Edmund Husserl tentu nama yang tak asing untuk kita. Ia adalah pencetus aliran fenomenologi yang banyak mempengaruhi filsafat abad ke-20. Ia pada awalnya adalah seorang matematikawan yang lantas beralih menekuni filsafat. Dalam cuplikan tulisannya yang diambil dari Introduction to the Logical Investigation (LI) dan The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (CE) yang disertakan dalam buku Continental Philosophy of Science oleh editornya, Gary Gutting, kita melihat pemikiran filsafat Husserl yang digunakannya untuk membicarakan sains. Berikut rangkuman atas cuplikan tulisannya tersebut.

Filsafat Mendasari Sains

Husserl memulai tulisannya dari LI dengan membicarakan mathesis universalis. Mathesis Universalis adalah sebuah cabang dari “logika murni” yang paling komprehensif menunjukkan karakter dari “logika murni” tersebut. Mathesis Universalis ini menunjukkan sebuah karakter yang murni matematika ‘analitis’, sebuah cabang dari Logika Murni yang menurut Husserl sepenuhnya a priori yang berurusan dengan ‘kategori-kategori makna’ atau ‘objek formal’. Mathesis Universalis ini menurut Husserl adalah sebuah matematika murni yang mana bahkan psikologisme empiris seperti dari John Stuart Mill pun harus mengakui bahwa ia [mathesis universalis] mempunyai sistem doktrin yang ketat-mandiri yang berbeda dengan ilmu alam. Mathesis Universalis dengan demikian membuktikan bahwa ada klaim logis objektif sains yang terlepas dari sikap mental-psikis tertentu. Dengan demikian, penjelasan Husserl tentang mathesis universalis ini sekaligus juga mengkritik psikologisme.

Setelah menggunakan mathesis universalis sebagai kritikan atas psikologisme, Husserl pun menunjukan kelemahan darinya. Menurut Husserl, mathesis universalis dalam bentuk teknisnya bisa dikatakan naïf karena berorientasi pada alam obyektif tanpa ada sebuah hubungan dengan epistemologi dan fenomenologi. Selanjutnya, bagi Husserl kenaifan dari mathematis universalis ini bisa berubah, bisa menjadi sebuah uraian filosofis, jika ia mempelajari atau mengikuti formula dari fenomenologi yang mana menyediakan sebuah penjelasan tentang hubungan antara benda-benda (alam) dengan kesadaran. Dengan belajar atau mengikuti metode fenomenologi ini maka ia bisa menjadi sebuah formula logika murni yang filosofis.

Edmund Husserl | Sumber: https://www.britannica.com/biography/Edmund-Husserl

Jadi sebenarnya bagi Husserl yang dimaksudkannya lebih kepada pengaplikasian dari fisafatnya kepada mathematis universalis. Salah satu contoh dari Husserl adalah ilmu alam yang ketika memasuki perkara epistemologi a la fenomenologi mengubah dirinya dari sekadar ilmu alam menjadi filsafat alam. Dengan memasuki perkara filosofis, maka sebuah ilmu pengetahuan, menurut Husserl, tidaklah sekadar sebuah ilmu yang naif tetapi memiliki sebuah pendasaran yang kokoh sebagai sebuah ilmu. Ilmu positif bagi Husserl mencoba untuk memecahkan atau menggunakan cara ini tetapi ia tidak berhasil.

