Edward Harrison dalam bukunya Mask of the Universe membedakan antara Alam Semesta (Universe) dan alam semesta-alam semesta (universes). Alam Semesta baginya adalah, “…everything. What it is, in its own right, independent of our changing opinions, we never fully know. It is all-inclusive and includes us as conscious beings”[1].
Alam Semesta adalah segalanya, termasuk juga kita yang membahasakan dan berbicara tentang Alam Semesta itu. Oleh karena kita adalah bagian dari Alam Semesta itu sendiri, pemahaman kita tentang Alam Semesta itu tidak selalu bisa mengungkapkan tentang apa itu Alam Semesta secara utuh dan penuh.
Sedangkan alam semesta-alam semesta baginya adalah model kita tentang Alam Semesta[2]. Pemahaman kita, opini kita tentang Alam Semesta selalu harus dipandang sebagai alam semesta-alam semesta yang adalah “a mask fitted on the face of the unknown Universe”[3]. Maka, segala konsep tentang Alam Semesta, hasil usaha memahami Alam Semesta, selalu tidak mengungkapkan pemahaman secara penuh tentang Alam Semesta itu.[4]
Usaha untuk memahami Alam Semesta sendiri sudah berlangsung lama, mungkin sejak manusia mulai mampu berpikir. Ketika manusia menyadari hidupnya dalam ketersaling-hubungan dengan segala realitas yang ada di sekitarnya, maka muncullah usaha untuk memahami segala realitas itu. Maka, muncullah mitos-mitos masyarakat antik soal awal mula dunia, muncullah kepercayaan-kepercayaan pada makluk mitologis. Lantas, para filsuf alam Yunani pun mulai mencari material-material khusus yang merupakan muasal dari segala hal yang ada di Alam Semesta. Bahkan, kosmologi bisa dikatakan sebagai topik utama dari pemikiran para filsuf pra sokratik ini dan juga yang merupakan suatu topic penting dalam filsafat Plato dan Aristoteles.[5]
Namun pada masa itu pula manusia sudah menyadari betapa luas dan betapa misteriusnya Alam Semesta; suatu kesadaran yang juga terus bertahan hingga sekarang seperti pada pemaparan Harrison. Tak ada cara yang mudah untuk bisa mengungkapkan segala sesuatu tentang Alam Semesta. Seneca sudah sejak berabad-abad lampau sudah menyadari itu, menyadari ketakmungkinan memahami Alam Semesta secara muda, sebuah intuisi yang terus bertahan hingga sekarang:
Saatnya akan tiba tatkala penelitian yang tekun selama waktu yang lama akan mengungkapkan hal-hal yang kini tersembunyi. Satu masa hidup, meskipun seluruhnya dibaktikan pada langit, tidak akan cukup untuk menyelidiki bidang yang begitu luas…. Alam Semesta kita bukan apa-apa, kecuali di dalamnya terdapat sesuatu bagi setiap kurun waktu untuk diselidiki…. Alam tidak mengungkapkan rahasianya sekaligus.[6]
Dalam tulisan ini, kita akan coba melihat sebuah universe, menurut bahasa Harrison, atau sebuah pemahaman akan alam semesta dalam satu masa hidup tertentu, menurut Seneca yakni kosmologi Aristoteles.
Kosmologi Aristoteles sendiri dapat dikatakan sebagai kosmologi pertama yang sistematis, melampaui kosmologi-kosmologi lain pada masanya. Sistem kosmologi Aristoteles dituangkannya dalam buku De Caelo (On Heaven). Aristoteles juga dipandang sebagai orang yang memulai titik balik dalam ilmu pengetahuan barat untuk melakukan pengamatan empiris.
Menurut Norriss S. Hetherington, untuk memahami kosmologi Aristoteles, kita harus memahami dulu perihal fisika dari Aristoteles.[7] Aristoteles memang membicarakan secara khusus fisika dalam bukunya dengan judul Fisika. Untuk itu dalam tulisan ini kita akan pertama mencoba memahami fisika menurut Aristoteles; atau kita akan memaparkan secara singkat beberapa kunci pemikiran Aristoteles yang penting. Pada bagian kedua kita akan coba memahami konsep kosmologinya yang menjadi pegangan dunia filsafat barat sampai abad pertengahan. Setelah itu, bagian ketiga kita akan membahas konsep kosmologi Aristoteles ini dipahami setelah kepergiannya, terkhusus oleh Abad Pertengahan dan oleh awal Masa Pencerahan khususnya oleh Galileo Galilei.
Beberapa Konsep Fisika Aristoteles[8]
E. J. Dijksterhuis membagi beberapa poin penting untuk memahami pemikiran Aristoteles yakni (1) doktrin tentang substansi dan aksiden, benda dan bentuk, potensialitas dan aktualitas, (2) Konsep gerak, (3) konsep tentang elemen dan teori tentang mixio,(4) gerak natural dan gerak yang dipaksa, (5) konsep tentang tempat dan ketidakmungkinan kekosongan, (6) dokrin tentang empat penyebab dan konsep tentang tujuan, (7) teori umum tentang pengetahuan. Pemaparan berikut akan coba memasuki poin-poin di atas.
(1) Substansi-aksiden, Forma-materia, Potensialitas-akutalitas
Substansi adalah hal pertama dan fundamental dari setiap benda dan kategori. Substansi merupakan kategori pertama dan fundamental yang membedakannya dengan kategori-kategori lainnya yang merupakan aksidennya saja. Misalkan kita ambil contoh sebuah meja. Meja adalah substansinya sedangkan warna hijaunya, untuk makan, dll adalah aksidentnya saja. Jadi bisa dikatakan substansi adalah apa yang membuat benda itu adalah totalitas benda itu sedangkan aksidentnya adalah apa yang membuat benda itu sebagai benda particular; meja adalah ketotalan dari meja sedangkan warna hijau, untuk makan adalah kepartikularan benda itu.
Ketotalan benda ini disebut forma sedangkan kepartikularannya ini disebut materia. Forma dan Materia ini hanya dapat dikenali melalui pikiran dan bukan merupakan hal yang terpisah pada benda sendiri. Materia sendiri masih terbagi dua yakni prima material dan materia signata. Prima material adalah material yang menjadikan benda sebagai benda particular tersebut. Sedangkan material signata adalah materia yang dapat memberi forma pada benda. Misalkan, sebuah meja dibentuk oleh kayu sebagai material signatanya. Sedangkan warna meja adalah prima materianya.
Pembedaan kedua yang penting adalah potensialitas dan aktualitas. Sebagai contoh, sebuah batu marmer bisa menjadi patung oleh karena dibentuk oleh seorang pematung. Di sini, batu adalah potensialitas yang aktualitasnya adalah patung tersebut. Atau sebuah biji jagung bisa bertumbuh dan menjadi serumpun jagung. Di sini potensialitas dibagi menjadi potensia aktifa dan potensia pasifa. Batu adalah potensia pasifa karena ia membutuhkan penyebab lain di luar dirinya sedangkan biji jagung adalah potensia aktifa karena dia mampu dengan sendirinya berubah menjadi pohon jagung.
(2) Konsep Gerak
Konsep Gerak termasuk konsep yang penting dalam pemikiran Aristoteles. Gerak ini juga menandakan perubahan dari potensial ke actual. Di sini perubahan itu tidak menjadi hal yang penting; apakah preubahan dari potensial ke actual itu adalah pertumbuhan, pembusukan, perubahan kualitas jumlah dan kualitas, atau pun berubah tempat.
Konsep Gerak dari Aristoteles ini yang mempengaruhi adagium terkenal yang muncul pada era skolastik yakni “siapa yang tak mengetahui gerak, ia tak mengetahui alam.”[9] Hal ini hendak menunjukan sebuah pemahaman bahwa setiap kejadian alamiah adalah selalu berada dalam perubahan dari potensialitas menuju aktualitas.
(3) Doktrin tentang Elemen-elemen
Selain soal gerak, hal penting lain dari Aristoteles yang menjadi pegangan dari pemikiran barat pada kurun waktu yang lama setelahnya adalah dokrin tentang empat elemen yang berasal dari system pemikiran Empedokes dan bagaimana cara menemukan keempat elemen itu dalam prinsip–prinsip yang sangat mendalam. Keempat elemen ini mempunya kualitas-kualitasnya tertentu pula yakni kualitas sentuhan, aktif, harus berpasang-pasangan dalam oposisinya. Aristoteles menunjukan delapan pasangan yang mempunya kualitas haptic yang kontras satu sama lain: panas-dingin, kerng-lembab, berat-ringan, jarang-padat, lembut-keras, kasar-halus, rapuh-tabah. Dan elemen dari material dunia ditandai oleh empat kemungkinan kombinasi dari dua haptic aktif kualitas (prima quialitates): tanah (kering dan dingin), air (dingin dan lembab), udara (lembab dan panas), api (panas dan kering). Segala material alam di dunia ini mengandung paling sedikit dua dari keempat elemen ini.
Elemen-elemen di atas bisa berubah-ubah; dari satu elemen ke elemen lainnya yang disebabkan oleh perubahan dari kualitas haptic yang dikandungnya dan merupakan elemen yang mengandung satu haptic kualitas yang sama. Misalnya tanah bisa berubah menjadi air ketika kekeringan berubah menjadi lembab. Skema dari perubahan itu demikian[10]:
Jadi perubahan itu benar-benar ada pada elemen-elemen dengan kualitas tertentu yang sama. Sehingga di diagram di atas tidak kita lihat perubahan dari api menjadi air, tanah menjadi udara.
Maka kita lihat di sini bahwa yang menjadi inti dari system Aristoteles bukan pada empat elemen itu tetapi pada kualitasnya yakni panas, dingin, dsb tersebut. Dan juga hal lainnya yang menjadi salah satu cirri khas penting pemikiran Aristoteles sendiri yakni prima material di dalam pasangan-pasangan kualitas tersebut yang membentuk elemen.
(4) Gerak Natural dan Gerak yang Dipaksa
Setiap gerakan digerakan oleh sesuatu yang lainnya. Ini merupakan aksioma yang mendasari Fisika Aristotelian. Gerak sendiri merupakan sesuatu yang sangat menjadi perhatian Aristoteles. Misalnya dalam De Anima sendiri Aristoteles sudah membicarakan soal gerak. Setiap benda yang bergerak selalu diakibatkan oleh penggerak yang lainnya yang bisa juga sedang bergerak atau juga diam.
Aristoteles dalam De Anima memberi ilustrasi seperti ketika kita berada di tepi pantai dan melihat seseorang sedang berjalan di atas kapal yang sedang berlayar. Orang itu bergerak di atas kapal dan orang itu pun sedang bergerak. Jadi gerakan bisa saja terjadi di tengah sesuatu yang sedang bergerak pula. Sedangkan dalam De Caelo, Aristoteles menyatakan gerak itu sebagai gerak lurus dan gerak melingkar atau kombinasi dari kedua gerakan itu. Sedangkan gerak benda itu sendiri sangat dipengaruhi oleh elemen yang membentuknya; benda dengan elemen tanah sangat cenderung bergerak ke bawah dan benda dengan elemen api bergerak ke atas. Sedangkan gerakan melingkar merupakan gerakan yang bersifat ilahi dan gerak substansi lain yang lebih utama dari keempat elemen.[11]
Kosmologi Aristoteles
Setelah membicarakan beberapa hal yang menjadi prinsip dalam pemikiran fisika Aristoteles, kita kini akan mencoba membahas system kosmologi Aristoteles.[12] Ia membagi kosmos menjadi dua bola langit yakni lingkaran bola langit dalam (sublunar-di bawah bulan). Di dalam lingkaran bola langit dalam ini bumi adalah pusatnya dan batas terluarnya adalah bulan dengan dikelilingi air, udara, dan api. Di luar bulan ada benda-benda langit yang bergerak melingkar. Kawasan sublunar inilah kawasan yang mengalami hukum-hukum fisika Aristoteles sedangkan kawasan di luar bulan (supralunar) tidak mengalami hal itu sehingga yang membentuknya pun adalah hal-hal yang berbeda dengan pembentuk (elemen-elemen) dari dunia sublunar. Berikut gambar system kosmologi Aristoteles itu:[13]
Alam semesta tidak tanpa batas. Batas terluarnya adalah lingkaran orbit bintang-bintang. Namun bintang-bintang ini sendiri tidak bergerak. Ia diam di situ. Aristoteles juga mengamati gerhana bulan dan matahari dan dari sana menyimpulkan bahwa bumi ini berbentuk bulat. Planet-planet berada di luar bulan dan punya orbit masing-masing juga; gerakan planet ini mengiktui gerakan langit.
Semua pergerakan langit ini haruslah disebabkan oleh sebuah Penggerak yang Tak Bergerak yang merupakan penggerak dari segala sesuatu yang bergerak.
Kelanjutan Kosmologi Aristoteles[14]
Sebagaiamana yang sudah dikatakan, kosmologi Aristoteles ini menjadi sebuah model kosmologi yang bertahan lama, selama abad pertengahan, dan baru dipatahkan ketika Masa Pencerahan datang. Konsep Sublunar dan Supralunar Aristoteles dan juga Penggerak Utama adalah topic yang cukup menjanjikan untuk sebuah konsep lain yang menjadi kepentingan abad pertengahan. Kita tahu di masa itu pemikiran barat bercampur antara filsafat dan teologi, tepatnya teologi kekristenan.
Adalah Klaudios Ptolemaios yang pertama kali berusaha membelokkan pemikiran Aristoteles tentang sublunar dan supraluunar ini menuju ke permasalahan teologi. Menurutnya pengetahuan tentang langit tidak bisa tidak harus dipahami dalam sentuhan dengan Ilahi[15]. Ia juga mengatakan atau menafsirkan pencaharian Aristoteles akan Penggerak Yang Tak Digerakan sebagai pencaharian yang tak lain dan tak bukan adalah pencaharian atas Tuhan. Ia juga menolak fisika karena menurutnya fisika merupakan sesuatu yang tak pasti. Yang masih mungkin untuk dilakukan adalah matematika.
Di sini, mengetahui perihal alam semesta direduksi dari kemampuan manusia menjadi sebuah kemungkinan pengetahuan yang hanya bisa dilalui melalui jalan teologi. Konsep Aristoteles yang dirubah oleh Klaudius Ptolemaios ini menjadi konsep kosmologi yang pada akirnya semakin memperkuat ajaran antara teologi kekristen-katolikan dengan filsafat barat. Hal ini bahkan bertahan sampai pada masa-masa awal abad pertengahan melalui karya filsafat semi puitis dari Dante, Divina Commedia, yang menggambarkan pencaharian filsafat (dimetaforakan dalam rupa cinta atas seorang perempuan) yang melanglang buana ke tiga dunia yakni bumi, neraka, dan surga[16].
Galileo Galileilah orang pertama yang mematahkan konsep kosmologi Aristoteles ini. Ia menolak cara menjelaskan sains dengan sekumpulan doktrin dan juga refleksi filsafat tanpa didasari oleh sebuah pengamatan empiris dengan metode tertentu. Gereja melihat apa yang dilakukan Galileo Galilei ini sebagai sebuah sarana kalkulasi semata dan Galileo ditentang serta dijatuhi hukuman oleh gereja saat itu.
Penutup
Bagaimana pun juga, pemikiran Aristoteles tentang kosmologi sendiri sudah tidak dipakai saat ini. Namun fenomena pemikiran Aristoteles ini menjadi penting bagaimana kita melihat setiap zaman selalu memunculkan caranya sendiri untuk memahami alam dan kosmos manusia dengan cara dan kepentingan zaman itu.
Galileo Galilei lantas muncul dan berusaha mengangkat sains dari kubangan kepentingan-kepentingan parsial zamannya. Sains baginya haruslah mencari kebenaran sebenar-benarnya tanpa harus terbebani oleh tujuan-tujuan khusus yang lantas pembenarannya hanya berdasarkan hal-hal dokrinal tanpa mengadakan pengamatan secara sistematis. Dengan melihat pemikiran Aristoteles dan perkembangan pemikirannya dalam Abad Pertengahan dan perlawanan dari Galileo Galilei sendiri kita melihat bahwa bagaimana memang benar konsep universe dari Edward Harrison atau sebuah pemahaman akan alam semesta dalam satu masa hidup tertentu, menurut Seneca, bukanlah Universe pada dirinya. Bahkan, sebuah ’dunia’ yang bertahan begitu lama dan menjadi mainset manusia bisa saja tiba-tiba berubah oleh sebuah penemuan tertentu dalam ilmu pengetahuan.
Daftar Bacaan
Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing.
Dijksterhuis, E. J. 1986. The Mecanization of the World Picture: Pythagoras to Newton, (terj. C. Dikshoorn). Priceton: Princeton University Press.
Harrison, Edward. 2003. Masks of the Universe: Changing Ideas on the Nature of the Cosmos, (second edition), Cambridge: Cambridge University Press.
Hetherington, Norriss S. 1993. Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious and Scientific Perspectives. New York dan London: Garland Publishing, Inc.
Holmes, George. 1991. Dante: Dari Inferno ke Paradiso, (terj. Y. Joko Suyono). Jakarta: PT . Pustaka Utama Grafiti.
Sagan, Carl. 1996. Kosmos, (terj. Bambang Hidayat, DJuhana Widjajakusumah, S. Maimoen). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Supelli, Karlina. Dr. 2011. Bahan Kuliah Kosmologi 24 Februari 2011 di STF Driyarkara Jakarta.
. 2011. Kosmologi Yunani Klasik. Bahan Kuliah Kosmologi di STF Driyarkara Jakarta.
Web site
http://faculty.knox.edu/fmcandre/cosmology.html.
[1] Edward Harrison, Masks of the Universe: Changing Ideas on the Nature of the Cosmos, (second edition), (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 1.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Jika bisa dikatakan, pembedaan Harrison ini mirip dengan konsep ontologi fundamental dari Martin Heidegger. Menurut Heidegger, Ada selalu tak bisa kita pahami. Ketika Ada terpahami, ketika itu juga ia menjadi adaan-adaan.
[5] Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing, 2004), 147.
[6] Sebagaimana seperti dikutip dalam Carl Sagan, Kosmos, diterjemahkan oleh Bambang Hidayat, DJuhana Widjajakusumah, S. Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), ix.
[7] Norriss S. Hetherington, Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, Religious and Scientific Perspectives, (New York dan London: Garland Publishing, Inc., 1993), 98.
[8] Bagian ini secara umum bersumber dari E. J. Dijksterhuis, The Mecanization of the World Picture: Pythagoras to Newton, diterjemahkan oleh C. Dikshoorn, (Priceton: Princeton University Press, 1986), 17-42.
[9] E. J. Dijksterhuis, The Mecanization of …., 21.
[10] E.J. Dijksterhuis, The Mecanization of …., 23.
[11] Karlina Supelli, Bahan Kuliah Kosmologi 24 Februari 2011 di STF Driyarkara Jakarta, 7-8. Perlu diingat bahwa ilahi dalam pemikiran Aristoteles dan juga para pemikir Yunani Klasik tidaklah merujuk pada sesuatu seperti Tuhan dalam pandangan monoteis. Heaven (Caelo) sendiri tidak juga diartikan sebagai surge melainkan semata-mata langit.
[12] Bagian ini akan bersumber utama pada bahan kuliah Kosmologi dari Dr. Karlina Supelli tanggal 24 Februari 2011 dan Kosmologi Yunani Klasik.
[13] Diunduh dari http://faculty.knox.edu/fmcandre/cosmology.html.
[14] Karlina Supelli, Kosmologi Yunani Klasik, bahan kuliah Kosmologi di STf Driyarkara Jakarta.
[15] Di sini kita melihat juga bagaimana Abad Pertengahan merubah konsep Ilahi dan langit dari Yunani yang sesungguhnya tidak merujuk pada Tuhan, menjadi merujuk pada Tuhan.
[16] Baca selengkapnya George Holmes, Dante: Dari Inferno ke Paradiso, diterjemahkan oleh Y. Joko Suyono, (Jakarta: PT . Pustaka Utama Grafiti, 1991).
*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah pada mata kuliah Kosmologi bersama Dr. Karlina Supeli di STF Driyarkara Jakarta, semester genap 2010-2011.