Dalam A Guide to Merleau-Ponty’s Phenomenology of Perception, George J. Marshall menunjukkan struktur apa yang hendak dikatakan Ponty pada bagian “The Sensation as a Unit of Experience” ini. Marshall membaginya menjadi dua bagian yakni problem teori common sense tentang sensasi yang mana pengertian ini diadopsi oleh ilmu psikologi yang mengatakan bahwa sensasi adalah bagian dari pengalaman. Dan yang kedua adalah perihal status konsep sensasi dalam fisiologi. Pada ringkasan atas bagian “The Sensation as a Unit of Experience” ini saya juga mengikuti ‘peta’ yang dibuat Marshall untuk memasuki Phenomenology of Perception.

Ponty pada bagian ini membahas perihal ‘sensasi’. Yang dilakukan Ponty adalah memeriksa segala pemahaman tentang ‘sensasi’. Terkhusus pemahaman perihal hal itu dalam ranah ilmu psikologi dan fisiologi. Ponty memulai bab ini dengan pernyataan bahwa dalam studi tentang ‘persepsi’ selalu ada perihal ‘sensasi’. ‘Sensasi’ adalah efek dari ‘persepsi’ atas sesuatu. Bisa juga dikatakan ‘sensasi’ adalah sebuah bagian dari pengalaman diri.

Sensasi mungkin dipahami, menurut Ponty, sebagai efek dari sesuatu; dan juga adalah pengalaman dari diri sendiri. Selanjutnya, Ponty mencontohkan sensasi tersebut dengan kehijauan yang mengelilingi saya dan tak berjarak. Kehijauan yang mana ketika saya menutup mataku, mengelilingiku, tidak ada jarak antara saya dan ia. Selain itu ia juga mencontohkan dengan suara. Sensasi ini terberi begitu saja, tanpa makna. Hal ini dimaknai sebagai ‘sensasi yang asli’. Pemahaman demikian merupakan salah satu posisi pemahaman sensasi dari psikologi.

Maurice Merleau-Ponty | Sumber: https://www.merleauponty.org/

Ponty melawan pemahaman bahwa sensasi adalah suatu impresi yang muncul dalam pengalaman. Ia mengatakan bahwa hal itu tidak berkorespondensi dengan apa pun di dalam pengalaman kita. Namun menurut Ponty hal ini belum bisa dipakai untuk melawan anggapan dalam teori-teori tertentu bahwa pengalaman adalah latar belakang dari ‘impresi’. Ponty mengatakan bahwa ketika teori Gestalt memberitahu kita bahwa sosok di latar belakang adalah sensasi sederhana yang terberi pada kita, kita bisa menjawab bahwa hal itu bukanlah karakteristik persepsi yang aktual, yang membuat kita bebas, dalam analisis yang ideal, untuk memahami makna dari impresi. Dengan demikian bagi Ponty persepsi tidak bisa dikatakan terpersepsikan tanpa sebuah latar belakang tertentu. Mepersepsikan sesuatu selalu adalah mempersepsikan sesuatu di tengah hal lain; persepsi atas sesuatu selalu adalah bagian dari keseluruhan.

Dengan demikian, Ponty sudah menunjukkan kelemahan dari dua asumsi tentang sensasi dari psikologi. Ia pun lantas menolak memahami sensasi sebagai impresi asali. Baginya apa yang dianggap sebagai kualitas sensasi sebenarnya adalah bagian dari data-data yang tersensasikan. Misalkan merah atau suara tertentu bukanlah sensasi itu sendiri, mereka merupakan data dari obyek yang tersensasikan. Bisa juga kita sederhanakan hal ini dengan mengatakan bahwa yang dianggap sebagai sensasi sebenarnya adalah apa yang muncul atau merangsang sensasi itu sendiri.

Ponty juga melihat bahwa dengan memandang sebuah objek dalam kualitasnya, kita sesungguhnya memahami objek tersebut dalam relasinya dengan hal lainnya. Ketika kualitas objek ini kita angkat ke dalam kesadaran, menurut Ponty kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai ‘kesalahan pengalaman’. Kita menganggap bahwa kita mengetahui sesuatu tetapi sebenarnya kita tak tahu apa-apa. Hal ini lantaran kita menganggap bahwa dengan memahami kualitas benda tersebut kita tahu tentang benda itu. Padahal yang kita tahu itu adalah kualitas benda tersebut yang menampak akibat relasi benda itu dengan hal lainnya. Bukan benda itu sendiri. Misalnya, kita tahu tentang kemerahan dari warna merah. Padahal, kemerahan itu adalah kualitas yang muncul akibat relasi merah dengan cahaya tertentu.

Menurut Ponty ada dua kesalah-pahaman tentang kualitas. Pertama adalah kualitas dipandang sebagai bagian dari kesadaran padahal kualitas adalah objek dari kesadaran. Kualitas sering diperlakukan sebagai impresi yang tak bisa dikomunikasikan. Kualitas dipahami sebagai memiliki makna. Kesalahan kedua berasal dari pandangan awal kita tentang dunia. Mengelaborasi apa yang dimaksudkannya di kesalahan kedua ini, Ponty menganalisa perihal ‘wilayah visi’ dan juga illusi optikal dari Mueller-Lyer. Dari dua hal ini Ponty menunjukkan bahwa pengalaman hidup menghadirkan pada kita makna yang tak tentu dan samar-samar. Demikian Ponty, “kita harus mengakui ketak-tentuan sebagai fenomena positif. Karena dalam keadaan yang demikian kualitas muncul. Maknanya adalah makna yang samar-samar; kita konsern dengan nilai ekspresif daripada dengan signifikansi logis.”

Selanjutnya, Ponty memeriksa masalah ini dalam pemahaman fisiologi. Fisiologi melihat anatomi tubuh sebagai sesuatu yang penting dalam perihal ‘sensasi’ ini. Pertama-tama, fisiologi menganggap objek sebagai sesuatu yang ada di dunia dan memperlakukannya sebagai perpanjangan. Persepsi dalam fisiologi pertama-tama melihatnya sebagai perkara anatomi yang mana adanya sebuah penerimaan melalui pemancar tertentu dan kemudian terekam. Dengan demikian dunia objektif terberikan pada dan diuraikan pada kita dan menghasilkan kembali sebuah teks yang asli. Sehingga dibutuhkan korespondensi antara stimulus dari luar dan persepsi dasar. Dengan kata lain, ada hubungan antara data dari luar dan a priori yang ada di kepala. Sensasi dan persepsi bisa dikatakan sebagai sesuatu yang merupakan hasil dari rangsangan dari luar. Data-data rangsangan itu dengan sistem anatomi tertentu dibawa ke dalam kesadaran kita lantas memproduksi pemahaman kita akan data yang ada di luar itu. Hal ini disebut sebagai ‘hipotesis kekonstanan’. Ponty keberatan dengan posisi dari fisiologi ini. Menurutnya ‘hipotesis kekonstanan’ ini tidak cocok dengan data kesadaran.

Setelah melakukan pemeriksaan pada pemahaman psikologi dan fisiologi tentang sensasi dan persepsi, Ponty menyimpulkan bahwa keduanya tidak bisa dikatakan sebagai science yang paralel melainkan dua hal tentang kebiasaan manusia. Perbedaannya psikologi bersifat konkrit sedangkan fisiologi bersifat abstrak. Lebih dari itu, bagi Ponty, ketika teori-teori tersebut tidak bisa menjawabi apa pengalaman itu sebenarnya maka tak akan ada sebuah cara atau percobaan untuk menjawabi permasalahan ini; tidak ada sebuah jawaban tunggal untuk permasalahan ini. Menurutnya pada tahap paling elementer dari sensibilitas, ada kerja sama antara sebuah rangsangan parsial dan ada kolaborasi antara sistem sensor dengan sistem motorik yang mengesampingkan definisi bahwa sensibilitas merupakan proses saraf sebagai transmisi sederhana dari pesan yang diberikan.

Ponty pada bagian akhir dari bagian tentang ‘the sensation’ ini sepertinya hendak menunjukkan bagaimana caranya jika kita hendak memahami ‘pengalaman merasakan’ (sense experience). Ia mencontohkan dengan pemikiran primitif yang hanya bisa kita dapati gambarannya secara menyeluruh dan benar jika kita dalam penerjemahan atas pemikiran tersebut memahaminya dalam kerangka yang dipahami orang primitif itu, cara mereka bertutur dan juga interpretasi keadaan sosiologis mereka. Dengan kata lain, pengalaman sensasi terkadang harus dipahami dalam kepatuhan pada konteks objek tersebut, kekentalannya, yang terkadang juga kehadirannya secara positif tidak menentu, yang mencegah keutuhan spasial, temporal dan numerik, sehingga ia menolak pengartikulasian yang teratur, tertentu dan dapat teridentifikasikan.

Membaca bagian terakhir dari Ponty tentang ‘pengalaman merasakan’ (sense experience) ini, saya sepertinya mendapatkan sedikit kesan yang mirip dengan pemikiran Husserl. Husserl terkenal dengan pandangannya yang mengajak untuk kembali pada benda pada dirinya; zu den sachen Selbs. Ponty dengan mengatakan bahwa untuk memahami ‘pengalaman merasakan’ sebagai setia pada obyek dan konteksnya dan yang menolak untuk dimaknai dan ditentukan seolah-olah juga kembali pada hal tersebut. Memahami obyek tertentu tidak bisa dengan mengerangkengnya dalam pemahaman kita yang tertentu dan pasti melainkan harus setia pada obyek dan keberadaan obyek itu dalam konteksnya (konteks di sini jika boleh bisa kita pahami sebagai dunia). Pada bagian ini dengan demikian Ponty sepertinya tidak jauh berbeda dengan pemikiran Husserl dan juga Heidegger, dua pemikir fenomenologi sebelumnya.


*Catatan: Tulisan ini berasal dari tugas mata kuliah “Merlau-Ponty: Phenomenology of Perception” di Program Magister STF Driyarkara, 11 Maret 2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram