A Common Word Between Us and You merupakan surat yang dibuat oleh 138 Pemimpin Muslim sedunia. Surat ini ditujukan kepada pemimpin Umat Katolik Paus Benediktus XVI. Surat ini pada intinya adalah mengajak membangun sebuah dialog antara dunia Kristen dan dunia Islam. Dari surat ini kita bisa melihat bagaiamana ada usaha dari pihak dunia Muslim untuk membuka diri terhadap dunia Katolik/Kristen.
Seruan utama dari para Ulama Muslim ini adalah agar umat Kristen menjalin persatuan dengan umat Islam, mengingat banyaknya kesamaan antara Kristen dan Islam. Sesungguhnya tak ada alasan bahwa Islam dan Kekristenan berseteru. Hal itu diberi pelandasan misalnya dengan menyatakan bahwa al-Quran mengajar umat Islam untuk memperlakukan orang Kristen dan Yahudi sebagai saudara.
Kutipan berikut, dari surat tersebut, kiranya bisa memperjelas pernyataan persaudaraan antara ketiganya itu :
“Sebagai Muslim, kami mengatakan pada umat Kristiani bahwa kami tidak menganggap mereka sebagai musuh dan Islam tidak menentang mereka. Perlunya untuk mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia merupakan dasar-dasar yang sama-sama dimiliki Islam dan Kristen”.
Menghilangkan Ketegangan
Menekankan ihwal persaudaraan ini menjadi penting ketika surat ini sendiri mengelaborasi suasana keretakan antara dunia muslim dan dunia kristen. Keretakan ini akibat Paus Benediktus XVI mengutip pernyataan Kaisar Bizantium yang mengidentikkan Islam dengan kekerasan. Kedamaian antara Muslim dan Kristen dianggap penting bukan untuk Muslim sendiri atau Kristen sendiri. Lebih dari pada itu, kedamaian keduanya demi bumi ini sendiri. Simaklah bagian surat berikut:
“Jika Muslim dan Kristiani tidak hidup damai, maka dunia tidak bisa damai. Umat Muslim dan Kristen menguasai lebih dari 55 persen populasi dunia, dan menjaga hubungan antara penganut kedua agama ini merupakan faktor terpenting dalam kontribusi mereka terhadap perdamaian dunia.”
Karena populasi yang diduduki keduanya hampir membagi warga bumi menjadi dua, maka kebersamaan mereka patut dilakukan demi tak menghasilka kehancuran bumi yang lebih fatal lagi.
Peperangan antara keduanya bukanlah sebuah masa depan yang dicita-citakan bersama. Ketika keduanya percaya pada dunia setelah kematian, maka peperangan dan pertikaian di dunia ini yang bakalan membawa petaka bagi keduanya dan yang lainnya. Maka, pertikaian dan profokasi-profokasi tak penting yang berkemungkinan mendatangkan hal-hal yang demikian harap untuk tidak dielaborasi lebih jauh.
Satu hal yang masih menjadi bahan pembahasan adalah sepucuk surat yang ditandatangani 138 pemimpin, politisi, dan intelektual Muslim mewakili dunia Islam (belakangan jumlah penanda tangan menjadi 250 orang) yang dikirimkan Paus Benediktus XVI. Surat itu dikirim pada Oktober 2007. Surat yang diberi judul A Common Word Between Us and You itu intinya menyatakan keyakinan para tokoh Islam bahwa ada titik temu antara kekristenan dan Islam. Titik temu itu adalah dua pilar hukum agama masing-masing: cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama.
Kedua hukum cinta kasih itu, yang disebut The Golden Rule, dilihat sebagai basis untuk pijakan bersama dalam dialog. Di dalamnya dikatakan, baik agama Islam maupun Kristen melihat hukum cinta kasih sebagai prioritas dan dasar hidup beriman. Atas dasar kedua hukum ini, tidak ada agama yang mengizinkan kekerasan dan pembunuhan (apalagi atas nama Tuhan).
Kedua agama bisa bekerja sama bahkan untuk membangun kemanusiaan karena sama-sama mencintai Tuhan yang merupakan Pencipta dan Penebus bahkan Pencinta Manusia. Peristiwa penting itu—pertemuan Raja Abdullah dengan Paus Benediktus XVI; surat para tokoh Islam dan jawaban Paus atas surat itu—mendorong dilakukannya sebuah seminar tentang hubungan atau dialog antaragama, terutama antara Kristen (utamanya Katolik) dan Islam, pada 1-15 Juli 2009 di Kairo, Mesir. Pertemuan yang dihadiri peserta dari delapan negara—Amerika Serikat, Afrika Selatan, Taiwan, Indonesia, Jerman, Inggris, dan Irlandia—itu diprakarsai IDEO (Institute Dominicains Etudes Orientale), sebuah lembaga studi tentang Islam di Kairo.
Tidak berlebihan jika dikatakan, Raja Abdullah dan Benediktus XVI adalah dua pangeran di bumi ini yang percaya bahwa dialog adalah amat penting, dan melalui dialog akan lahir sebuah perubahan. Para peserta seminar di Kairo memiliki keyakinan, tata dunia tidak bisa diubah oleh kekerasan, kekuatan militer, pembasmian, atau penyudutan kelompok yang satu oleh kelompok lain, penihilan golongan satu terhadap golongan lain. Perubahan tata dunia memiliki komponen karakteristik dialogal. Bukan invasif, tetapi kolaboratif.
Melalui surat para tokoh Islam itu—antara lain ditandatangani Mufti Agung Bosnia dan Herzegovina, Rusia, Kroasia, Kosovo dan Suriah, Sekjen Organisasi Konferensi Islam, mantan Mufti Agung Mesir dan pendiri Organisasi Ulama Irak—menjadi kian jelas bahwa dialog adalah pintu sekaligus jalan yang akan membawa ke perdamaian. Dengan dialog, setiap pihak terbuka jalan untuk saling memahami.
Apalagi, baik umat Kristen maupun Islam—seperti disebut dalam surat para tokoh Islam itu—menyembah Tuhan yang sama. Keduanya percaya pada ”keluhuran cinta sepenuhnya dan devosi pada Tuhan” dan baik nilai-nilai akan cinta dan perdamaian dunia. Karena itu, hubungan yang baik di antara kedua agama merupakan ”faktor paling penting dalam menyumbang perdamaian di seluruh dunia”.
Dialog Menuju Kesepahaman
Vatikan menjawab surat itu dengan mengundang masing- masing pihak: 24 tokoh penting agama Islam dan Kristen ke Vatikan pada November 2008. Pertemuan itu menghasilkan sebuah deklarasi yang menegaskan kembali The Golden Rule, yaitu cinta akan Allah dan kepada sesama sebagai basis atau panggilan kedua agama, perlunya toleransi bahkan menghapus segala diskriminasi atas dasar agama, kebebasan menjalankan ibadah dan mendirikan tempat ibadah, serta menekankan antikekerasan atas nama agama serta perlunya kerja sama demi pembangunan kemanusiaan.
Dari sini, kami yang hadir dalam pertemuan di Kairo semakin yakin bahwa ”cinta akan Allah” dan ”cinta kepada sesama” menjadi landasan kuat untuk membangun dialog antara Kristen dan Islam. Itulah The Golden Rule. Gereja Katolik sendiri yakin, dialog antaragama merupakan suatu pelayanan bagi kemanusiaan yang penting, demi tercipta perdamaian dan kemajuan semua pihak. Dialog merupakan jalan menuju perdamaian.
Tahun 2007, Sam Harris meluncurkan buku The End of Faith. Dalam buku itu, Sam Harris memaki semua penganut agama yang katanya lebih mendatangkan malapetaka dengan sikap fanatik daripada membangun dunia. Dengan sikap fanatik yang berujung pembunuhan atas nama Tuhan dan agama sepanjang sejarah oleh agama mana pun, bukankah itu tanda bahwa agama sebenarnya palsu dan tidak pantas dianut.
Para tokoh agama boleh marah atau menolak pendapat Sam Harris. Namun, satu hal tinggal di kritiknya: apakah agama itu demi manusia atau manusia itu boleh dikorbankan hidupnya demi agama dan keyakinan fanatik buta? Dalam seminar di Kairo itu kian diyakini, dialog merupakan jalan menuju perdamaian sejati (jika bukan satu-satunya jalan).
Bukankah semua agama meminta umatnya mencintai Tuhan di atas segala-galanya? Dan bukankah cinta kepada Allah tidak bisa tanpa mencintai sesama?
Jika hal ini benar, sebenarnya semua agama, meski masing- masing berbeda ajaran, mempunyai tujuan yang sama: mengajarkan umatnya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai sesama manusia sebagaimana Allah mencintai umat-Nya? Ini merupakan pesan kuat untuk menolak segala kekerasan di dalam agama mana pun dan terbuka kerja sama semua pemeluk agama (mulai pimpinan umat agama) demi kemajuan manusia dan isu-isu bersama manusia.
Pada akhirnya, kami semua, yang hadir di pertemuan Kairo, meyakini dialog merupakan jalan ke perdamaian. Dan bekerja untuk dialog demi perdamaian sejati memang tidak gampang karena buahnya tidak bisa langsung dilihat. Namun, kehadiran Uskup Agung Michael Fitzgerald yang merupakan Duta Besar Vatikan untuk Mesir mengingatkan peserta, selain usaha manusia, dialog adalah karya Tuhan. Biarlah Tuhan memberi buah pada waktunya.
Pertemuan tokoh-tokoh agama di Napoli, Italia (21-24 Oktober 2007), sebenarnya bisa dijadikan langkah penting dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, bahkan kedamaian dunia. Sekitar 400 tokoh lintas agama dari berbagai negara bertemu dan berdialog dalam acara yang diprakarsai oleh Communita Saint d Egidio, organisasi Katholik berbasis di Roma. Di situ terlihat pemimpin gereja Ortodoks Bartholomew I (Uskup Agung Canterbury Rowan Williams), Yona Metzger (pemimpin rabi Israel), Ibrahim Ezzeddin (Imam Uni Emirat Arab) dan tokoh agama lainnya, termasuk Din Syamsuddin dari Indonesia.
Acara yang bertemakan “Untuk Dunia Tanpa Kekerasan: Agama dan Budaya dalam Dialog” mengupas banyak hal, termasuk berbagai konflik yang terjadi di banyak belahan dunia. Kesempatan itu juga digunakan untuk berdialog langsung, seperti Din Syamsuddin yang bertemu dengan Paus Benediktus XVI. Dalam pertemuan di Seminario Aveivescivile, Napoli (21/10), Din mengharapkan agar umat Kristen dan Islam saling mengembangkan harmonisasi kehidupan bersama, membangun peradaban dunia yang bermoral dengan saling menghormati dan tanpa prasangka.
Hidup Berdampingan dalam Damai
Mimpi hidup berdampingan secara damai di atas harus diawali dengan kekuatan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Kejadian yang dialami Paus Benediktus XVI sangat tepat dijadikan pelajaran. Sri Paus yang bernama asli Joseph Alois Ratzinger ini pernah melakukan kesalahan fatal ketika memberikan kuliah umum di Universitas Bavaria, Jerman (12/09/06). Dengan mengutip pernyataan Kaisar Kristen Abad ke-14, Paus ‘menikam’ umat Islam dengan beberapa tusukan mematikan. Pemimpin tertinggi Katolik Roma ini mengaitkan Islam dan umatnya dengan kekerasan, karena Nabi Muhammad sendiri menyebarkan Islam dengan pedang. Nabi Muhammad juga dikatakan sebagai biang yang membawa manusia ke alam tidak berperadaban.
Kontan saja statemen kontroversial pemimpin tertinggi di atas membuat umat Islam di seluruh dunia meradang keras. Berbagai format protes, kutukan dan tindakan tegas ditunjukkan guna mengungkapkan ketidaksetujuan kaum Muslim terhadap lontaran Paus. Bahkan seorang ulama Somalia, Sheikh Abubakar Hassan Malin, memfatwakan untuk membunuh Paus Benediktus XVI karena telah menghina Islam, sama seperti yang dilakukan oleh Salman Rushdie dengan The Satanic Verses-nya.
Sebangun dengan itu, sebagian pemimpin dan umat Islam juga telah melakukan kekeliruan yang sangat mengganjal terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama. Mereka yang keliru ini telah melakukan berbagai langkah destruktif yang radikal. Berbagai upaya perampasan terhadap hak hidup orang banyak telah dilakukan atas nama agama. Mereka menamakan perjuangan tersebut sebagai jihad, padahal semua itu tidak bisa dikatakan sebagai ajaran Nabi Muhammad. Menghalalkan darah setiap orang kafir, sekalipun mereka tidak bersikap memusuhi, merupakan kekeliruan besar.
Aksi keliru sementara umat Islam ini telah membuat umat lain bersikap defensif, bahkan agresif untuk menyerang umat Islam terlebih dahulu. Dicap dan ditempatkan sebagai teroris, manusia tidak berperadaban dan musuh utama kedamaian dunia pada setiap muslim telah menimbulkan banyak kesulitan dan derita umat Islam. Mereka yang hidup di tengah mayoritas umat lain seringkali menjadi sasaran berbagai pelampiasan.
Berbagai upaya untuk melakukan dialog dan penyatuan pandangan sangatlah patut dihargai. Seiring dengan pertemuan pemimpin agama di atas, sekitar 138 ulama Islam telah mengumumkan di Washington (25/10) surat terbuka kepada Paus Benadiktus XVI dan para pemimpin Kristen untuk meningkatkan sikap saling memahami. Dalam surat setebal 29 halaman dengan tajuk “A Common Word Between Us and You”, para ulama meyakini bahwa perdamaian dunia dapat tercipta lewat kerukunan Islam-Kristen. Mereka menunggu respon dari para pemimpin agama Kristen untuk menanggapi ajakan dialog yang ditawarkan.
Tentunya niat baik ini tidak akan terwujud tanpa adanya kesadaran bersama. Semua pihak harus menyadari bahwa agama tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk membenci dan menyerang umat lain. Nama Tuhan tidak pantas digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Setiap agama seungguhnya dapat dijadikan landasan membangun perdamaian, karena ini merupakan pesan sentral dari setiap agama. Islam dan agama langit lainnya sangat berpeluang untuk dipertautkan, karena berasal dari hulu yang sama. Sekalipun ada hal-hal yang berpotensi tidak bisa dikompromikan, paling tidak setiap agama sangat mendambakan ketenangan dan kedamaian kehidupan umatnya.
Ketulusan niat, bersikap jujur dan saling mempercayai merupakan kata kunci dari upaya saling merapat tersebut. Dialog yang diinginkan tentu bukanlah yang bersifat seremonial belaka. Dialog tersebut mestinya dapat menciptakan kondisi yang sungguh-sungguh saling memahami di antara pemimpin agama. Itulah nantinya yang akan disosialisasikan kepada umat masing-masing.
*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah matakuliah Islamologi di STF Driyarkara, 2011.