Salah satu ide Karl Marx yang cukup penting (dan diproblematisir) adalah pemikirannya tentang akan hancurnya sistem kapitalis ini secara otomatis. Dialektika sejarah yang digambarkan Marx akan berujung pada suatu akhir (thelos) yakni kehancuran otomatis kapitalisme yang akan merubah struktur bawah dan struktur atas dalam masyarakat yang semuanya akan menjadi komunis/sosialis. Hal ini dimulai dari sistem kapitalisme yang mengeksploitasi buruh dari nilai lebihnya yang melahirkan krisis-krisis.

Perusahaan-perusahaan besar akan menelan perusahaan-perusahaan kecil, karena di dalam kapitalis melekat ide persaingan dan akumulasi modal, sehingga semua perusahaan-perusahaan kecil itu akan menjadi proletar dan akan tinggallah segelintir kapitalis yang sangat kaya dan begitu banyak kaum proletar yang sangat miskinnya. Contoh sederhana misalnya, ketika di dekat sebuah pasar tradisional dibangun sebuah pusat perbelanjaan, yang sering kita lihat di Jakarta, maka para pedagang di pasar tradisional itu secara perlahan-lahan akan terpinggirkan dan kalah dalam perdagangan di daerah itu. Ketika semakin banyak yang menjadi kaum proletar, saat itulah kesadaran revolusioner kaum proletar akan muncul dan dengan sendirinya kapitalis yang sedikit itu dicaplok oleh ribuan massa proletar.

Dari pembacaan sekilas terhadap pemikiran Marx tentang kehancuran otomatis kapitalis di atas, kita seakan disuguhkan terhadap sebuah ramalan masa depan dari Marx, sebuah utopia, semacam menunggu Mesias atau Imam Mahdi a la Marx. Sesuatu yang bersifat ramalan dan sampai saat ini belum terjadi[1].

the guardians of dialectic by sephius fernando | sumber: https://www.deviantart.com/sephius-fernando/art/The-Guardians-of-Dialectic-120095652

Laku Kerja sebagai Dasar Perjalanan Sejarah

Untuk masuk ke dalam pemahaman gerak sejarah yang berujung pada berakhirnya kapitalisme ini, kita harus pertama-tama mengingat bahwa dialektika sejarah bagi Marx bertumpu pada kerja yang mengaktualisasikan benda-benda materi. Inilah yang membedakan materialisme Marx dan materialisme sebelum dia, termasuk Feuerbach. Jadi, perjalanan sejarah tidak dengan sendirinya terjadi, melainkan ia diakibatkan oleh kerja manusia sebagai pelaku sejarah. Maka, tanpa kerja, sejarah tidak bisa dipikirkan[2]. Maka, pembacaan atas kehancuran kapitalisme, mengandaikan adanya laku aktifitas manusia yakni kerja yang menjadikan manusia berarti bagi dirinya sendiri dan berarti bagi sesamanya yang mendasari semua pemikiran filsafat Marx. Dalam konteks ini adalah kerja dalam sistem kapitalisme.

Maka, karena ada subjek manusia dalam sejarah, gerak sejarah itu tidak bisa dilepaskan dari sang subjek itu. Jika demikian maka, sejarah tidak bisa dipandang sebagaimana sejarah dalam pemikiran Hegel bahwa ada sesuatu yang lain di luar sana yang menjalaninya, tetapi sejarah itu terjadi akibat adanya subyek yaitu manusia yang membuat sejarah dari kerjanya. Sejarah tidak bisa dilepaskan dari kerja manusia sebagai pembuat sejarah. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa adalah keliru membaca sejarah dalam pemikiran Marx sebagai suatu pemberian yang niscaya yang terejawantah dalam penantian terhadap Imam Madhi atau pada sesuatu yang lain yang dengan sendirinya akan terjadi di ujung waktu sana.

Alienasi dalam Laku Kerja

Kembali pada soal kerja, dalam kerja di ranah kapitalis itulah alienasi manusia itu terjadi, menurut Marx. Sebuah bentuk alienasi a la Feuerbach muncul juga dalam hal ini pada uang. Marx menulis dalam Manuscrip Paris 1844 bahwa uang memediasi hidup manusia dan dirinya, dan juga memediasi eksistensi orang lain bagi diri sang aku. Selanjutnya dia mengatakan bahwa uang menjadi person yang lain bagi dirinya sendiri.

Padahal, seharusnya bagi Marx kerjalah yang menjadi mediasi diriku dengan diriku dan diriku dengan orang lain. Namun dalam ranah kapitalis, kerja ini menjadi bentuk keharusan manusia agar manusia bisa tetap hidup. Dengan kerja, manusia mencari upah yakni uang. Uang lantas menjadi perantara manusia dengan hidupnya; manusia dengan orang lain. Maka, kerja yang demi upah yakni uang sudah mendasari alienasi manusia itu.

Patut diingat juga bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang, seperti semua pendasaran materialisme yakni segala hal dimulai dan diakhiri oleh benda-benda materil yang oleh Marx ditekankan segi kerja sebagai aktualisasi benda-benda materi itu, mengada karena kerja manusia. Jadi, kapitalisme adalah sistem yang tidak datang dengan sendirinya, terberi dari sana. Ia adalah sebuah kenyataan yang dihasilkan dari laku kerja manusia. Dengan demikian, ketika manusia pekerja dalam sistem kapitalisme yang merasa diri bekerja secara natural sebagai konsekuensi panggilannya sebagai manusia, sudah mengalami sebuah alienasi. Dalam sebuah sistem buatan manusia, manusia pekerja menganggap ia bekerja secara natural. Tak ada kesetaraan dalam kerja sang pekerja. Di satu sisi ia merasa ia bekerja secara natural dalam sebuah sistem yang sebenarnya tidak natural. Di sisi lain, sistem kapitalis yang bukan natural itu mempekerjakan manusia yang menganggap diri bekerja dalam sebuah sistem yang natural.

Kehancuran Kapitalisme

Buku Kapital Marx adalah sebuah kritikan atas sistem kapitalisme yang mulai berkembang saat itu dan mendapatkan pendasarannya pada karya-karya Adam Smith dan David Richardo. Seperti yang diutarakan di atas, sistem kapitalis yang saat itu mulai menjadi bagian kehidupan manusia menjadi sumber alienasi manusia menurut Marx.

Marx sendiri sudah menyadari kemampuan kapitalisme untuk menjaga tetap berjalannya sistem kapitalisme itu. Ia menulis dalam Poverty of Philosophy bahwa demi menjaga tidak berlimpahnya cengkeh agar dapat menjaga nilai tukar, orang-orang Belanda membakar pohon-pohin cengkeh yang ada di Maluku[3]. Jadi, Marx sudah menyadari adanya kemampuan kapitalisme untuk membentengi dirinya demi terus menjaga keberlangsungan perdagangan. Jadi, kemampuan kapitalisme memperbaiki diri dari segala krisis kelemahan sistem kapitalis sudah disadari Marx sejak Poverty of Philosophy. Tentu pengejawantahan kemampuan ini berkembang terus sampai bentuk-bentuknya yang termutakhir sekarang ini seperti cuti kerja, Jamsostek, dan lain sebagainya.

Krisis-krisis masyarakat yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis sendiri, seperti contoh yang kita lihat di awal tulisan ini, sangat banyak terjadi di sekitar kita. Marx, lewat ajarannya tentang kehancuran otomatis kapitalis yang sudah kita bahas di atas, menekankan juga pada segi kesadaran kaum proletar demi memungkinkan berakhirnya sistem itu. Nah, segi kesadaran inilah yang akan muncul, menurut Marx, ketika semakin banyak jumlah kaum proletar dibandingkan dengan kaum kapitalis yang semakin sedikit itu.

Dari mana kesadaran itu muncul? Apakah sesuatu yang niscaya terjadi? Sesuatu yang tiba-tiba muncul dengan sendirinya dalam kepala manusia? Bila kita mengingat kembali hal sederhana bahwa Marx adalah seorang materialis, tentu anggapan itu akan seketika lenyap. Materialisme menekankan pada benda materil, kenyataan faktual yang memungkinkan sebuah kesadaran. Maka, kesadaran itu akan muncul ketika bisa membaca sebuah realitas masyarakat dengan baik dalam sistem kapitalis.

andromeda reimagined by john marx | sumber: https://www.dezeen.com/2019/10/06/john-marx-burning-man-pavilion/

Maka, ketika sebuah persaingan yang sudah menjadi bagian utama dalam sistem kapitalis itu berkembang sedemikian rupa, ketika itu kenyataan masyarakat yang ada akan memungkinkan sebuah proses berpikir demi mencapai kesadaran bahwa selama ini dalam sistem kapitalis manusia teralienasi. Dan laku berpikir demi mencapai kesadaran itu memang sesuatu yang sulit. Marx menulis dalam kata pengantar Buku Kapital I edisi Prancis, “di bidang ilmu tidak ada jalan raya, dan hanya mereka yang tak gentar akan pendakian jalan curam yang melelahkan itu yang mempunyai harapan untuk mencapai puncak-puncak pencerahan[4]. Mengalami suatu pencerahan sebagai akibat dari proses berpikir yang dilandasi kenyataan-kenyataan materil, bagi Marx memang sesuatu yang sulit dan tidak mudah. Dengan demikian, kesadaran akan keterasingannya dalam sistem kapitalis untuk kaum proletar juga bukanlah sesuatu yang gampang dan datang dengan sendirinya. Maka, benar mungkin apa yang dikatakan Rosa Luxemburg bahwa kaum buruh bukan hanya menunggu saja keniscayaan itu datang, tetapi harus terus berjuang dalam hidupnya demi pelajaran-pelajaran dalam pengalamannya sendiri. Kesadaran kaum buruh, masih menurut Rosa Luxemburg, akan muncul dari pengalaman-pengalamannya dan bukan dari indoktrinasi pihak lain[5]. Kesadaran atas dasar pengalaman sendiri inilah yang memungkinkan sebuah kehancuran kapitalisme.


Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka mata kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern di STF Driyarkara, semester ganjil tahun ajaran 2009/2010.

[1] Lih. Misalnya Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1999, hlm. 255.
[2] Di sini saya mengandaikan kerja sebagai term ada dalam ajaran Parmenides dan sejarah sebagai term tidak ada-nya. Sejarah tidak bisa dipikirkan tanpa adanya kerja itu.
[3] Tulis Marx demikian, “the Dutch in burning Asiatic spices, in uprooting clove trees in the Moluccas, were simply trying to reduce abundance in order to raise exchange value.” Sebagaimana dikutip oleh Anom Astika dalam Problem Filsafat Nomor. 2/November 2009.
[4] Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen (Jakarta: Hasta Mitra), 2004, hlm. xli.
[5] Ibid, Frans Magnis-Suseno hal. 233.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram