Tulisan ini merupakan penyarian atas bab enam dari buku karya Josef Bleicher berjudul Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique. Sejatinya, bab enam ini merupakan kesimpulan dari tiga bab sebelumnya yang membahas tentang hermeneutik eksistensial dan ontologi dari Hiedegger, hermeneutik teologis dari Bultmann, dan filsafat hermeneutik Gadamer. Dengan demikian, diandaikan bahwa pembahasan perihal ketiga hal di atas sedikit banyak sudah terpahami.

Filsafat Hermeneutik Heidegger dan Gadamer

Ada dua elemen utama dari filsafat hermeneutika yang dikembangkan Gadamer dan Heidegger yakni pertama elemen filsafatnya yang bersifat transenden. Elemen filsafat ini pada pemikiran Heidegger terlihat dalam hermeneutika faktisitas (hermeneutika keterbatasan) dan pada Gadamer tampak dalam hermeneutika filosofis. Elemen kedua adalah teori hermeneutika itu sendiri yang dikembangkan oleh Dilthey dan Betti yang memberikan kerangka filosofis.

Apa yang hendak dikembangkan atau apa argumentasi dari filsafat hermeneutika adalah mencari kebenaran. Hal ini menurut Bleicher diungkapkan dengan baik oleh judul buku Gadamer, Truth and Method. Dari judul buku Gadamer ini nampaklah bahwa metode dipahami sebagai cara untuk mencapai atau menggapai kebenaran. Pemahaman ini dimulai sejak Descartes. Kebenaran yang dimaksud merujuk pada kebenaran sebagai veritas (kebenaran) dan adaequatio intellectus ad rem (korespondensi antara proposisi dan fakta).[1] Artinya, kebenaran disebut sebagai kebenaran apabila realitas sesuai dengan pikiran. Jadi yang paling penting di sini adalah pikiran dan bukan kenyataan atau realitas. Kepatuhan atas metode memberi kepastian akan klaim-pengetahuan. Jadi di sini, metode sangat penting untuk melihat atau mencapai kebenaran. Kebenaran menjadi sebuah pengetahuan jika taat pada metode. Salah satu contoh untuk konsep ini adalah logika apopanik[2].

Kebenaran yang demikian ini pada gilirannya dikritik oleh Heidegger. Lebih lanjut Heidegger memperkenalkan konsep kebenaran sebagai aletheia (ketersingkapan). άλήθεια (a-letheia) bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak-dirahasiakan. Huruf “a” di depan merupakan ά- privativum. ά- privativum adalah awalan untuk menyatakan penegasian atas kata yang mengikuti setelahnya. Tetapi apa yang dinegasikan tidak dinegasikan secara penuh tetapi hanya sebagiannya saja. Contoh penggunaan awalan yang demikian adalah kata “abnormal”. “Ab” merupakan awalan privativum. Abnormal dengan demikian bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak normal. Namun, yang normal itu sendiri bukan berarti hilang sama sekali dalam kata “abnormal”. Yang normal masih tetap ada tetapi sebagian kecilnya menjadi tidak nomral. Jadi kebenaran dalam pengertian aletheia bisa dipahami sebagai sesuatu yang harus dikoyakan dari persembunyiannya, sesuatu yang harus dicuri dari sana, di mana φύσις (phusis) sendiri berusaha menyembunyikan dirinya sekuat tenaga. Jadi dengan a-letheia dimaksudkan adalah kebenaran yang pada akhirnya diketahui karena sudah tersingkap namun demikian masih ada pula yang tersembunyi.

Sumber: https://www.linkedin.com/pulse/bridging-hermeneutics-ai-quest-meaning-digital-age-tavi-truman-56bkc/

Heidegger, menurut Bleicher, menunjukkan sesuatu pengalaman yang lebih fundamental dari pada mendapatkan kebenaran secara metodis. Lebih lanjut, bagi Heidegger, ilmu pengetahuan modern—demikian juga pengetahuan metafisika—melihat benda sebagai ready at hand dalam level ontis untuk mengontrol dan menjadi tuan atasnya.

Hermeneutika faktisitas memberikan penjelasan ontologis akan Ada dan adaan-adaan dengan menemukan landasan transendental filosofis. Dengan demikian, Heidegger mengungkapkan prakondisi transendental yang tersembunyi dalam logika ilmu pengetahuan dalam bentuk hubungan subjek objek Cartesian-Kantian. Ia juga memberi landasan atau penjelasan akan struktur-awal eksistensial dari verstehen (memahami) melalui konsep in-der-Welt-sein (Ada-di-dalam-dunia) dan Mitsein (ada dengan/ada bersama). Dengan dua poin pemikirannya ini sebenarnya Heidegger mengkritik kecenderungan idealisme epistemologis dan solipsisme metodologis yang mengandaikan adanya konstitusi dan pengalaman. Kebenaran sebagai korespondensi proposisi dan fakta mengandaikan adanya jarak antara pemikiran dan kenyataan. Dengan dua poin pemikirannya tersebut, Heidegger menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada jarak itu.

Sejak die Kehre dalam pemikiranya, Heidegger lantas menempatkan bahasa sebagai sebagai sumber pengetahuan dan juga penyingkapan akan kebenaran Ada. Die Kehre (the turning/balikkan) Heidegger adalah balikan dari proyek ontologi fundamentalnya yang bertanya tentang “makna Ada” dalam kaitannya dengan horison transendental Dasein menuju suatu gagasan tentang “kebenaran Ada” sebagai αληθεια (a-letheia). Bahasa atau dalam bahasa Yunaninya λόγος (logos) adalah, oleh Heidegger, rumah akan Ada. Jadi kebenaran itu disingkapkan melalui bahasa.

Pada Gadamer nantinya sifat linguistik dari Being (Ada) diekspresikan dalam konsep Wirkungsgeschichte, Zugehoerigkeit, Spiel, dan Gespraech. Konsep-konsep ini nantinya menyumbang atau saling berinteraksi dalam kemungkinan penyingkapan kebenaran, atau yang disebut Gadamer sebagai Horizontverschmelzung (fusion of horizon/peleburan horison). Yang dimaksud dengan peleburan horison adalah horison sejarah teks yang ditafsirkan dengan horison sejarah penafsir berinteraksi, saling bertemu, dan berdialog lantas menghasilkan suatu pengertian yang baru.

Sifat linguistik dari pengalaman kita akan dunia melebihi semua relatifitas dan meliputi segala benda-di-dalam-dirinya; ia mendahului segala hal yang dikenali dan dipronounsiasikan sebagai ‘sesuatu’. Sedangkan pengalaman yang didapatkan berada di belakangnya sebagai bentuk kedua. Ia hanyalah abstraksi dari totalitas pengalaman manusia. Pengalaman bentuk kedua ini mengabaikan esensi benda dan mementingkan determinasi terhadap kualitas. Pengalaman bentuk kedua ini muncul dalam metode sains yang memperhatikan fenomena sebagai yang dapat dikontrol dan diobjektifikasikan oleh subjek otonom. Gadamer, dengan merujuk pada pengalaman hermeneutik yang universal, melampaui metafisika dogmatis dan batasan pengetahuan ilmu pengetahuan.

Aspek Universal Filsafat Hermeneutika

Metode sains, menurut Gadamer, tidak bisa memverifikasi kebenaran pengalaman kita dalam seni, filsafat dan sejarah. Problem ini, sebelumnya sudah dipecahkan Heidegger dengan mengajukan pemahaman sebagai mode dari Ada yang mendasari semua investigasi ilmu pengetahuan. Husserl, sebelumnya pun, sedikit banyak membicarakannya dalam konsep ‘dunia-kehidupan’ (life-world) pra ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman yang hampir serupa, Gadamer mengajukan apa yang disebutnya sebagai Welterfahrung (pengalaman akan dunia). Welterfahrung bukan berurusan dengan hal-hal yang ‘present-at-hand’ (siap pakai) tetapi keterjagaan akan makna adaan-adaan.

Weltefahrung ini merepresentasikan bidang dari hermeneutik universal. Bentuknya terlihat pada dialektika antara pertanyaan dan jawaban yang beroperasi pada basis yang disediakan oleh bahasa, dan menjadi jelas ketika para partisipan pada dialog itu mendapat persetujuan tentang subjek yang dibicarakan. Cara lain adalah melalui permainan bahasa di mana subjektivitas pemainnya ditarik dan menjadi subordinat dalam permainan tersebut. Bahasalah yang memainkan permainan itu. Dengan kata lain keuniversalan hermeneutik dijalani dengan cara membiarkan topik bahasan memanggil kita. Hal ini terjadi pada saat sesuatu yang penting berlangsung pada kita pada sebuah situasi di mana permasalahan dan juga subjek pengalaman termasuk di dalamnya. Termasuk juga di dalamnya penerima dan pesan, penafsir dan teks, ditandai dengan keintiman hubungan antara semua yang ada dalam konteks permainan tersebut. Semua unsur itu dibentuk oleh ‘tradisi’ dan bahasa.

Bahasa juga adalah prakondisi untuk segala aktifitas ilmu pengetahuan. Di sini juga barangkali terletak kelemahan ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan keuniversalan hermeneutik. Gadamer melalui hermeneutikanya menunjukkan batas-batas usaha pengobjektifikasian yang digambarkan oleh struktur elemen-elemen pemahaman. Semua pengetahuan muncul dari sebuah situasi sejarah yang mana dipengaruhi oleh tradisi, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Namun peran peran hermeneutik di sini adalah memeriksa dan menegaskan legitimasi ilmu pengetahuan apabila ke luar dari koridornya. Dengan demikian metode tidak bisa menjamin kebenaran tetapi hanya memastikan derajat kepastian melalui proses-proses yang terkontrol.

Problem keuniversalan hermeneutik tidak hanya merujuk pada kesituasian sejarah dari ilmu-ilmu matematis, tetapi secara a forteriori juga pada ilmu sosial. Justru pada bidang inilah keadaan sejarah di mana penafsir dan juga objeknya tersituasikan menjadi teramat penting. Betti sebenarnya keberatan dengan hal ini. Baginya yang terpenting adalah mempertahankan objektivitas interpretasi. Sedangkan Gadamer, selain menentang objektivitas, ia juga menjelaskan apa yang gagal dijelaskan oleh sosiolog yang berbasiskan filsafat neo-kantian. Sosiologi neo kantoan gagal memberikan pemahaman yang memadai tentang kesejarahan pengetahuan. Gadamer memberikan solusi itu pada kesadaran akan sejarah efektif yang berusaha untuk merenungkan prasangkanya sendiri dan untuk mengontrol pra-pemahamannya.

Filsafat hermeneutik tidak hanya berfokus pada Geisteswissenschaften (ilmu humaniora) tetapi juga relasinya dengan keseluruhan pengalaman manusia akan dunia. Kesejarahan pemahaman merujuk pada tiga aspek yakni pertama mediasi sosio-historis dari prapemahaman, kedua konstitusi yang mungkin dari objek-objek, dan ketiga pilihan nilai yang dibentuk oleh praksis sosial. Betti dan Hirsch mengkritik hal ini. Bagi mereka, unsur subyektif bisa mengganggu interpretasi yang obyektif. Menurut Bleicher keduanya lupa atau tidak bisa membedakan antara pra-pemahaman secara partikular dengan filsafat hermeneutik secara general.

Kritik atas Metode

Sebagaimana yang sudah sedikit disebutkan sebelumnya bahwa sangat menjunjung tinggi otonomi teks. Dilthey sebelum itu bahkan melihat bahwa sebuah teks sudah punya makna yang fiks sebagaimana dimaksudkan penulisnya sebagai prakondisi bagi interpretasi yang objektif atas makna. Schleiermacher pun dengan ‘affinitas pikiran’-nya melihat kurang lebih hal yang serupa. Dengan demikian hermeneutika selalu terikat pada konsepsi makna yang spesifik sebagaimana dimaksudkan penulis yang dapat muncul melalui inversi dari proses penciptaan.

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Hermes#/media/File:Hermes_(Mercury)_at_the_Getty_Villa_(bronze_copy_of_a_Roman_bronze).jpg

Gadamer menentang hal ini. Bagi Gadamer pemahaman muncul dalam dialog antara masa lalu dan masa sekarang, antara waktu dari asal teks dengan interpreternya, dalam peleburan horison teks dan interptertatornya. Seorang interpretator mengikuti logika pertanyaan, jawaban, dan memberikan objek interpretasinya kemungkinan untuk sebuah makna yang lebih baru dan lebar. Dengan demikian, tradisi yang ada pada teks tersebut bukannya diulangi sebagaimana adanya dia, tetapi diartikulasikan ulang dalam cara yang baru. Ini disebut Gadamer sebagai karakter spekulatif dari interpretasi. Dengan demikian, sebuah apropriasi atas makna teks bisa pula dikatakan sebagai sebuah kreasi baru; dan setiap appropriasi berbeda dan semuanya valid. Gadamer mengatakan bahwa “untuk memahami sastra bukan untuk merujuk kembali pada peristiwa masa lalu, tetapi sebuah partisipasi di sini dan sekarang dalam apa yang dikatakannya, berbagi pesan, penyingkapan dunia” (hlm. 123).

Dengan demikian, jika Betti lebih cenderung melihat sebuah objektifitas interpretasi sedangkan Gadamer lebih berkonsentrasi pada proses interpretasi itu, misalnya, dalam peleburan horison teks dan penafsir. Dengan demikian Gadamer seolah-olah menggabungkan atau mencampurkan antara interpretasi dan pemahaman. Ia juga memperkenalkan “aplikasi” sebagai momen ketiga sebagai sebuah fenomena yang menyatu.

Gadamer pun melihat adanya stagnasi pada ilmu pengetahuan, entah ilmu pengetahuan alam mau pun ilmu pengetahuan sosial. Hal ini menurutnya disumbangkan oleh hilangnya pemahaman religius atas eksistensi hidup manusia dan juga tradisi sebagai sebuah tujuan manusia. Lebih jauh, Gadamer sebenarnya mengejar adanya hubungan antara metode dan ilmu pengetahuan, sebuah hal yang pernah dilakukan oleh Galileo. Dalam teori untuk interpretasi, hal ini membawa pada interpretasi dan applikasi, yakni antara teori dan praktis.

Di dalam peleburan horison, intellegere dan explicare (pemahaman dan penjelasan) mendapatkan karakter utamanya segala macam bentuk pemahaman. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah teks diproduksi kembali dalam hal interpretasinya. Interpretasi yang baru ini didorong oleh sebuah horison pemahaman. Yang mana horison pemahaman ini berubah dalam aktivitas interpretasinya.

Gadamer pun menolak distingsi antara aplikasi normatif, rekognisi, dan rekonstruksi interpretasi dan reproduksi. Interpretasi bagi Gadamer adalah sebuah kerja seni, bukan sekadar sebuah kerja re-kreasi semata. Sedangkan Betti dalam aplikasi yang normatif, ia berpegang pada pemahaman bahwa interpretasi adalah kerja juridiksi dan proses teologis dari sebuah proses yang normatif dan dari cara pandang dogmatis yang membutuhkan makna objektif dari obyek untuk setiap situasi partikular. Sedangkan Gadamer justru mengatakan bahwa untuk membedakan antara sesuatu yang bersifat dogmatis dengan konteks historis.

Pemahaman ini dan applikasinya yang dinyatakan Gadamer ini mendapatkan pula legitimasinya dari pemikiran Aristoteles yang membedakan phronesis dengan episteme dan techne. Phronesis sebagai pengetahuan praktis menginternalisasikan pengetahuan dan tidak bisa dilupakan jika itu tidak dibutuhkan pada moment tersebut. Phronesis dalam hubungannya sebagai ilmu pengetahuan aplikatif menggaris–bawahi kerja seorang interpretator harus berhubungan dengan tradisi.

Penutup dan Catatan Kritis

Hermeneutika sebagai sebuah ilmu yang membawa makna baru terhadap obyek yang berada jauh di depan oleh Gadamer membutuhkan sebuah peleburan sejarah antara obyek dan subyeknya. Dengan peleburan ini kerja interpretasi bukanlah kerja biasa melainkan sebuah bentuk kerja seni. Pada perihal peleburan sejarah antara penafsir dan teks inilah sesungguhnya kita menemukan kesulitan dari interpretasi hermeneutika.

Interpretasi hermeneutika mengandaikan adanya posisi teks dan sejarah sosial di mana teks itu berada dan juga penafsir dengan sejarah sosial dari tempat ia berada. Pada wilayah penyatuan sejarah sosial keduanya kita tahu bahwa teks tentu saja pasif karena posisinya sebagai objek. Sedangkan penafsir selalu aktif karena posisinya sebagai subjek. Dalam hal ini peleburan sejarah dalam hermeneutika Gadamer bisa jatuh terjebak pada permasalahan yang menjadi titik kritik tentang kebenaran pasca Descartes. Kebenaran pasca Descartes adalah kebenaran yang adaequatio intellectus ad rem (korespondensi antara proposisi dan fakta).

Menurut saya dalam hermeneutika Gadamer tidak ada jaminan bahwa pikiran akan setia pada kenyataan. Atau dalam perkara hermeneutika Gadamer bisa dikatakan bahwa tidak ada jaminan subjek berpikir dari interpreter tidak semena-mena terhadap objek teks. Kebenaran sebagai adequatio intellectus ad rem adalah sebuah cara pandang yang melihat kebenaran bergantung pada pikiran. Dalam bahasa filsafat ilmu, maka posisi dari adaequatio intellectus ad rem (korespondensi antara proposisi dan fakta) ini berada pada kubu anti-realisme. Dengan demikian dari cara pandang realisme yang secara ontologis melihat kenyataan bertumpu pada realitas tidak diakomodasi oleh kebenaran sebagai adaequatio intellectus ad rem (korespondensi antara proposisi dan fakta). Dan jika kesimpulan kita di atas benar bahwa hermeneutika Gadamer dengan peleburan sejarahnya tetap tidak menjamin interfensi ‘semena-mena’.

[1] Pada bagian ini Joseph Bleicher sendiri sedikit melakukan kesalahan. Ia mengartikan adaequatio intellectus ad rem sebagai korespondensi antara proposisi dan fakta. Lih. Bleicher, hlm. 117.
[2] Logika Apopanik dikembangkan oleh Aristoteles. Belakangan, fenomenolog seperti Husserl dan Heidegger menggunakannya pula.


*Catatan: Tulisan ini merupakan makalah untuk Mata Kuliah Hermeneutika di Program Magister Filsafat STF Driyarkara, 11 Juni 2014.

Please follow and like us:

Post Comment

RSS
Instagram