Ibnu Rusyd adalah filsuf Islam yang kedalaman pikirannya tidak disangsikan lagi. Ibn Rusyd terutama dikenal sebagai komentator Aristoteles dan karena itu ia disebut-sebut sebagai pintu gerbang pencerahan Barat. Ibn Rusyd memang bukan orang pertama yang menunjukkan jalan ke Yunani, sebelumnya sudah ada sejumlah filsuf Islam maupun Barat yang menghasilkan karya tentang pemikiran Yunani. Namun melalui tangan Ibn Rusydlah warisan agung pemikir klasik itu bisa tersusun secara sistematis, utuh, dan bisa dipertanggung jawabkan—dalam upayanya menghadirkan pemikiran Aristoteles Ibn Rusyd banyak memberi catatan para komentator sebelumnya yang banyak mencampuradukkan pemikiran Aristoteles dengan pemikiran filsuf lain atau bahkan dengan tafsir para murid-muridnya.

Tapi Ibnu Rusyd adalah pemikir ensiklopedis. Selain filsuf, ia juga ahli dalam hal fikih, juga teolog. Kepakarannya di bidang fikih dibuktikan dengan sejumlah karya penting di bidang hukum Islam ini. Demikian pula dalam hal teologi. Sejumlah kritik tajamnya terhadap pemikiran ahli kalam Asyariyyah dan Muktazilah adalah bukti bahwa ia juga menguasai bidang ini dengan sungguh-sungguh. Ia di kenal sebagai ahli agama yang rasional. Bahkan ia dianggap sebagai pengajur yang gigih akan pentingnya rasio dalam memahami segala hal, terutama soal agama, meski tentu saja rasionalitasnya tidak menghabisi ajaran agama yang prinsipil. Persisnya, ia penyelaras akal budi dan agama.

Dalam Ibnu Rusyd: Gerbang Pemikiran Islam (Zuhairi Misrawi (ed.), 2007), pemikiran Ibnu Rusyd yang menekankan aspek rasional dalam berpikir, termasuk tentang soal-soal keagamaan, sangat kuat terkesan.  Sejumlah penulis yang karangannya terhimpun dalam buku ini, mereka dalah pemikir Islam terkemuka saat ini, seperti Muhammad Arkoun, Nahr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, ‘Abid al-Jabiri, ‘Athif  ‘Iraqi, meski mengetengahkan beragam aspek pemikiran Ibnu Rusyd dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pemikiran mereka masing-masing, tidak bisa keluar dari pendapat umum: Ibnu Rusyd adalah pemikir yang sangat memegang teguh rasionya—dimensi ini dikemukakan juga oleh dua penulis asal Indonesia yang tulisannya terdapat dalam buku ini.

Satu tulisan yang agak lain dan lebih menukik dalam mendekati pemikiran Ibnu Rusyd menurut saya adalah tulisan dari Hasan Hanafi. Tulisan Hasan Hanafi tentang Ibnu Rusyd memiliki sudut pandang yang khas dan banyak memberi tahu kita tentang dimensi-dimensi lain yang selama ini tersembunyi oleh stereotip filsuf Cordoba ini. Inti pandangan Hanafi adalah bahwa Ibnu Rusyd adalah pemikir yang ambivalen, absurd dan menjadikan absurditas ini sebagai prinsip pemikirannya. Artikel ini akan mebahas ulang apa yang dikemukakan tulisan Hasan Hanafi  Ambiguitas Pemikiran Ibnu Rusyd (hal. 171-211).

Menurut Hasan Hanafi kita tidak bisa mengategorikan Ibnu Rusyd dalam satu kategori yang tegas, seperti bahwa ia seorang rasionalis atau tekstualis atau filsuf atau teolog—kecuali tentu saja jika menganggap ketak-tegasan itu sebagai kategori tersendiri. Ibnu Rusyd adalah pemikir yang tidak berdiri di atas satu prinsip dan mengabaikan prinsip lain; ia meperhatikan keduanya dan mengoperasikannya dalam sebuah pemikiran yang dialektis. Dikatakan Hanafi dalam dialektika tidak ada pertentangan hakiki, juga tidak ada pengabaian dan pemengan prinsip tertentu. Meski demikian pemikir dialektis sangat mungkin mendukung sebuah prinsip dan menganggapnya sebagai lebih memadai dari prinsip lainnya. Meski juga harus dengan catatan, sebagaimana sudah dikatakan, bahwa dukungan atas satu prinsip ini tidak menihilkan sama sekali prinsip lainnya. Hasan Hanafi mengkliam Ibnu Rusyd berada dalam posisi ini, posisi peimikiran yang menurutnya ditempati sejumlah pemikir Barat seperti Aristoteles, Hegel, Husserl, dan Bergson.

Untuk mempertegas tesis bahwa Ibnu Rusyd merupakan pemikir dialektis Hasan Hanafi menunjukan beberapa oposisi-oposisi kategori dan dari sana, melalui pembacaan yang teliti terhadap berbagai dimensi pemikiran Ibnu Rusyd, Hasan Hanafi memberikan kesimpulannya.

Hemeneutis atau Literalis?

Satu hal yang tak bisa disangkal, Ibnu Rusyd adalah pengusug terkemuka interpretasi-esoteris atau hermeneutis. Posisi demikian penting di hadapan filsuf, terutama Ibnu Sina; kaum teolog Islam, khususnya Mu’tazilah; dan kaum sufi, semisal al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi. Di bagian penutup kitab al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, Ibnu rusyd menulis tafsiran beberapa ayat al-Qur’an berdasar al-Hikmah. Ibnu Rusyd sepakat dengan penafsiran kaum filsuf atas empat ayat al-Qur’an yang di antaranya menghasilkan kesimpulan final tentang keabadian alam dan bahwa ‘arasyi berada di atas air. Air ada sebelum ‘arasyi, lalu Allah bersila di atas langit, sementara langit sendiri berupa asap. Kesimpulan lain adalah perihal nikmat dan siksa ruhawi sebagaimana diyakini para filsuf, utamanya Ibnu Sina. Kesimpulan ini dikemukakan untuk menghindari keterjebakan ke dalam antrophomorfisme-ragawi dan antrophomorfisme-inderawi. Takwil sendiri berarti mengganti makna sebenarnya sebuah kata dengan makna metaforis-alegoris tanpa mengcederai kaidah lisan Arab dalam membuat majas.

Patung Ibn Rusyd di Kordoba, Spanyol | Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Rusyd

Faktanya kaidah-kaidah dasar takwil yang digunakan Ibnu Rusyd menjadikan dirinya lebih berparadigma literalistik-tekstual ketimbang interpretatif-esoteris. Pemaknaan kalimat dalam al-Qur’an dapat dikategorikan ke dalam dua macam. Pertama, pemaknaan secara literal. Kedua, pemaknaan takwil, digunakan untuk kalimat-kalimat metaforis. Takwil atas teks bisa dilakukan dengan empat syarat:

    1. Yang diumpamakan tidak bisa diketahui kecuali dengan patokan-patokan yang sangat sulit dijangkau nalar, selain memerlukan waktu lama dan kecermatan dalam membuatnya. Hanya orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu saja yang dapat melakukan ini. Terdapat perbedaan yang jauh antara perumpamaan dan yang diumpamakan, di samping sulit dipahami akal. Aksi penakwilan atas jenis majas pertama ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki ilmu yang mumpuni.
    2. Perumpamaan dan yang diumpamakan mudah dipahami.
    3. Perumpamaan sulit dipahami sementara yang diumpamakan mudah dipahami. Jenis majas ketiga ini boleh ditakwilkan boleh tidak.
    4. Perumpamaan mudah dipahami, tapi yang diumpamakan sulit. Jenis majas terakhir ini sebaiknya tidak pelu ditakwil, sebab jika ditakwilkan dikhawatirkan timbul keyakinan-keyakinan yang ganjil yang melenceng jauh dari syariat, selian mendapat penolakan masyarakat umum.

Dari empat majas yang disebut di atas, Ibnu Rusyd hanya membolehkan satu untuk ditakwilkan sementara tiga sisanya tidak boleh. Atas dasar ini bisa dikatakan Ibnu Rusyd lebih cenderung mendukung pemaknaan literal-tekstual ketimbang pemaknaan interpretatif-esoteris.

Terlepas penolakannya terhadap kalangan literalis-tekstualis yang menurutnya sesat, pada saat yang sama Ibnu Rusyd sendiri justru mengupayakan penafsiran literal-tekstual. Ia menolak penafsiran interpretatif-esoteris kalangan teolog Islam, kaum filsuf dan sufi, karenan semuanya dianggap bertentangan dengan arti literal teks. Ia juga menolak keras penafsiran para anotator Aristoteles yang berlawanan arti literal pernyataan Aristoteles sendiri.

Ibnu Rusyd: Pemikiran Progresif

Progresif (taqaddumy) di sini jangan dipahami seperti kalangan kontemporer, yaitu lawan dari istilah revivalis atau konservatif. Progresif di sini hanya berarti bahwa sejarah terus bergerak maju, bahwa generasi belakangan lebih baik daripada generasi sebelumnya, bahwa terjadi akumulasi pengetahuan dari dulu hingga sekarang. Hal ini terjadi di tubuh filsafat Yunani semenjak Socrates dan sejumlah akademi fisika pertama kemudian mengalir ke Aristoteles hingga akademi-akademi etika yang datang kemudian. Filsafat Yunani dimulai dengan dua arus utama: 1. Arus idealisme-rasionalisme matematis yang digagas Phytagoras, kemudian diteruskan Socrates dan Plato; 2. Arus realisme-materialisme yang digagas oleh pakar fisika seperti Ellien, lalu Thales dan Demokritos, kemudian memuncak di tangan Aristoteles. Aristoteles dengan filsafat alamnya merefleksikan akhir kemajuan filsafat Yunani. Karena itu, Ibnu Rusyd menyerupai Aristoteles. Ia cermin kemajuan filsafat Islam: dari al-Kindi dan al-Razi (terlepas penyimpangan yang dilakukan Ibnu Sina dan al-Farabi) hingga berujung pada Ibnu Rusyd yang menyempurnakan filsafat rasionalisme-alam dan menjelaskan kesatuan patokan-patokan wahyu, akal, dan alam. Ibnu Rusyd adalah cermin perkembangan wahyu di tiga level: dari Yahudi, lalu Kristen, kemudian Islam. Aristoteles, Islam, dan Ibnu Rusyd adalah cermin puncak kemajuan sejarah klasik umat manusia.

Adalah sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk meminta bantuan orang-orang terdahulu. Instrumen masa lampau bisa digunakan dalam mengkaji tema modern. Menelaah kembali- buku-buku para pakar terdahulu adalah, karena maksud dan tujuan mereka adalah maksud dan tujuan syar’i. Para pakar sebelum Islam telah menelaan apa yang ditelaah Islam, dan krenanya, mengakui kebenaran mereka adalah sebuah keharusan. Demikianlah sikap yang diambil al-Kindi, memungut kebenaran dari mana pun, meski dari umat-umat yang jauh. Para pendahulu telah menelaah dan meneliti secara cermat pertimbangan-pertimbangan, dan karenanya, menelaah karya mereka mesti diprioritaskan ketimbang buku-buku pakar modern. Para pendahulu terbagi ke dalam dua kategori: 1. Ditinjau dari sisi peradaban; seperti presedensi bangsa Yunani atas bangsa muslim, presedensi bangsa generasi pendahulu atas generasi kemudian; 2. Dilihat dari sisi organ-organ yang ada dari setiap peradaban, seperti presedensi Plato atas Aristoteles, atau presedensi al-Kindi atas Ibnu Rusyd. Jalan presedensi adalah akumulasi sejarah dan penambahan orang-orang belakangan atau tradisi orang-orang sebelumnya. Presedensi adalah sunah para rasul dan jalan wahyu, seperti presedensi Kristen atas Islam. Kisah-kisah para nabi bisa dikatakan seperti kisah rakyat menurut konsep presedensi, bangun dan jatuhnya negara, hingga terjadi akumulasi sejarah yang cukup untuk membebaskan kesadaran manusia dan kesempurnaannya.

Presednensi kadang mundur ke belakang akibat kesalahan interpretasi para anotator muslim atau Yunani. Kembali ke teks awal, yaitu ke teks Aristoteles. Sejarah bergeser dari benar ke salah, dari hak ke bathil, dari valid ke tak-valid. Aristoteles benar sebelum para anotatornya, tapi kemudian kebenarannya pupus di tangan mereka; Alexander benar karena ia anotator yang paling dekat masanya dengan Aristoteles; Theophraste menyelewengkan kebenaran Aritoteles karena ia paling jauh masanya dengan Aristoteles. Setiap kali anotator berada jauh dari sumber maka akan cacat, dan semakin mendekat ke sumber akan benar. Kebenaran ada pada kuam salaf , bukan pada kaum khalaf. “Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang mengabaikan salat dan memperturutkan hawa nafsu”. “Khilafah berkurun waktu tiga puluh tahun, dan setelah itu akan berpindah tangan ke penguasa-penguasa lalim. Inilah rumusan Ash’ariyyah yang memprioritaskan “yang utama” ketimbang “yang terutama”, selain berlandaskan pada gerak-mundur sejarah: dari keunggulan maksimum ke keunggulan minimum, dan dari kesempurnaan maksimum ke kesempurnaan minimum. Jika demikian, maka kita bisa melihat Ibnu Rusyd berorientsi salafi. Artinya melihat kesempurnaan ada di masa lampau, dan bahwa kesempurnaan masa berkurang secara garadual dari batas maksimum hingga batas minimum. Jika gerakan reformasi tak tumbuh maka sudah pasti gerakan salafi akan tumbuh. Artinya kembali pada prinsip-prinsip pertama, teks pertama sebelum kesimpulan final takwil di dapat, dan kembali ke otentisitas pertama sebelum pemikiran kehilangan otentisitasnya. Al-Kindi dan al-Razi lebih baik daripada Ibnu Sina dan al-Farabi. Akal dan alam adalah permulaan jalan yang sahih, sementara iluminasi dan tasawuf adalah titik awal deviasi. Kenabian Ibrahim adalah agama orang-orang yang lurus yaitu agama alam. Agama hanif ini kemudian menyimpang akibat penafsiran kaum Yahudi yang lalu memegang formalitas syari’ah tanpa kandungannya. Agama Ibrahim mengalami deviasi serupa di tangan orang-orang Kristen yang masuk ke dalam dogma-dogma Gereja seputar karakter Al-masih. Dan Islam sendiri kembali ke agama Ibrahim. Kebenaran ada pada generasi awal. Maka, masa depan umat manusia ada di titik penghabisan alam semesta dan kembali ke Tuhan, ketika badan lenyap dan ruh kembali ke sisi Tuhan.

Madzhab di Sekitar Pemikiran Ibnu Rusyd               

Dalam displin ilmu fikh Ibnu Rusyd mengikuti madzhab Maliki seperti layaknya cucu mengikuti kakeknya, semenjak madzhab ini tersebar luas di tangan murid-murid Imam Malik di wilayah Barat-Arab hingga melintas ke Andalusia. Orang-orang yang meneliti secara lengkap kerja-kerja filsafat, kedokteran, dan fikh Ibnu Rusyd akan sulit mengenali corak Maliki di dalamnya. Karena faktanya, Ibnu Rusyd adalah pendukung pemikiran rasional dan pemikiran analogis sejak menulis Fas al-Maqal dan menegaskan kewajiban belajar filsafat menurut syar’i,  dan karenanya ia lebih dekat ke Hanafiyah daripada ke Malikiah. Ia mencocokan cabang-cabang ke sumber-sumber awal da parsialitas ke universalitas, seperti dilakukannya dalam ilmu kedokteran. Ibnu Rusyd menyeimbangkan pelbabagai argumen, dalam arti ketika yang cabang bercabang dengan tak terbatas Ibnu Rusyd memegang yang pokok. Kebenaran berada pada pokok bukan pada cabang, pada kesatuan bukan pada keragaman. Keterserakan diminimalisir dan keserasian ditambah untuk mencari sumber bersama dan bangunan yurisprudensi bagi ragam problematiknya—hal yang membuat pemikiran Ibnu Rusyd lebih dekat deengan pemikrian rasional dan filsafat.

Lukisan Ibnu Rusyd Andrea di Bonaiuto | Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Rusyd

Namun demikian, Ibnu Rusyd terkadang tampil sebagai pendukung madzhab literalis-tekstual yang tersebar luas paska Daud al-Ashfahanidan Ibnu Hazm. Tektualitas pemikrian Ibnu Rusyd terlihat dalam Bidayah al-Mujtahid. Dalam kitab ini Ibnu Rusyd menggunakan qiyas yang lebih dekat dengan model qiyas kaum literalis-tekstualis, yaknii sebagai instrumen kebahasaan retoris yang menggabungkan makna implisit dengan yang eksplisit. Makna qiyas seperti ini sangat sempit  dan lebih pantas dibuang daripada diterima, karena tidak berdasarkan pada argumen rasional dan pengalihan hukum dari pokok ke cabang sebab kesamaan faktor keduanya. Argumen rasional menjadi salah satu faktor perbedaan pandangan di kalangan madzhab fikih, selain juga membawa kita pada kesimpulan bahwa setiap mujtahid itu benar  juga pada pilihan atas masalah-masalah tertentu—hal yang ditentang Ibnu Rusyd sendiri.

Rasionalis atau literalis?

Umum diyakini, Ibnu Rusyd adalah filsuf akal. Ia memprioritaskan argumentasi akal (dalil aqly) ketimbang argumenatasi tekstual-transferensial (dalil naqly). Hikmah (filsafat) adalah pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pada apa yang ditentukan oleh esensi burhan. Ibnu Rusyd membedakan tiga pernyataan: retoris (khitaby), dialektis (jadaly), dan demonstratif-rasional (burhany). Ia hanya menggunakan burhan dan meninggalkan dua sisanya, dialektika bagi kaum teolog dan retorika bagi kaum mistis-sufi. Belajar filsafat diwajibkan syar’i, yakni menggali pengetahuan. Syar’i meniscayakan penggalian pengetahuan dari segala eksistensi melalui akal, dan nama lain dari qiyas. Mengetahui Allah ditempuh dan diraih melalui burhan. Ibnu Rusyd meyakini bahwa Allah mengetahui universalitas-universalitas dan menolak keras tuduhan al-Ghazali atas kaum filsuf yang dianggap mengingkari pengetahuan Allah atas masalah partikularitas. Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah terhadap universalitas otomatis mencakup pengetahuan Allah terhadap  partikularitas, berdasarkan kaidah istighraq dalam disiplin ilmu logika. Keyakinan bahwa Allah mengetahui partikularitas bisa diraih melalui penlaran deduktif, selain eksperimen individu melalui penalaran induktif. Ibnu Rusyd  menentang keras kalangan Hasywiyyah yang meyakini bahwa eksistensi Allah hanya bisa diketahui melalui metode sama’ (pendengaran, wahyu), bukan akal. Ia juga mengkritik Asy’ariah yang hanya mengoptimalkan akal retoris atau akal dialektis, bukan akal demonstratif. Akal yang disebut terakhir tidak independen, tapi berdiri di atas teks-teks keagamaan atau pantulan-pantulan implisit keimanan, sebagaimana seluruh argumentasi sekte Asy’ariah soal eksistensi Allah. Adapun cikal bakal atau cahaya asalnya ialah lebih dekat ke fitrah yang dikemukakan oleh dalil al-Qur’an.

Pada saat bersamaan, Ibnu Rusyd tampak literalis. Memang bisa dikatakan, anotasi ialah karya tak langsung. Tapi perlu diingat, anotasi mayor semisal Tafsir Ma Ba’da ath-Thabi’ah (interpretasi atas buku Metafisika) dimulai dengan penyebutan satu persatut eks Aristoteles dan baru kemudian anotasi-anotasinya, sebagaimana berlaku dalam tafsir al-Qur’an dan teks penafsir dipisah. Objek anotasi adalah teks independen dengan otentisitas tersendiri. Teks ini kemudian disebutkan dengan ungkapan-ungkapan lain. Perbedaan di antara para annotator Muslim atau Yunani diselesaikan dengan merujuk kembali teks asli guna mengetahui ungkapan sebenarnya sang anotator pertama. Bisa jadi para anotator menggunakan pelbagai ungkapan berbeda dan berlainan. Dan perbedaan di antara para annotator terkadang timbul akibat perbedaan di antara para penerjemah.

Argumen tekstual-referensial banyak ditemukan terutama dalam Fasl al-Maqal, satu kitab kesohor Ibnu Rusyd tentang pentingnya berfilsafat; juga dalam Manahij al-Adillah, satu kitab tentang ilmu kalam, sanggahan atas kalangan Asy’ariah. Di kitab pertama terdapat puluhan ayat dan hadis nabi, sementara di kitab kedua bahkan ratusan. Perlu dicatat, kedua kitab tersebut merupakan karya babon Ibn Rusyd. Ketika teks bertentangan dengan hasil ekperimentasi, teks mesti diutamakan dan dimenangkan. “Allah benar dan perut saudaramu bohong.” Demikianlah sabda rosul setelah seorang sahabat meminumkan madu kepada temannya yang sakit perut supaya sembuh, tapi penyakitnya malah bertambah parah. Dan akhirnya, Ibn Rusyd menolak penetapan kenabian dengan mukjizat, karena menurutnya metode ini hanya layak bagi kalangan awam. Ia pun menolak penetapan kenabian dengan nalar, karena menurutnya tindakan demikian adalah kebodohan.

Titik permulaan atau titik penghabisan?

Para orator dan penyeru pencerahan seringkali memaklumkan satu pemikiran bahwa Ibn Rusyd adalah filsuf terakhir, tak ada satu filsuf pun setelahnya hingga detik ini. Sejarah memiliki titik penghabisan, yaitu abad 6 H; pembaruan memiliki atap, yaitu rasionalitas Ibn Rusyd; peradaban Islam kosong, dan mereka (para penyeru pencerahan) bagian dari masyarakat Islam belahan Barat di mana masyarakat Islam belahan Timur berjalan di belakang mereka. Dua abad pasca-Ibn Rusyd, Ibn Khaldun tampil merefleksikan semangat “Rusydian”.  Dan Ibn Khaldun ialah orang Islam belahan Barat yang tidak pula membuat orang Timur dan orang-orang Islam bagian Timur kagum. Ia justru dibenci al-Azhar dan para ulama di sana, meski mengatakan bahwa mesir adalah “Ibu Dunia”.

Ketika tenggelam di dunia Islam, Ibn Rusyd hadir di Barat-latin Abad Pertengahan dan modern. Ia membangkitkan gerakan cerdik-cendekia, kalangan rasional-sekular, para pembela akal dan alam, di bawah komando Siger de Brabant. Avorisme Latin kemudian menjadi permata Abad Pertengahan dan salah satu obor kebangkitan Eropa modern. Jadi, Ibn Rusyd adalah titik penghabisan peradaban Islam dan titik permulaan peradaban Barat.

Dan sekarang telah lebih dari delapan abad sejak kematian Ibn Rusyd dan enam abad sudah peradaban Barat modern berjalan. Pertanyaanya kemudian, apakah titik penghabisan tetap titk penghabisan dan titik permulan tetap titik permulaan? Ataukah di sana ada titik penghabisan dan titik permulaan?

Masjid Agung Kairouan, Dikenal Sejak Abad Ke-9 Sebagai Salah Satu Pusat Maliki yang Paling Penting | Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Maliki_school#/media/File:Mosque_of_Oqba_Courtyard,_Kairouan.jpg

Saat ini dunia tengah berada di persimpangan jalan. Dan sejarah memulai peradaban baru dengan kebangkitan Barat dan kebermulaan Timur. Sebagaimana semangat sejarah telah berhembus dari Timur ke Barat melewati bangsa Yunani dan orang Islam, semangat sejarah juga akan kembali melewati Timur. Tidak ada titik penghabisan selamanya bagi Ibn Rusyd, dan tidak ada titik permulaan selamanya bagi Barat modern. Tetapi, masa terus sinambung dan bergantian, cepat ataupun lambat. “Masa kejayaan dan kehancuran telah kami gilir di antara manusia.”***


*Catatan: Tulisan ini berasal dari mata kuliah Islamologi di Program Strata 1 STF Driyarkara, 7 Juni 2011.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram