Tentang Diri yang Berkesadaran Menurut G.W.F. Hegel
Manusia sebagai yang sentral dalam pemikiran filosofis muncul dengan begitu gegap gempitanya pada masa pencerahan. Otomatis, subyek manusia menjadi penting dalam panorama pemikiran ini. Bahkan dalam hal kebenaran yang menjadi penting adalah kesadaran manusia. Metode sejak Rene Descartes dipahami sebagai cara untuk mencapai atau menggapai kebenaran namun yang lebih terpenting di sini adalah kesadaran subjeknya. Kebenaran yang dimaksudkan dalam pemikiran Descartes adalah kebenaran sebagai veritas (kebenaran) dan adaequatio intellectus ad rem (korespondensi antara pikiran dan fakta).
Zeitgeist demikianlah yang melahirkan pemikir besar dari Jerman bernama G. W. F. Hegel. Ia adalah pemikir besar dalam aliran idealisme Jerman. Idealisme Jerman sendiri sebenarnya merupakan sebuah kutub kelanjutan dari pemikiran Immanuel Kant yang berambisi mendamaikan aliran rasionalisme dan empirisisme namun gagal. Alih-alih berdamai, kedua aliran tersebut, pasca Kant, muncul sedikit banyak dalam dua aliran yakni idealisme dan materialisme. Ideealisme adalah pemikiran yang menyatakan bahwa yang terpenting adalah idea. Kenyataan dimungkinkan oleh idea. Pada Hegel ia merumuskan apa yang disebut dengan Idea Absolut yang darinyalah dunia ini berasal dan padanyalah dunia ini akan kembanli.
Melihat hal yang disebutkan di atas, benarlah kiranya jika dikatakan bahwa dalam pemikiran Hegel manusia atau subjek manusia bisa penting bisa juga tidak penting. Pasalnya, dengan mengatakan bahwa semuanya berasal dari Ide Absolut dan akan kembali ke Ide Absolut jua maka manusia particular sesungguhnya tidak terlalu penting. Namun ia menjadi penting ketika diketahui bahwa Idea Absolut itu mengalienasikan dirinya untuk bisa menemukan dirinya kembali. Di sini Idea Absolut masuk dalam realitas dan di dalam realitas itu ada manusia. Selain itu, dalam hal hubungan manusia dengan kenyataan pun yang dipentingkan oleh Hegel adalah ide manusia itu sendiri. Dalam tulisannya “Self-consciousness: Lordship and Bondage” yang dikutip dari buku monumentalnya Phenomenology of Spirit[1] hal ini bisa terlihat dengan jelas.
Tulisan ini adalah sebuah hasil pembacaan atas tulisan Hegel yang disebutkan di atas. Namun demikian, kita tidak akan langsung masuk dalam tulisan Hegel yang dimaksud. Kita akan pertama-tama melihat garis besar filsafat Hegel yang paling sering dibicarakan yakni pemikirannya tentang sejarah yang di dalamnya termakhtub narasi besar perjalanan Idea Absolut dan juga dialektika. Selanjutnya, kedua, kita akan masuk lebih spesifik dalam perkara subjektivitas menurut Hegel. Kita tentu, ketiga, harus melihat dengan lebih kritis pemikiran Hegel tersebut. Pada bagian ketiga ini, secara khsusu kita menggunakan pemikiran dalam tradisi marxsisme.
Seklias Filsafat Hegel
Filsafat Sejarah Hegel termasuk sebuah pemikiran yang penting dan berpengaruh untuk pemikiran filsafat selanjutnya. Bukan hanya pada para pengikutnya, ia juga berpengaruh pada pemikiran yang sebenarnya menentangnya. Hal ini misalnya terlihat pada pemikiran Karl Marx. Marx kita tahu adalah seorang pengikut Hegel yang memberontak. Ia menggunakan beberapa pemikiran Hegel tetapi menggunakannya dalam sebuah pendasaran yang berbeda dari Hegel. Melalui perjalanan sejarah Hegel dan dialektika yang ada di dalamnya, nantinya Marx akan mengembangkan materialisme historisnya.[2]
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pemikiran atau perkembangan pemikiran Hegel. Pertama, pengaruh dari filsafat di zaman ia hidup. Pada zaman Hegel, filsafat idealis Jerman sedang dalam masa keemasan. Pemikir-pemikir brilian seperti Kant, Fichte, Schelling adalah gambaran tonggak-tonggak penting idealisme Jerman. Selain itu, Rousseau, serta sastrawan seperti Goethe dan Hölderlin pun memengaruhinya. Kedua, masa pencerahan dengan Hegel sebagai anak zamannya. Dari zaman ini, ide-ide tentang kemajuan ditemukan Hegel. Dan yang ketiga adalah Revolusi Prancis yang sangat termashyur yang terjadi di zaman itu. Dari peristiwa ini ide seperti kebebasan dan rasionalitas masuk ke dalam pemikiran Hegel.
Pemikiran Hegel umumnya berada di level abstrak atau level yang tidak empiris; sering disebut Idealisme Murni. Pemikiran Hegel termasuk dalam Idealisme Murni yang berarti segala sesuatu yang ada merupakan manifestasi dari Idea. Pemikirannya pun bersifat teleologis, yakni pemenuhan dari Idea Absolut. Jadi, segala realitas yang ada dimaknai dalam perjalanan menuju pemenuhan Idea Absolut tersebut. Pemenuhan diri Idea Absolut ini dimulai dari awal sejarah, yakni pengobjektivikasian diri sang Idea Absolut tersebut. Idea akan mengobjektivikasikan dirinya dalam objek-objek aktual. Objek-objek itu merealisasikan atau mengaktualisasikan idea-nya.
Selain itu, salah satu pokok penting pemikiran Hegel adalah ’dialektika’. Dialektika Hegel dikenal dengan tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis akan berhadapan dengan antitesis dan keduanya akan menghasilkan sintesis baru. Dalam sintesis, tesis, dan antitesis bukanlah menghilang, melainkan keduanya diangkat ke taraf yang lebih tinggi karena kebenaran dari keduanya masih dipertahankan dalam tahap sintesis. Hal ini disebut dengan “aufgehoben”.[3] Sejarah bagi Hegel berjalan dalam tiga tahap ini secara terus-menerus hingga mencapai pemenuhan kembali Idea Absolut.
Hubungan antara “idea” dan sejarah bisa dikatakan sebagai “sejarah dunia” atau “sejarah politis”. Pertama, ia disebut ‘sejarah’ karena Idea atau Idea Absolut tidak menampakkan dirinya sekali saja. Ia bermanifestasi, berproses dalam perjalanan waktu. Menyejarah dalam pemaknaan yang lebih sempit adalah sejarah yang dimaknai dalam dunia manusia, di mana ‘Idea’ termanifestasikan dalam hidup manusia. Kedua, ia disebut sejarah politis karena meskipun sejarah manusia berhubungan dengan banyak aspek kehidupan, esensi dari ‘Idea’ adalah kebebasan. Dalam karyanya Filsafat Hukum, Hegel sudah menekankan bahwa Idea termanifestasikan dalam struktur politik; dengan kata lain negara.
Idea objektif mendapatkan ungkapan paling kuatnya dalam negara karena negara berkehendak dan bertindak. Negara adalah ungkapan Idea Semesta. Oleh karena itu, Hegel sangat optimis dengan adanya negara modern dan negara kala itu yang menurutnya paling mendekati kebebasan terejawantah dalam negara Prusia. Pada Negara, ditemukan pengejawantahan rasionalitas dan kebebasan dalam rupa, misalnya, pengakuan hak asasi manusia.[4] Namun, pada akhir dari sejarah, Hegel melihat adanya ‘takdir dari dunia Spiritual’ yang akan menjadi ‘akhir dari sejarah’. Di sini, pada akhir sejarah, ‘Idea’ akan menemukan dirinya kembali setelah ia berproses dalam sejarah dalam rangka menemukan kembali dirinya yang diasingkannya dalam ‘alam’. Inilah akhir sejarah bagi Hegel.
Diri yang Sadar Menurut Hegel[5]
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Hegel adalah pemikira aliran idealisme. Dengan demikian yang terpenting darinya adalah segala obyek dikonstitusikan oleh kesadaran.[6] Lebih jauh, Idea Absolutlah yang ‘menciptakan’ kenyataan atau realitas ini melalui pengalineasian dirinya. Dengan demikian diri-yang-sadar (self-consciosness) adalah juga manifestasi dari Idea Absolut. Bagi Hegel, kebenaran adalah persetujuan antara kesadaran dengan dirinya. Namun yang lebih penting dalam kebenaran adalah kepenuhan komprehensi antara kesadaran dengan apa yang ada di dalam objek, bukan apa yang ada pada objek pada dirinya sendiri. Dengan demikian, yang terpenting adalah subjek itu menurut Hegel. Demikian tulisnya, “in my view – a view which the developed exposition of the system itself can alone justify – everything depends on grasping and expressing the ultimate truth not as Substance but as Subject as well.”[7] Pada titik ini kita melihat kritikan Hegel atas Kant.[8]
Kesadaran yang berasal dari Idea Absolut selalu membutuhkan mediasi dari bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan subjek yang berpikir. Demikian Hegel, “the living substance, further, is that being which is truly subject, or, what is the same thing, is truly realized and actual (wirklich) solely in the process of positing itself, or in mediating with its own self its transitions from one state or position to the opposite.”[9]
Hal ini lantaran Idea Absolut selalu bersifat imanen.[10] Hal ini mengakibatkan pemikiran sejarah Hegel sesungguhnya menjadi penting untuk pemikirannya pada perihal ini. Lantaran dengan membutuhkan subjek berpikir yang hidup berarti Idea Absolut berada pada dunia dan demgan demikian di dalam waktu. Dengan kata lain, Idea Absolut membutuhkan sejarah untuk merealisasikan dirinya. Lebih jauh, Idea Absolut dengan demikian membutuhkan juga diri manusia yang berpikir untuk merealisasikan dirinya.
Bisa dikatakan bahwa Idea Absolut secara imanen membutuhkan diri manusia yang partikular dan juga membutuhkan kesosialan manusia secara keseluruhan. Lebih jauh subjektivitas dimediasi melalui relasi dengan orang lain. Karena itu, subjektivitas selalu adalah intersubjektivitas. Dengan demikian manusia selalu dalam sifat kesosialan meski pun kesosialan ini menghamba pada individualitas. Dan objek untuk kesadaran-diri ini adalah kesadaran itu sendiri.
Hubungan intersubjektivitas dari kesadaran diri ini digambarkan Hegel dengan hubungan tuan dan budak. Hal ini lantaran juga kesadaran diri membutuhkan objek di luar dirinya untuk merealisasikan dirinya. Demi merealisasikan dirinya, ia membutuhkan mediasi dari hal lain di luar dirinya. Demikian Hegel mengungkapkan hal itu:
Self-consciousness is faced by another self-consciousness; it has come out of itself. This has a twofold significance: first, it has lost itself, for it finds itself as an other being; secondly, in doing so it has superseded the other, for it does not see the other as an essential being, but in the other sees its own self.[11]
Namun demikian subjek kesadaran ini paham bahwa orang lain yang mana melaluinya sang subjek merealisasikan diri adalah ‘subjek’ yang lain juga. Dalam hubungan tuan-budak ini, menurut Atkins, tuan membiarkan budak hidup dalam pelayanan atasnya dan budak ini menerima pelayanan itu dari pada kematian. Namun demikian, Hegel sendiri mengatakan bahwa budaklah, bukannya tuan, yang akan merealisasikan kesadaran-dirinya lebih tinggi.[12]
Maka kita menemukan di sini bahwa kedirian manusia, subjektivitas manusia, menjadi hal yang cukup penting dalam pemikiran Hegel. Meski pun pemikiran Hegel pada akhirnya akan berujung pada manifestasi terakhir Idea Absolut, namun dalam sejarah dunia, Idea Absolut membutuhkan person yang hidup untuk membantu perealisasian diri itu. Di dalam sejarah dunia ini pun dialektika Hegel tetap berjalan. Dengan demikian diri manusia tadi di mana padanya Idea Absolut memanifestasikan dirinya membutuhkan dialektika dengan diri manusia yang lainnya. Di sini muncul dikotomi yang dibuat Hegel antara tuan dan budak tersebut. Perlu dicatat pula lantaran di dalam diri manusia itu kesadarannya adalah bentuk dari manifestasi Idea Absolut maka kenyataan yang ada di luar dirinya mendapat tempat nomor dua. Yang terpenting di sini adalah kesadaran sang subjek itu sendiri. Bukan pula yang terpenting adalah subjek manusia secara badaniah, tetapi kesadarannya. Demikianlah, di dalam pemikirannya tentang subjek manusia ini pun kita menemukan dengan sungguh-sungguh tipikal Hegel sebagai pemikir besar aliran idealisme Jerman.
Kritik Marxsis atas Hegel/Hegelian
Pada bagian ini kita akan coba melancarkan kritikan atas pemikiran Hegel yang sudah kita utarakan dalam dua pembicaraan sebelumnya. Kita akan menggunakan perspektif marxsis untuk mengkritiknya. Untuk itu kritik pada bagian ini akan dibagi dua yakni kritik atas filsafat sejarah Hegel dan kritik atas subjektivitas Hegel. Untuk kritik atas filsafat sejarah Hegel kita akan menggunakan kritikan dari Walter Benjamin dan untuk kritik atas subjektivitas Hegel kita akan menggunakan kritikan Marx dan Engels. Perlu dicatat bahwa kritikan yang kedua ini utamanya oleh Marx dan Engels disasar pada para pemikir Hegelian pasca Hegel di Jerman. Tetapi bisa kita pergunakan kritikan itu lantaran sense dari Hegelian Muda dan Hegelian Tua di Jerman kala itu yang benar-benar mengikuti pemikiran Hegel.
Berpihak Pada Korban; Melawan Otomatisasi Sejarah
Kritik atas filsafat sejarah Hegel dan juga filsafat sejarah idealisme Jerman secara keseluruhan bisa dilihat pada Tesis IX dari “On The Concepts of History” karya Walter Benjamin. Benjamin dalam teks itu menggunakan analogi Malaikat Sejarah yang diinspirasi oleh lukisan karya Paul Klee berjudul Malaikat Baru (Angelus Novus) (1920).
Kira-kira demikian dikatakan Benjamin bahwa Malaikat Sejarah itu terpana melihat reruntuhan yang ada di hadapannya. Malaikat Sejarah ini tidak terbang ke arah masa depan melainkan ia menghadap ke masa lalu. Maka yang membuatnya terpana dari pengelihatannya adalah pandangan yang disajikan masa lalu padanya. Apa yang dilihat malaikat itu adalah bencana atau tumpukkan bencana yang tercipta dalam perjalanan waktu. Malaikat itu sebenarnya ingin berhenti dan membenahi reruntuhan itu tetapi ia tak mampu lantaran angin kemajuan yang begitu kencang bertiup membuatnya tak bisa mengatupkan sayapnya yang terentang. Alhasil, ia terus terhempas ke belakang, yakni masa depan. Sementara itu, tumpukan reruntuhan semakin tinggi menjulang ke langit dan badai yang menerbangkannya itu adalah kemajuan.[13]
Oleh seorang komentator Benjamin, Michael Löwy, dikatakan bahwa tesis ini merupakan sebuah kritikan Benjamin atas konsep sejarah dari idealisme Jerman. Hal ini bisa kita lihat pada Hegel yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang berjalan terus demi perealisasian dari Idea Absolut. Demi Idea Absolut, segala kehancuran dan keburukan sejarah bukanlah hal yang penting. Kehancuran dan keburukan sejarah itu dianggap sebagai sesuatu yang patut dilalui, katakanlah, anti-tesis dalam skema dialektiga Hegel, demi realisasi diri dari Idea Absolut tersebut. Hegel mengaktakan bahwa “world history [is] the world’s court of judgement).[14] Bagi Hegel, segala yang buruk yang diciptakan sejarah adalah sebuah jalan menuju realisasi keseluruhan tujuan sejarah dunia yakni kebebasan. Akhir sesungguhnya dari sejarah dunia adalah realisasi diri Idea Absolut.[15]
Di sini Malaikat Sejarah dari Benjamin sebagaimana yang sudah digambarkan di atas melihat reruntuhan sejarah yang dianggap Hegel sebagai sesuatu yang baik-baik saja. Namun sang Malaikat ngeri melihatnya dan berusaha untuk berhenti dan membenahinya. Sesuatu yang dianggap harus ada sebagai jalan menuju realisasi sejarah sesungguhnya yakni perealisasian diri Idea Absolut, Benjamin melihat bahwa sesuatu justru sangat getir diciptakannya.
Jika membaca sejarah Hegel ini melalui perspektif materialisme historis bahwa sejarah adalah pertarungan antara kelas tertindas dan penindasnya, maka korban yang berjatuhan dalam sejarah tentu saja kelas tertindas, kaum kalah dalam sejarah. Dengan demikian sejarah dari perspektif kelas ini haruslah sejarah yang getir meliaht korban sejarah dan menuntut keadilan untuk korban yang tercipta dalam perjalanan sejarah. Sebuah ide sejarah kemajuan seperti yang digambarkan Hegel adalah juga sejarah yang bisa dikatakan melegitimasi adanya korban dan dengan memandang tujuan akhir sejarah sebagai goalnya maka keadilan atau tuntutan terhadap mereka-mereka atau peristiwa-peristiwa yang menciptakan korban tidaklah dibutuhkan.
Demikianlah kita sesungguhnya suda melihat sebuah ketidaksetujuan atas ide dari Hegel. Seperti yang kita tahu sebagaimana pemaparan sebelum ini bahwa pemikiran Hegel adalah pemikiran tentang optimisme abad pencerahan. Selain Benjamin tentu saja banyak pemikir yang tidak setuju dengan optimisme yang demikian. Pada kenyataannya terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II sudah meyumbangkan tendensi ketidak-percayaan pada optimisme sejarah a la Hegel ini. Apa yang menjadi optimisme Hegel justru menciptakan perang yang membawa petaka dan kemelaratan bagi masyarakat Eropa dan juga dunia secara keseluruhan.
Kepala yang Tunduk Pada Kenyataan
Sebagaiamana sudah kita jelaskan di bagian sebelumnya tentang subjek dan subjektivitas dalam Hegel, kita tahu bahwa yang terpenting adalah kesadaran itu sendiri. Apa yang ada di luar kesadaran itu bukanlah sesuatu yang penting. Kebenaran menjadi benar-benar benar ketika kenyataan itu sesuai dengan apa yang ada di dalam kepala subjek berpikir. Intisari pemikiran Hegel yang demikian pada gilirannya menjadi marak di Jerman pasca meninggalnya Hegel di dalam dua kubu yakni Hegelian Muda dan Hegelian Tua. Kita tahu salah satu di antara Hegelian Muda adalah Karl Marx yang pada saatnya membuat filsafatnya sendiri yang selain menggunakan beberapa kerangka berpikir Hegel, ia juga mengembangkan pemikirannya sendiri.
Sebuah karya Marx (yang ditulisnya bersama Engels), German Ideology, sebenarnya adalah karya yang berurusan dengan idealisme Jerman terkhusus Hegel. Dalam pengantar untuk buku ini, kedua penulis merumuskan posisi teoritik mereka sekaligus juga menyerang posisi teoritis beberapa Hegelian Muda Jerman kala itu. Demikian Marx dan Engels:
Sampai saat ini, manusia terus-menerus membuat pengertian yang keliru tentang diri mereka sendiri, tentang apa adanya mereka dan apa yang semestinya. Mereka telah mengatur hubungan di antara mereka menurut ide mereka tentang Tuhan, tentang manusia normal, dll. Mereka, sang pencipta, telah tunduk di hadapan ciptaan mereka. […] Marilah kita berontak melawan aturan pikiran. Mari kita ajarkan pada manusia, kata yang pertama [Feuerbach], agar mengganti imajinasi-imajinasi ini dengan pemikiran yang cocok dengan esensi manusia; kata yang kedua [Bauer], agar bersikap kritis terhadap imajinasi-imajinasi itu; kata yang ketiga [Stirner], agar mengeluarkan semua itu dari kepala mereka—dan kenyataan yang ada akan runtuh.
Pada suatu ketika, seorang kawan yang gagah berani memiliki ide bahwa manusia dapat tenggelam dalam air hanya karena mereka memiliki ide gravitasi. Apabila mereka dapat menyingkirkan konsep gravitasi ini dari kepala mereka, misalnya dengan mengutukinya sebagai takhayul atau konsep religius, maka mereka akan memberikan pembuktian jitu untuk menyangkal berbahayanya air. […] Kawan yang gagah berani inilah jenis filsuf-filsuf revolusioner baru di Jerman.[16]
Beberapa nama yang ditunjukkan Marx dan Engels pada kutipan di atas adalah para pemikir Hegelian Muda. Mereka mengembangkan ide mereka sendiri namun satu nada dasar pada pemikiran mereka adalah kepercayaan pada yang terpenting adalah pikiran manusia. Posisi teoritik yang demikian muncul dalam varias yang berbeda-beda pada Feuerbach, Stiner, dan Bauer. Pada kutipan ini sebenarnya Marx dan Engels belum secara langsung menunjukkan posisi mereka. Tetapi yang ditunjukan di sini adalah kelemahan-kelemahan dari kepercayaan bahwa yang terpenting untuk kebenaran adalah kesadaran manusia atau apa yang ada dalam kepala manusia. Pada paragraf kedua dalam kutipan di atas barangkali secara komikal dapat kita rujuk untuk menggambarkan bagaimana, menurut Marx dan Engels, konyolnya ide bahwa kebenaran lebih bertumpu pada kesadaran dan bukan pada kenyataan fisik di luar kesadaran itu.
Tidak mungkin dengan seorang manusia menghilangkan sama-sekali ide tentang grafitasi di dalam kepalanya dan dengan demikian ia bisa berjalan di atas air. Ada atau pun tidak ada ide tentang grafitasi di dalam kepala manusia maka manusia tetaplah akan tenggelam di dalam air. Ini berarti bukan yang utama adalah kesadaran manusia melainkan kenyataan fisik itu sendiri.
Demikianlah, kita suda melihat dua kritikan atas dua hal dari Hegel yang sudah kita bicarakan.
Kesimpulan
Apa yang terpenting dalam filsafat Hegel adalah Idea Absolut. Padanyalah segala perjalanan sejarah dan segala kenyataan ini bermuara. Manusia sebagai subjek yang berpikir dalam skema Hegel tidaklah menjadi nomor dua begitu saja. Melalui manusia, manusia yang hidup, Idea Absolut mengalienasikan dirinya untuk nanti merealisasikan dirinya di akhir sejarah. Dengan demikain subjek manusia selalu dibebani kesadaran yang merupakan alineasi dari Idea Absolut itu sendiri.
Untuk menyadari kesadaran yang ada dalam dirinya, diri-yang-sadar ini perlu diri-yang-sadar lainnya agar ia bisa mengenali dirinya-yang-sadar. Subjektivitas dengan demikian selalu adalah intersubjektivitas menurut Hegel. Namun intersubjektivitas (yang dengan satu dan lain cara bisa dibaca sebagai kesosialan ini) tetaplah menghamba pada kesadaran alias idea-idea sebagai manifestasi dari Idea Absolut. Itulah sebabnya kenapa segala kenyataan yang dihadapi oleh diri-yang-sadar harus kembali pada kesadarannya sendiri barulah menemukan kebenarannya.
Pemikiran Hegel yang demikian pada gilirannya dikritik oleh tradisi Marxsisme dan juga Marx-Engels sendiri. Keberatan pertama tentang filsafat sejarah Hegel adalah dengan satu dan lain cara, filsafat tersebut melegitimasi jatuhnya korban dan filsafat tersebut tidak berpihak pada korban, sebaliknya pemenang. Jika kita melihat hal ini dalam panorama kapitalisme di mana yang terjadi adalah ketimpangan maka filsafat sejarah Hegel ini adalah filsafat borjuis yang memberi tempat pada penindas.
Dengan subjektivitas Hegel yang menitik-beratkan pada kesadaran sebagai yang utama, Marx dan Engels melihat adanya sesuatu yang dianggap cukup lucu di sana. Hal itu bertentangan sama sekali dengan kenyataan hidup manusia. Dengan demikian Marx dan Engels alih-alih mengikuti Hegel bahwa yang terpenting adalah kesadaran, mereka justru menempatkan kenyataan indrawi sebagai yang utama tinimbang kesadaran atau pikiran.***
Daftar Bacaan:
Atkins, Kim. (ed.), Self and Subjectivity, (Oxford: Blackwell Publishing), 2005.
Benjamin, Walter., “On the Concept of History,” dalam Walter Benjamin, Selected Writings Volume IV (1938-1940), diedit oleh Howard Eiland dan Michaels W. Jennings, (London: The Belknap Press of Harvard University Press), 2003.
Hardiman, F. Budi., Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Penerbit Erlangga), 2011.
Löwy, Michael., Fire Alarm: Reading Walter Benjamin’s ‘On the Concept of History, diterjemahkan oleh Chris Turner, (London: Verso), 2005.
Magnis-Suseno, Franz., Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1999.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, The German Ideology: Part One, diedit oleh C. J. Arthur, (London: Lawrence & Wishart), 1991.
Navickas, Joseph L., Consciousness and Reality: Hegel’s Philosophy of Subjectivity, (Netherlands: martinus Nijhoff-The Hague), 1976.
[1] Diambil dari Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity, (Oxford: Blackwell Publishing), 2005, hlm. 60-70.
[2] Mayoritas komentator Karl Marx melihat bahwa Hegel-lah yang menyumbangkan konsep filsafat sejarah Marx. Namun tidak sedikit juga yang menentang pendapat tersebut. Salah satu yang menentangnya adalah Lous Althusser.
[3] F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Penerbit Erlangga), 2011, hlm. 156-157.
[4] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 1999, hlm. 58.
[5] Bagian ini merupakan penyarian dari komentar Kim Atkins atas tulisan Hegel dan juga tulisan Hegel itu sendiri. Lih. Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 60- 70.
[6] Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 60.
[7] Sebagaimana dikutip dalam Joseph L. Navickas, Consciousness and Reality: Hegel’s Philosophy of Subjectivity, (Netherlands: martinus Nijhoff-The Hague), 1976, hlm. 15.
[8] Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 60.
[9] Sebagaimana dikutip dalam Joseph L. Navickas, Consciousness and Reality: Hegel’s Philosophy of Subjectivity…, hlm. 16.
[10] Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 60.
[11] Hegel dalam Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 65.
[12] Kim Atkins (ed.), Self and Subjectivity…, hlm. 62.
[13] Walter Benjamin, “On the Concept of History,” dalam Walter Benjamin, Selected Writings Volume IV (1938-1940), diedit oleh Howard Eiland dan Michaels W. Jennings, (London: The Belknap Press of Harvard University Press), 2003, hlm. 392.
[14] Michael Löwy, Fire Alarm: Reading Walter Benjamin’s ‘On the Concept of History, diterjemahkan oleh Chris Turner, (London: Verso), 2005, hlm. 64-65.
[15] Michael Löwy, Fire Alarm: Reading Walter Benjamin’s ‘On the Concept of History, hlm. 65.
[16] Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology: Part One, diedit oleh C. J. Arthur, (London: Lawrence & Wishart), 1991, hlm 37.
*Catatan: Tulisan ini berasal dari makalah untuk mata kuliah Antropologi Filosofis di Program Magister Filsafat, STF Driyarkara, 28 April 2014.