DI BAWAH POHON RINDANG
Lelaki itu berjalan di bawah sebuah pohon rindang. Meski pun ia aslinya dari sebuah kampung dengan kerindangan pohon yang masih patut dibanggakannya kepada kawan-kawannya di Jakarta yang sudah sangat bahagia bila di akhir pekan bisa menghirup udara segar di Puncak, ia tak tahu apa nama pohon itu. Ia seorang pengangguran. Namun ia suka berpakaian rapih. Sebuah model kerapihan yang menurutnya tak menunjukan bahwa ia pengangguran sekaligus menunjukan bahwa ia tak pernah merasa tunduk pada majikan mana pun. Dengan isi kepala tak jelas seperti itu, kita jadi maklum mengapa lelaki itu merasa begitu asing ketika ia hari ini bangun begitu paginya. Jarang ia bangun pagi-pagi dan beraktivitas sepagi ini. Hari ini, ia sepertinya ingin menyaksikan keriuhan kota di pagi hari.
Kancing-kancing kemeja putih lengan panjangnya dibiarkannya terbuka. Terlihatlah kaus oblong abu-abu yang kusut masai membungkus tubuhnya. Rambutnya tersisir rapih ke belakang. Ia membayangkan ada beribu burung yang hidup di pohon itu. Yah, mungkin. Tak ada yang tahu pasti. Lelaki itu berhenti sejenak di bawah pohon. Dirogohnya kantongnya lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Diambilnya sebatang dan mulai dibakarnya. Mungkin orang ini berpikir, ia harus sedikit mengurangi rokok; selain karena ia barus saja di phk dari kantornya, ia pun sering batuk-batuk tanpa sebab akhir-akhir ini.
Setitik air jatuh dari salah satu daun pohon itu. Jatuh tepat mengenai korek api yang baru saja dinyalakannya. Dengan kesal, lelaki itu membuang batangan kayu yang kini tak berfungsi apa-apa itu. Dan itu adalah batangan terakhir dari sekotak korek apinya.
Ia lalu bergegas berjalan. Mungkin ia ingin segera menemukan salah satu warung kecil tempat ia bisa membakar rokoknya atau dia berharap bisa bertemu seseorang yang punya korek api.
Padahal, ketika tiba di bawah pohon itu, ia yang berjalan tergesa-gesa itu, seketika berhenti berjalan dan terpaku memandang rindang daun di atas kepalanya. Ketika terpaku itulah, ia tiba-tiba, secara refleks, mengambil rokok di dalam kantongnya. Ia mungkin mau menikmati sebatang rokok di bawah rindangnya pohon itu. Namun, ia lalu pergi dan berlalu begitu saja.
Seseorang yang memandang ke luar jendela, ia tak melihat apa-apa. Ia memandang jauh ke sana. Di sana, genteng-genteng tanpa keserasian tinggi dan tanpa keserasian warna menghambur bagaikan tanah kering yang baru saja dicangkulcangkul tanpa keteraturan.
INTERLUDE
Tak ada hari yang lebih menyedihkan dalam hidup ini selain hari ketika engkau mengkhianati orang yang kau cintai. Namun justru seperti buah simalakama; engkau mencintainya maka engkau mengkhianatinya. Engkau mengkhianatinya oleh karena engkau mencintainya. Dan itulah aku. Mungkin engkau tak percaya pada reinkarnasi. Aku juga tidak. Tak ada soal reinkarnasi dalam agama yang kuanut. Aku seorang penganut agama yang taat asal kau tahu saja.
PUTUS KEPALA
Tak ada yang kaget sama sekali ketika Yoga masuk ke rumah dengan kepala yang tak lagi ada di atas lehernya. Sesuatu yang mengerikan, serba aneh, serba mencengangkan terjadi siang itu di rumah itu. Namun saya heran, seisi rumah menganggap hal itu biasa-biasa saja. Tak perlu lagi dipertanyakan ke mana kepala Yoga. Seisi rumah bahkan sudah sangat bersyukur bahwa Yoga kembali ke rumah walau tanpa kepala.
Yoga terbangun atau lebih tepatnya terjaga dan terselamatkan dari rasa sakit begitu rupa dini hari itu di pinggiran rel kereta api. Di bawah sinar lampu dari kejauhan yang samar-samar, desau angin menangis yang mampu membuat lelaki perkasa waras sekali pun tak mau keluar rumah atau pun paranormal sehebat apa pun memilih untuk tidur nyenyak saja di samping istri mudanya, warna langit yang sedikit kemerahan di horison, Yoga terbangun, mencoba berdiri tegap dan bayangannya mengerdil begitu rupa di bawah naungan bayang-bayang tiang telepon. Segalanya gelap, segalanya tak terasa. Hanya sedikit dirasakannya angin yang menjemukan itu dan bebatu kerikil yang menusuk-nusuk itu.
***
Beberapa hari lalu, Yoga memutuskan untuk bunuh diri. Ia lantas mengabarkan sebuah keputusan yang menurutnya sangat krusial dan bakalan memberi arti pada dirinya itu pada keluarganya, teman dekatnya, dan juga pada beberapa teman mayanya. Hanya keluarganyalah yang memaklumi semata. Yoga bosan berada di rumah. Itu saja kesimpulan mereka.
Setengah dari teman-teman dekat Yoga yang sedikit sepakat dengan keluarganya. Setengahnya lagi menghalang-halangi Yoga agar tidak melakukan hal itu. Teman-teman mayanya apalagi, sangat tidak setuju dengan apa yang akan dilakukan Yoga. Mereka berpendapat Yoga terlalu terasing dan tidak membuka diri pada keadaan di seklitarnya. Sesungguhnya, hidup ini indah dan penuh tantangan. Sayang, kalau engkau mati di umur yang masih teramat muda. Kata salah seorang teman mayanya.
SENJA ADALAH USAHA SIA-SIA MATAHARI MENAHAN KANTUK
Koridor busway Cawang-Grogol baru saja dibuka minggu ini. Maka senja di samping kampus Katolik itu bertambah sedikit keriuhannya; orang berlalu lalang di atas jembatan transit halte busway. Ah, sudah berapa tahun lewat semenjak ujung teriakan menyayat hati Maria lenyap dari kesadarannya yang terdiam di bawah popor senapan? Mungkin sudah lama sekali dan dia masih saja merasa belum cukup berhura-hura atau membanggakan diri sebagai orang kaya.
“Kemungkinan besar kamu belum pernah muda. Buktinya, di umur 16 tahun kamu belum tahu sedikit pun tentang The Beatles,” seorang temannya pernah berujar.
Ada beberapa mahasiswa, sepertinya mereka mahasiswa baru, duduk di taman pertigaan jalan yang lumayan luas itu. Saya kira tanah yang tersisa itu tak akan dibuat taman sebagus ini jika saja di belakangnya tak dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang memanjakan mata dan kaki. Seorang perempuan dengan kemeja biru tua dan tas gantung coklat terlihat jengah menunggu kendaraan.***