Terlupakannya Dunia Keseharian

Husserl pada CE terlihat mengingatkan sains tentang dunia sehari-hari. Dengan mengangkat kasus Galileo, Husserl hendak mengatakan bahwa ilmu pengetahuan, dalam hal ini geometri, lupa akan intuisi mendasarnya, intuisi akan dunia keseharian. Geometri pada awalnya adalah sebuah techne atau seni dalam hal survey. Namun, Galileo lupa akan intuisi dasarnya yakni hidup yang terberi ini. Tujuan dari setiap ilmu pengetahuan, sains, dan demikian juga geometri adalah melayani dunia keseharian ini. Sains sebagai techne berarti sains sekadar sebagai instrumen dalam menghadapi dunia namun sebagai techne ia tidak punya sebuah kemampuan refleksi yang mendalam. Usaha untuk merefleksikan tujuan dari sains ini kerap hanya berhenti pada sesuatu yang ideal dan tidak mencapai sebuah refleksi radikal bahwa sains itu harusnya melayani kehidupan keseharian itu. Padahal, hanya dengan adanya dunia inilah atau hanya di dalam dunia inilah para ilmuwan itu bisa menjalankan segala penelitian dan pekerjaan mereka.

Semua hukum ilmiah atau teori ilmilah menurut Husserl hanyalah sebuah prediksi. Dan cara kerja ilmu adalah induksi; dengan sebuah teori yang khusus yang lantas diambil dan digunakan untuk keseluruhan. Prediksi yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan ini adalah prediksi atas dunia yang tak terbatas. Bagi Husserl, kenyataanm atau kehidupan secara keseluruhan itu realitasnya jauh melampaui apa yang terlihat darinya. Dan kita melihat dunia salah satunya melalui ilmu pengetahuan. Di sinilah letak kelemahan atau kritikan Husserl terhadap ilmu pengetahuan yang berusaha menjelaskan keseluruhan dunia melalui kespesifikasian pengelihatannya atas suatu hal.

Pada bagian akhir kutipan dari CL ini Husserl mengatakan bahwa para ilmuwan, yang diwakili para matematikawan, menganggap sesiapa yang berusaha menjelaskan atau memberikan refleksi tentang tujuan utama dari ilmu pengetahuan itu sebagai sesuatu yang ‘metafisis’.

Sumber: https://www.eco-business.com/opinion/pseudoscience-is-taking-over-social-media-and-putting-us-all-at-risk/

Sedikit Tanggapan

Dengan metode fenomenologi, ilmu pengetahuan atau mathesis universalis dapat menjadi sebuah ilmu yang benar-benar filosofis. Demikian salah satu butir pemikiran Husserl di dalam LI. Fenomenologi berkutat pada hubungan antara benda-benda dan kesadaran (manusia yang berpikir). Selanjutnya, pada CL Husserl lebih lanjut menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sekadar teknik untuk mengetahui kehidupan. Sedangkan apa yang hendak diketahuinya itu bersifat tak terbatas. Dengan demikian ilmu pengetahuan butuh sebuah refleksi yang lebih mendalam yang melampaui sifat teknis-nya itu, sebuah refleksi yang, katakanlah, sepenuhnya transendental.

Melihat posisi Husserl ini maka bisa dikatakan Husserl adalah seseorang yang ‘anti realis’ dalam pengertian yang sempit. Pada LI ia menekankan hubungan antara obyek dan kesadaran. Artinya, yang terpenting baginya adalah kesadaran dari subyek yang berpikir itu. Hal ini diperkuat lagi ketika di dalam CL ia kembali menekankan pada perihal keterlupaan ilmu pengetahuan pada tujuan mendasarnya yakni pengabdian pada kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari ini bersifat tak terbatas sedangkan ilmu pengetahuan yang terbatas itu berusaha menjelaskannya dari keterbatasannya. Maka itu, ia butuh pendasaran atau bantuan dari refleksi yang lebih radikal, katakanlah refleksi yang transenden. Hal ini semakin mempertegas posisi Husserl yang juga mengamini fungsi ilmu pengetahuan namun menuntut sebuah refleksi yang lebih radikal atas dunia ini. Ilmu pengetahuan di mata Husserl tak bisa menjelaskan dunia karena sifat ilmu pengetahuan yang terbatas sedangkan dunia itu tak terbatas.


*Catatan: Tulisan ini berasal dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu di Program Magister Filsafat STF Driyarkara, 30 Oktober 2013.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram