksi keadaan, dan kerangka konseptual dalam puisi-puisi Berto. Dan ini cocok dengan pilihan bentuk yang dipilih Berto.

Ia memilih melucuti puisi-puisinya bukan hanya dari keselarasan bunyi, dari rima dan metrum yang membentuk sebuah ritme teratur yang seringkali dikonotasikan dengan “keindahan”, tapi juga dari tanda-tanda baca dan huruf kapital. Kata majemuk tak diberi tanda “-“, disambungkan begitu saja. Hal ini tentu pernah dilakukan, misalnya oleh E.E. Cummings, Amiri Baraka, Sutardji, Beni Setia, Afrizal Malna, atau Aan Mansyur. Berto juga tampak sangat mengandalkan pemenggalan kalimat, menjadi baris-baris yang kadang panjang sering pendek belaka (satu kata saja, misalnya, dalam satu baris), untuk membangun kesan puitisnya.

Berto cukup berhasil menautkan pilihan gaya tutur demikian dengan pilihan diksi dan jelajah tematiknya tentang ruwet, ruah, dan riuhnya sebuah kekotaan (city-ness) Jakarta yang ia alami. Kita lihat, ada pengaruh Afrizal dalam diksi yang memvalidasi merk dan benda keseharian sebagai elemen puitik. Berto malah lebih lentur lagi: ia memasukkan kata-kata slang masa kini secara royal sebagai unsur puitiknya, seperti “jeqardah”, “filtering aplikasi gambar”, “kids zaman now”, “gopay”, “indomaret”, dan sebagainya.

Misalnya, bait ini:  

interteks
tekstualitet
telolet om telolet om

(halaman 69)

Atau:

filsafat dari new york
earphone Tokopedia
di atas motor rudini

(halaman 74)

Sebuah Sudut Stasiun Kampung Bandan | @BertoTukan

Kekotaan yang acak dan terserak yang dipandang Berto menghasilkan sebuah kekataan yang dinamis. Dengan dinamisme itu, Berto kadang dengan efektif menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang tak sesuai dengan “Bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Penggalan-penggalan kalimat yang menghasilkan bait-bait atau baris-baris kalimat yang tak selalu koheren dan rapi, menambah kesan sebuah hidup yang bergerak cepat dan serba-menabrak.

Judul-judul panjang di buku ini juga menegaskan kekotaan dan kesadaran yang terserak itu. Saya teringat puisi-puisi Adri Damardji Woko dalam antologi Penyair Muda di Depan Forum (Dewan Kesenian Jakarta, 1976). Tapi, saya kira, judul-judul panjang itu lebih dekat dengan judul-judul headlines sensasional pada koran Lampu Merah atau majalah-majalah dakwah Hiqayah. Ada semacam sensasionalisme bernada humor dalam judul-judul media yang membidik khalayak jelata itu. Nada yang juga terasa dalam judul-judul panjang di buku ini. Lagipula, bacaan jelata demikian turut membangun dunia kekotaan sehari-hari yang dialami Berto.

Buku tipis dengan teks dinamis ini juga hadir dengan sebuah bonus. Di halaman akhir, ada QR Code yang menuntun kita pada sebuah e-book buku saku kumpulan puisi catatan selama Pandemi karya Berto juga, Kita #dirumahsaja dan Khawatir Akan Dunia. ***


*Catatan: Tulisan Hikmat Darmawan ini pertama kali dipublikasikan di kulturalindonesia.id, 3 November 2021. Dipublikasikan ulang di sini untuk tujuan pengarsipan.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram