Bangsa Yahudi barangkali sebuah bangsa yang sangat menarik hingga kini untuk diamati dan dibahas. Betapa tidak. Yahudi punya sebuah sejarah yang barangkali sangat sulit dicari tandingannya di kalangan peradaban lainnya. Mungkin hanya peradaban Tionghoa-lah yang sedikit banyak kisah sejarahnya bisa menyaingi sejarah dari Yahudi. Permasalahan dan merebaknya keberadaan bangsa Yahudi bisa dikatakan setelah Perang Dunia II di mana pada periode perang tersebut NAZI Jerman melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan berat terhadap Yahudi Jerman ini. Bisa dikatakan setelah Perang Dunia II, diskusi dan perbincangan perihal Bangsa dan Kebudayaan Yahudi banyak dilakukan. Bukan berarti sebelumnya tidak ada sama sekali.
Beberapa hal yang menarik dari kebudayaan dan Bangsa Yahudi menurut saya tentu saja adalah pertama sejarah perjalanan bangsa ini sendiri yang sejak zaman dahulu kala mengusung kepercayaan monotheisme—hal ini menjadi menarik karena Bangsa Yahudi mengajukan monoteisme di tengah bangsa-bangsa yang masih memegang politeisme—dan belakanganan menurun pada dua agama besar monoteisme hingga kini; kekristenan dan dunia islam. Kedua, bangsa Yahudi sudah lama merasakan kesengsaraan dan dibuang serta berdiaspora. Barangkali merekalah bangsa yang paling sering berdiaspora dan paling lama hidup sebagai bangsa diaspora. Sejak sebelum masehi hingga kini. Dan ketiga mereka ketika hidup di wilayah atau daerah diaspora pun kerapnya mendapatkan diskriminasi. Yang paling kentara adalah diskriminasi atas kaum Yahudi Eropa oleh masyarakat Eropa sejak abad pertengahan hingga Perang Dunia II.
Pertanyaan yang menyeruak kemudian adalah bagaimana cara bertahan dari komunitas yahudi ini, terkhusus ketika menghadapi perkembangan zaman? Pertanyaan ini sebenarnya juga menjadi hal yang merisaukan para pemikir Yahudi kontemporer. Salah satunya adalah Mordecai M. Kaplan. Kaplan adalah seorang pemikir Yahudi Amerika. Pemikirannya adalah juga sebuah usaha untuk menjawabi pertanyaan tersebut di atas. Tulisan ini akan mencoba mendedah pemikiran Kaplan dalam hubungan dengan pertanyaan tersebut di atas. Oleh karena itu, tulisan ini akan pertama berusaha memaparkan latar belakang Kaplan sebagai seorang Yahudi dan seorang intelektual Yahudi. Selanjutnya, kedua, tulisan ini akan mencoba mendedah pemikiran Kaplan berhubungan dengan kehidupan orang Yahudi di tengah masyarakat modern. Dalam hal ini, Kaplan lebih khusus berbicara tentang komunitas Yahudi Amerika. Dan yang ketiga, berhadapan dengan dunia pemikiran serta ilmu pengetahuan yang terus berubah, bagaimana teologi dan filsafat Yahudi dipandang. Pada titik ini, pemikiran Kaplan bisa dikatakan memberikan sebuah arah baru yang menarik. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan dan sedikit catatan kritis atas pemikiran Kaplan. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diperhatikan bahwa tulisan ini bukan merupakan hasil pembacaan langsung atas karya-karya Mordecai M. Kaplan, melainkan hasil pembacaan atas pembacaan dari William E. Kaufman.[1]
Mordecai M. Kaplan Sebagai Yahudi Diaspora
Mordecai M. Kaplan sendiri adalah sosok seorang Yahudi yang berdiaspora. Lahir di Lithuania pada 1881 dan pada 1889 ia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat, ketika Kaplan berumur 19 tahun.[2] Di dalam tulisannya tentang Kaplan, Kaufman membukanya dengan menyatakan bahwa masyarakat Yahudi adalah masyarakat yang secara kreatif mampu merekonstruksi kehidupan dalam mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan. Kaplan, lanjut Kaufman, adalah seorang pemikir Yahudi yang paling dahsyat dan pemikirannya adalah yang paling kreatif dalam menghadapi tantangan kehidupan modern terhadap masyarakat Yahudi. Pemicu keberadaannya sebagai intelektual Yahudi yang demikian adalah pengalaman pribadi Kaplan ketika berdiaspora ke Amerika Serikat. Lithuania sendiri adalah sebuah negara di Eropa Timur. Kita tahu, di negara itu Komunitas Yahudi cukup besar. Salah satu pemikir besar Yahudi lain yang berasal dari negara itu adalah Emmanuel Levinas.
Kita tahu, di Eropa, diskriminasi atas Bangsa Yahudi cukup besar dan bertahan bertahun-tahun (jika tidak berabad-abad) dengan puncak terekstrimnya terjadi ketika NAZI Jerman melakukan genosida atas kaum tersebut. Di tahun-tahun sekitar 1889, tentu permasalahan itu masihlah sangat kentara. Barangkali memang bukan masalah ini yang menjadi pemicu utama perpindahan keluarga Kaplan dari Lithuania ke Amerika Serikat. Namun setidaknya permasalahan ini merasuk juga di dalam pikiran dan hati Kaplan yang beranjak remaja. Ketika hidup di Amerika Serikat, ia berhadapan dengan suasana demokrasi yang sangat berbeda dengan apa yang dirasakannya ketika di Eropa. Bisa dikatakan, Kaplan sedikit merasakan ‘guncangan budaya’ ketika itu.
Ketika berada di Eropa dengan keadaan seperti yang sudah digambarkan di atas, menurut Kaufman, ada ‘hal-hal positif’ yang didapatkan Komunitas Yahudi. Dengan keadaan yang demikian, mereka jadi lebih dapat dikenal dan mereka menjadi kumpulan yang berdiri sendiri. Di dalam komunitas yang demikian orang Yahudi ‘dibentuk’ sebagai seorang Yahudi. Hak-haknya adalah hak sebagai orang Yahudi, yang lebih banyak dibentuk dari kebudayaan dan interaksi mereka sebagai sesama Yahudi. Di Eropa, kebanyakan komunitas Yahudi hidup di dalam getho-getho yang semuanya berisi orang Yahudi semata. Perbedaan muncul ketika berada di Amerika hak-hak mereka ditentukan bukan karena keyahudian mereka tetapi karena kemanusiaan. Ketegantungan pada komunitas pun melemah dan asimilasi adalah masalah utama yang dihadapi mereka.
Di era-era itu pun, di dunia ilmu pengetahuan sedang berkembang tradisi naturalisme yakni klaim bahwa segala sesuatu adalah bagian dari alam dan dapat dijelaskan menggunakan metodologi ilmu pengetahuan alam.[3] Pemikiran naturalisme ini tentu saja adalah sebuah tantangan bagi kebudayaan Yahudi yang sangat kuat bergantung pada teologinya. Teologi Yahudi tentnu saja berpegang pada pandangan super-naturalisme bahwa segala yang ada dikontrol oleh kehendak sadar dari Ketuhanan yang mengontrol keseluruhan alam dan manusia. Menghadapi tantangan baru dunia ilmu pengetahuan dalam wujud naturalisme, menurut Kaufman, pemikir Yahudi terbagi menjadi dua yakni mereka yang membuang sama sekalu Yudaisme mereka dan mereka yang membuang sama sekali naturalisme mereka.
Dua hal ini rupa-rupanya menganggu Kaplan sebagai seorang Yahudi diaspora. Kediasporaan Yahudinya bukan saja bermasalah ketika berada di Eropa, tetapi lebih dari pada itu, mendapat tantangan juga ketika ia berpindah ke Amerika. Menghadapi kombinasi naturalisme dan demokrasi, Kaplan melihatnya sebagai penghilangan identitas Yahudi sebagai entitas yang mengekalkan diri. Ironisnya, justru anti-semitisme menyadarkan orang Yahudi akan eksistensinya sebagai orang yang nyata. Jadi di sini bukan lagi dalam bayang pilihan Tuhan. Hal ini mengakibatkan orang Yahudi kagok menikmati demokrasi. Namun Kaplan juga melihat ‘bahaya’ dari asimilasi alamiah yang akan ‘menghilangkan’ identitas Yahudi. Menghadapi itu Kaplan merasa perlu untuk menginterpretasi ulang Yudaisme dan menemukan rasionalisasi baru untuk keberadaan Keyahudian. Terobosan baru dari Kaplan adalah tesisnya bahwa Yudaisme ada untuk prang Yahudi. Lebih lanjut, Yudaisme lebih dari religi; termasuk juga di dalamnya seluruh peradaban atau kebudayaan orang Yahudi. Dengan demikian Yudaisme adalah sebuah proses yang berkemang dan selalu dalam proses. Dengan demikian dapat diperbaharui dan direkonstruksi.
Pikiran seperti di atas dituangkan Kaplan dalam karyanya Yudaisme sebagai Peradaban. Karya ini lebih jauh mendorong munculnya gerakan rekonstruksionisme yakni, menurut pemahaman Kaufman, mengandung ideologi dan teologi yang dapat membawa makna dan relevansinya untuk intelektual modern.
Secara akademis, Kaplan sendiri sejak kecil hidup dalam suasana intelektual dan ketaatan tradisi Yahudi yang kuat. Ayahnya, Rabbi Israel Kaplan, termasuk yang mendorong hal itu. Di masa kecil itu juga, rumahnya sering dikunjungi Arnold Ehrlich, seorang kritikus kitab suci. Ehrlich dikenal sebagai kritikus yang menggunakan metode interpretasi naturalistik yang dikombinasikan dengan kekaguman pada karakter sastrawi sebagai ekspresi spiritual dari Israel. Hal ini belakangan Kaplan temukan dalam teori Kitab Suci sebagai sastra dari Matthew Arnold. Kaplan juga belajar antropologi dan sosiologi di Universitas Columbia. Pada dua ilmu ini religiusitas tidak dilihat sebagai intervensi supernatural tetapi sebagai ekspresi yang sangat diperlukan dan normal dari manusia. Durkheim misalnya menunjukkan fungsi sosial dari agama; agama sebagai kohesi sosial dan penyatuan kesadaran sosial. Dari studi sosiologi ini Kaplan menyadari bahwa kondisi sosiologis harus dibagikan oleh semua yang mengharapkan untuk membagikan pengalaman religiusya. Pada saat bersamaan dengan belajar sosiologi dan antropologi, Kaplan juga belajar tafsir Talmud dan sejarah Yahudi.
Setelah menyelesaikan studinya tersebut. Kaplan mengajar di Seminai Teologi Yahudi. Di sini Kaplan, dalam pengajarannya, mengembangkan konsep pragmatisme dalam menghadapi problem keberlangsungan hidup Yahudi. Pragmatisme ini diambilnya dari Charles Sanders Peirce. Esensi dari metode pragmatis adalah makna sebuah konsep dapat dengan baik dipahami dengan melihat efek-efeknya dalam kehidupan. Lebih lanjut William James memberi penjelasan bahwa kebenaran dari ide bukanlah properti stagnan di dalam ide itu. Kebenaran terjadi pada idea. Ide menjadi benar, ide dibuat benar oleh peristiwa-peristiwa. Proses verifikasi kebenaran terjadi di dalam fakta sebuah peristiwa.
Bagi Kaplan, pemikiran James ini masih kurang lantaran tidak memasukan karakter sosial kebenaran dan peran kondisi sosial dalam pengalaman religius. Dari pemikiran John Dewey, Kaplan mendapatkan pemahaman bahwa segala pengalaman manusia harus dipahami dalam kerangka konteksnya. Kaplan juga menemukan hal penting lain dalam pemikiran Dewey yakni metode fungsionalisme yang menyatakan bahwa untuk memahami sesuatu dibutuhkan pemahaman akan sesuatu itu dan bagaimana fungsinya. Konsepsi Dewey tentang agama menjadi hal penting dalam pemikiran Kaplan yakni identifikasi dari Ketuhanan yang dengannya kekuatan-kekuatan ideal di alam dan masyarakat diturunkan dan didukung. Selain itu, dari Dewey, Kaplan mendapat inspirasi pada konsepnya tentang pikiran sebagai rekonstruksi realitas. Idea menjadi instrumen untuk mengubah realitas.
Selain para filsuf pragmatisme di atas, Kaplan pun terpengaruh pada pemikiran dari para teolog. Dari Matthew Arnold milsanya Kaplan diteguhkan dalam hal penggunaan metode pragmatismenya dalam teologi. Arnold, seorang pakar Kitab Suci, melihat Kitab Suci harus dibaca sebagai rekaman perjuangan manusia untuk mencapai keselamatannya dan pemenuhan diri melalui kebajikan. Konsep Tuhan dari Arnold, Kekuatan menuju kebajikan bukan diri kita, juga menarik bagi Kaplan. Pengaruh utama dari Yudaisme pada Kaplan adalah pemikiran Ahad Ha-am. Dari Ahad Ha-am, Kaplan menemukan bahwa orang Israel adalah pusat realitas dan makna Torah dan Tuhan dapat dipahami dengan baik dalam hububungannya dengan pusat realitas itu. Perhatian utama Yudaisme adalah orang Yahudi, asal usulnya, perubahannya, dosa-dosa dan pertobatannya, dan hukum-hukum. Kaplan sendiri tidak lepas dari kontroversi perihal pemikirannya. Pada 1945, ia diekskomunikasikan oleh sekelompok rabbai di New York.[4]
Setelah melihat sedikit tentang biografi Kaplan sebagai orang Yahudi dan juga sebagai intelektual Yahudi, berikut kita akan masuk pada perihal pandangan Kaplan tentang kehidupan masyarakat Yahudi di tengah masyarakat baru, masyarakat modern yang percaya pada ilmu pengetahuan saintifik serta demokratis. Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bahwa Kaplan berbicara dalam konteks Yahudi Amerika, maka dalam perihal ini pun lebih banyak ia berbicara dalam konteks tersebut.
Masyarakat Yahudi di Tengah Masyarakat Baru
Pada paparan Kaufman tentang pemikiran Kaplan ini, kita menemukan bahwa baginya posisi Kapplan cukup penting untuk gerakan rekonstruksionisme. Ia menggambarkan bagaimana kedatangan Kapplan ke Sinagoga mereka, ternyata Kaufman juga seorang Yahudi, yang meluruskan pemahamannya yang salah atas rekonstruksionisme. Misiterpretasi itu adalah pertama rekonstruksionisme adalah murni sebuah ideologi dengan sedikit kecenderungan teologi; kedua teologi yang sedikit itu pun tidak mencukupi; dan ketiga rekonstruksionisme itu sudah kuno dan hanya relevan di era 1930-an ketika filsafat Dewey sedang populer. Ketika berbicara dengan Kapplan, Kaufman menemukan bahwa ternyata rekonstruksionisme meliputi juga teologi di samping ideologi.
Pemikiran penting Kaplan salah satunya adalah Yudaisme sebagai sebuah peradaban. Dalam pemikiran ini sebenarnya Kaplan berhadapan dengan Reformasi (barangkali salah satu gerakan dari Yahudi) dan juga Neo-Ortodoks. Neo Ortodoks melihat Yudaisme sebagai fenomena statis sedangkan Reformasi memisahkan religi dari orang budaya Yahudi yang menghidupinya. Yang dimaksudkan Kaplan dengan peradaban adalah cara hidup dari sebuah masyarakat organik seperti bangsa atau masyarakat berkesadaran yang mengabdikan diri dan memerintah diri sendiri dalam kerangka warisan religi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Komunitas ini pun juga merespon perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya dan tuntutan baru dari kebutuhan manusia. Ada tiga hal penting yang mengkonstitusi peradaban ini yakni pertama ia bersifat organik, kedua peradaban adalah pengabdian diri dengan cara transmisi warisan sosial, dan ketiga peradaban bersifat responsif terhadap perubahan kondisi dan kebutuhan manusia. Dalam pemahamannya yang demikian tentang Yahudi sebagai Peradaban, bagaimana religius ditempatkan?
Religi tidak bisa dilihat di luar kultur yang menghidupinya, menurut Kaplan. Ia termasuk elemen organik dari peradaban. Ia merupakan fenomena sentral, kekuatan pengontrol, pengorganisasian kekuatan, ia adalah puncak dari segala elemen peradaban. Dengan demikian religi bisa dikatakan sebagai cara peradaban mencoba menggapai keselamatan dan pemenuhan diri. Kaplan memandang religi sebagai pembangun kesadaran kolektif masyarakat atau representasi kolektif. Representasi kolektif ini tampak pada sancta yakni manusia, tempat, peristiwa dan tulisan-tulisan yang muncul dari setiap kebudayaan sebagai pengalamannya dan di sana juga tampak nilai-nilai dari puncak dari konsep keselamatannya. Sancta ini bukan hanya menambah spirit grup organik ini tetapi juga membentuk elemen identitas atau kontinuitas dalam perubahan peradabannya. Religiusitas memungkinkan individu untuk mencapai pemenuhan dirinya dengan melihat dirinya sebagai bagian dari grup organik ini. Namun juga religius membentuk moral individu. Religius juga adalah bagian dari kebutuhan manusia, sebagai salah satu ciri khas dari sifat alamiah manusia.
Hal yang paling kontroversial dari pemikiran religius Kaplan adalah konsep percaya pada Tuhan. Kaplan melihat bahwa kehendak untuk hidup dan percaya pada Tuhan merupakan fase-fase dalam sebuah proses yang vital. Kepercayaan pada Tuhan tidak bisa dipisahkan dari kehendak untuk hidup manusia. Kepercayaan itu muncul dari usaha aktual manusia untuk hidup yang maksimal atau keselamatan. Jadi Kaplan hendak melihat bahwa kehendak hidup secara biologis manusia itu membawanya pada takdir manusia yaitu keselamatan. Jadi tidak bisa dipisahkan antara percaya pada Tuhan dengan kehendak untuk hidup manusia itu. Pemikiran Kaplan ini tentu saja membawa banyak kritik. Salah satunya adalah bagaimana Kaplan memahami kosmos. Bagi Kaplan kosmos dilihatnya sebagai sebuah totalitas organik yang terintegrasi oleh hukum kosmis dan di sana bersumber segala potensialitas nilai. Yang dimksudnya dengan nilai-nilai ini adalah segala sesuatu yang memenuhi kebutuhan manusia.
Setelah mendedah apa itu peradaban dan bagaimana posisi religiusitas di dalam sebuah peradaban—dua hal ini penting dalam kerangka masyarakat Yahudi—Kaplan pun membicarakan perihal posisi masyarakat Yahudi di tengah-tengah masyarakat demokratis di luar dirinya.
Kaplan memandang komunitas Yahudi sebagai komunitas organik. Komunitas Organik dipahami sebagai sebuah komunitas yang diadakan bersama sebagai rasa tanggung jawab bersama untuk keseluruhan yang merupakan bagian darinya. Komunitas Yahudi sebagai komunitas organik ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas dengan anggota-anggotanya bekerja untuk komunitas tersebut dalam kapasitas dan fungsinya masing-masing. Kaplan juga memberikan pandangannya perihal bagaimana hidup sebagai seorang Amerika sekaligus sebagai Yahudi. Ini barangkali salah satu hal yang juga muncul di Jerman dan juga Russia di periode Perang Dunia I dan II. Bagi Kaplan, orang Yahudi bisa menghidupi keduanya dan berbagi kebudayaan keduanya. Demokrasi dilihat positif oleh Kaplan sebagai lawan atas totalitarianisme. Bahkan Kaplan melihat demokrasi Amerika sebagai semacam religi yang mana merupakan sebuah kesucian yang diciptakan oleh Pencipta untuk kehidupan manusia.
Ia juga mengetengahkan bahwa masyarakat Yahudi perlu mengambil bagian dalam kehidupan modern. Di dalam filsafat kontemporer, menurut Kaplan, masyarakat Yahudi secara eksistensial menuju pada proses menjadi bagian dari kehidupan modern. Namun bukan berarti di dalam filsafat kontemporer tak ada tempat sama sekali untuk pemikiran tentang Tuhan. Menurutnya lagi, ide keyahudian tentang Tuhan bisa dikembangkan dengan kemajuan pemikiran manusia sebagai esensinya. Dan cara hidup Yahudi punya kemampuan untuk memberikan keunggulan untuk nilai-nilai yang essensial bagi keberadaan manusia dan kemajuannya.
Tentu saja dengan pandangan yang demikian di atas, Kaplan sudah sedikit banyak memberi jalan ke luar bagi permasalahan kehidupan masyarakat Yahudi di tengah masyarakat modern. Masyarakat Yahudi dilihatnya bisa berinteraksi dan kebudayaan Yahudi bukannya sebuah kebudayaan yang menentang hal itu. Namun demikian bagaimana dengan kepercayaan Yahudi sendiri yang sangat melihat Tuhan sebagai alasan dari segala sesuatu? Hal ini membawa benturan dengan filsafat atau ilmu pengetahuan modern yang menaruh Tuhan di bangku belakang atau sama sekali menghapus Tuhan itu.
Pemikiran Kaplan tentang Transnatural
Menjawabi pertanyaan terakhir di atas, kita perlu masuk di dalam pemikiran teologi dari Mordecay M. Kaplan. Pada pemikiran teologi Kaplan, kita akan bertemu dengan konsep trans-natural. Sebagai seorang filsuf dan teologian, Kaplan memang di dalam kariernya kerap mengetengahkan pemikirannya perihal Tuhan dalam dialog dengan pemikiran-pemikiran modern tentang alam semesta. Hal ini timbul lantaran Kaplan memang sedari awal adalah seorang pemikir yang belajar lintas disiplin ilmu. Sedari awal juga, Kaplan memang berusaha untuk melepaskan perbincangan seputar Tuhan dari sifat-sifat supranaturalnya dan juga menghindari personoifikasi atas Tuhan. Teologi Kaplan lebih jauh bukan sekadar meninggalkan pemikiran yang bersifat supranatural, lebih dari itu Kaplan hendak mengubah cara berpikit tentang Tuhan yang biasa—dalam hal ini pemikiran tentang Tuhan dari kaum Yahudi.
Apa yang membedakan Kaplan dengan para pemikir Yahudi lainnya adalah Kaplan kerap tidak berjibaku dengan klaim tentang apa itu Tuhan melainkan ia lebih memeriksa makna Tuhan dan bagaimana pemaknaan itu beroperasi pada perwacanaan manusia. Lantas, Kaplan mengajukan tiga cara untuk memahami makna Tuhan yakni sebagai kata benda fungsional, sebagai term yang bernilai, dan sebagai predikat.
Apa yang dimaksudkan Kaplan dengan Tuhan sebagai kata benda fungsional adalah bahwa maknanya selalu adalah sesuatu yang berelasi dengan hal lainnya. Maka Tuhan sebagai kata benda fungsional adalah Tuhan yang hanya bisa dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan manusia. Tuhan dalam makna yang pertama ini tak bisa dipahami jika tidak ada kaitannya dengan manusia atau kehidupan manusia itu sendiri. Untuk memahami bagaimana fungsi Tuhan di dalam hidup manusia, penting untuk melihat pemaknaan dari makna Tuhan yang kedua dari Kaplan yakni sebuah term yang bernilai. Tuhan sebagai term yang bernilai dalam hal ini dipahami sebagai “sebuah relasi dari sesuatu yang penting secara luar biasa untuk kehidupan manusia atau umat manusia”.
Di sini bisa saja kita memahami bahwa Tuhan adalah sesuatu yang benar-benar sebuah pengalaman subyektif manusia. Namun bukan itu yang dimaksudkan Kaplan. “Keilahian adalah sebuah idea, sebuah proses yang kreatif, koordinatif, dan integratif dari alam semesta, lebih jauh lagi ia membawa keselamatan pada manusia secara individu mau pun sosial”[5]. Makna Tuhan dengan demikian bukanlah sesuatu yang berasal dari nilai-nilai yang didapatkan dari manusia. Ketuhanan atau Keilahian ini sendiri merupakan proses kosmis yang saling bergantung dan bersifat kreatif yang dapat dilihat dan diidentifikasikan di dalam pengalaman-pengalaman manusia melalui nilai-nilai etis yang termanifestasi.
Pada titik ini, menurut Kaplan kita perlu memahami Tuhan sebagai predikat atau kata sifat. Dengan menempatkan Tuhan sebagai predikat atau kata sifat, manusia tidak lagi melihat Tuhan sebagai sebuah subjek melainkan Tuhan dirasakan dalam sifat-sifatnya atau apa pun yang ada di sekeliling manusia. Dengan demikian, yang menjadi penting di sini adalah Tuhan dalam hubungannya dengan kepenuhan diri manusia itu sendiri. Menurut Kaufman, di sini menyeruak ambiguitas dari pemikiran teologi Kaplan. Di satu sisi ia hendak menunjukkan Tuhan sebagai kekuatan yang membawa keselamatan namun di pihak lain ia hendak menunjukkan Tuhan sebagai kualitas atau kekuatan tertentu dari alam semesta. Dengan demikian yang menyeruak di sini sekali lagi adalah Tuhan sebagai ‘kekuatan’ ataukah sebagai ‘proses’.
Dua hal ini perlu dilihat secara bersamaan dalam pemikiran Kaplan. Di dalam proses, peran manusia sangat penting sebagai yang mentransformasikan potensi dari proses kreatif dari alam semesta ke dalam aktualitas hidup manusia. Dan Tuhan adalah kekuatan yang menjadi dasar yang tak habis-habisnya untuk menghasilkan proses tersebut. Menurut Kaufman, di sini Kaplan menggunakan konsep konsep Rabbinic yakni Tuhan dan manusia sebagai patner ke dalam pemikiran modern tentang alam semesta. Di sini sebenarnya juga menyeruak apa yang dimaksudkan Kaplan sebagai transnatural yakni, tidak seperti panteisme misalnya yang melihat alam semesta sebagai Tuhan, tetapi ia lebih dari proses kosmis, lebih dari sesuatu yang bersifat fisik, biologi, psikologi, dan juga proses sosial. Tetapi Tuhan masuk dalam semua hal itu dan Proses-Tuhan itu bersifat superfaktual dan supereksperimental; melampaui faktual dan pengalaman.
Penutup
Demikianlah kita sudah melihat bagaimana pemikiran Kaplan sebagai seorang Yahudi yang menghadapi tantangan dunia modern. Bagi saya pribadi, Kaplan sendiri sangat kreatif dalam perihal bagaimana mensinergikan kebudayaan Yahudi dan juga teologi Yahudi dengan keberadaan pemikiran modern. Kita lihat bahwa bagaimana Kaplan mempelajari tidak hanya teologi Yahudi saja melainkan ia juga mempelajari ilmu-ilmu di luar teologi itu. Dari sini ia bisa mengkreasi sesuatu yang baru untuk kebudayaan Yahudi dan juga teologi Yahudi. Lebih jauh, apa yang dikreasikannya itu bisa menjadi jawaban bagi kegamangan dari komunitas Yahudi menghadapi keadaan modern itu sendiri.
Di lain pihak, pemikiran Kaplan ini menunjukkan bahwa ia benar-benar orang Yahudi. Dalam pengertian bukan hanya perkara identitasnya saja melainkan cara berpikirnya. Tetap saja, dengan pandangan yang demikian, ia tetap menempatkan orang Yahudi sebagai sesuatu yang penting dalam peradaban dunia. Ia hanya berusaha terus menjaga ‘kemurnian Yahudi-nya’ di tengah zaman yang berubah. Pada titik ini kita masih perlu bertanya kepadanya apakah memang keyahudian itu tetap perlu dijaga? Apakah tidak sebagainya kita membiarkan saja komunitas Yahudi berbaur dengan asimilasi dan menjadi masyarakat kosmopolitan saja; sama dengan hampir semua kebudayaan dan semua budaya serta masyarakat di dunia saat ini yang mau tak mau lama kelamaan akan berbaur dan menjadi masyarakat kosmopolitan dunia?
Sejauh apa pentingnya Keyahudian itu untuk tetap dipertahankan? Apakah ini mengakibatkan kita kembali pada sebuah perihal politik identitas ataukah perkara apa? Bagi saya sendiri, terlepas dari kepercayaan teologi Yahudi akan bangsa terpilih, tak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankan identitas seperti itu dan biarkanlah menjadi masyarakat dunia yang sama serta tanpa sekat.***
Daftar Bacaan:
Bunnin, Nicholas Bunin dan Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing), 2004.
Kaufman, William E. “Mordecai M. Kaplan: The Natural and the Transnatural”, dalam William E. Kaufman, Contemporary Jewish Philosophies, (New York: Wayne State University Press), 1992.
Silver, Zachary. “The Excommunication of Mordecai Kaplan,” http://americanjewisharchives.org/publications/journal/PDF/2010_62_01_00_silver.pdf. Diakses pada 20 Juni 2015.
Tanpa Nama. “Rabbai Mordecai. M. Kaplan”, http://www.rrc.edu/resources/mordecai-m-kaplan. Diakses pada 24 Juni 2015.
Catatan Akhir:
[1] Lih. William E. Kaufman, “Mordecai M. Kaplan: The Natural and the Transnatural”, dalam William E. Kaufman, Contemporary Jewish Philosophies, (New York: Wayne State University Press), 1992, hlm. 175-216. Selanjutnya, sebagian besar paparan di dalam tulisan ini merujuk pada karya Kaufman tersebut. Jika ada sumber pustaka lainnya, akan diinformasikan pada catatan kaki.
[2] Informasi ini saya peroleh dari “Rabbai Mordecai. M. Kaplan”, http://www.rrc.edu/resources/mordecai-m-kaplan diakses pada 24 Juni 2015.
[3] Lengkapnya demikian, “The claim that everything is a part of the world of nature and can be explained using the methodology of the natural sciences. Naturalism accepts explanatory monism rather than dualism or pluralism, is committed to science, and is opposed to mysticism. In different areas, naturalism has different forms. In metaphysics, it rejects the postulation of any unnatural theoretical entities, faculties, or causes, and it rejects supernatural beings and processes that are inaccessible to scientific inquiry. It also contests the claim that first philosophy is prior to natural science.” Lih. Nicholas Bunin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing), 2004, hlm. 458.
[4] Lebih lanjut silahkan periksa Zachary Silver, “The Excommunication of Mordecai Kaplan,” http://americanjewisharchives.org/publications/journal/PDF/2010_62_01_00_silver.pdf diakses pada 20 Juni 2015.
[5] Sebagaiamana dikutip di dalam William E. Kaufman, “Mordecai M. Kaplan: The Natural and the Transnatural”…, hlm. 204.
*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah untuk matakuliah Filsafat Yahudi di Program Magister Filsafat, STF Driyarkara pada 2015 yang silam.