Jumat Agung merupakan salah satu hari besar Gereja Katolik yang selalu dirayakan di manapun. Ada sesuatu yang berbeda dari Jumat Agung di Larantuka bila dibandingkan dengan di tempat-tempat lainnya. Di tempat ini, hari Jumat menjadi hari yang sangat besar dan penuh permenungan bagi orang Larantuka. Sebab kota itu punya tradisi Prosesi Semana Santa (Prosesi Jumat Agung). Konon sudah ada di kota itu sejak lama.
Salah satu yang patut diperhatikan, bukan berarti yang lain tak patut, adalah prosesi bahari mengantar Tuan Meninu pada hari Jumat Agung yang adalah bagian dari perayaan Semana Santa. Prosesi Bahari ini tidaklah menempuh jarak yang sangat jauh, melainkan beberapa kilo meter saja mengarungi Selat Gonsalu yang dikenal ganas itu. Prosesi Bahari dimulai dari pantai Kampung Rewido dan berakhir di Pantai Kuci, di tengah kota Larantuka. Jarak keduanya kira-kira 5 kilometer.
***
Seperti yang disebutkan di atas, dalam Prosesi Bahari itu yang diantar adalah Patung Tuan Meninu. Kata meninu berasal dari kata bahasa Portugis yakni Menino yang berarti anak kecil. Dari kata Menino ini, orang Kota Rewido dan Kota Sau, dua kampung di sebelah timur Kota Larantuka yang terletak di pinggir pantai, melafalkannya menjadi Meninu. Patung Tuan Meninu yang dimaksud ialah patung anak Yesus. Patung itu disimpan di Kapela Tuan Meninu yang pintu kapelanya langsung menghadap laut.
Belum pasti juga sebenarnya asal usul patung ini. Satu yang pasti, patung ini sudah ada di kampung kecil ini sejak jaman dahulu. Namun ada beberapa versi cerita yang diwariskan secara lisan dan turun temurun. Pertama, bercerita bahwa Patung Tuan Meninu dan beberapa patung lain yang menyertainya ditemukan seorang nelayan dari kampung Rewido di zaman Portugis dulu. Nelayan ini sebelumnya bermimpi tentang orang yang tenggelam bermalam-malam. Setelah menemukan patung itu, mimpi itu pun tak pernah lagi dialaminya.
Versi cerita lisan kedua, yang pada hemat penulis lebih bisa diterima, adalah patung itu dibawa kapal Portugis bernama Sarang Boga. Kapal ini pada suatu ketika membuang sauh di sekitar perairan dekat Kota Rewido. Kapten kapal Sarang Boga lantas memberikan sejumlah patung, diantaranya Patung Tuan Meninu, kepada Kapitan Liku dari suku Kinta Besa. Memang, kota Larantuka kebanjiran patung-patung dan benda-benda peribadatan Katolik milik Portugis pada 1660an. Hal ini disinggung juga oleh Antonio Pinto Da França dalam bukunya, Pengaruh Portugis di Indonesia.
Patung Meninu ini awalnya disimpan di rumah adat kampung. Seperti yang banyak terjadi juga di tempat-tempat lain di kota Larantuka, korke atau rumah adat banyak pula yang beralih fungsi menjadi Kapela yang dijadikan pusat kerohanian masyarakat kampung. Begitu pula rupanya yang terjadi dengan asal usul Kapela Tuan Meninu di Kota Rewido. Bisa juga hal ini adalah perubahan dari Korke menjadi Kapela, yang dipandang sebagai siasat para misionaris Portugis untuk mengkatholikkan masyarakat Larantuka pada masa lampau.
Keberadaan Kapela Tuan Meninu di tengah-tengah sebuah kampung yang bernama Kota Rewido pun menarik untuk dilihat. Ada beberapa versi pula yang hendak memahami hal ini. Rewido terkadang dikaitkan dengan nama Pulau Raejua. Alkisah, di tahun 1650an, Kerajaan Larantuka berperang dengan Solor dan Adonara. Saat itu, Larantuka dibantu orang-orang dari Pulau Raejua dan Pulau Sabu. Maka, kampung Kota Rewido dan tetangganya kampung Kota Sau adalah hadiah Raja Larantuka untuk kedua sekutunya ini. Kota sendiri berasal dari bahasa Melayu yang berarti benteng. Kota Rewido pun sering dikaitkan juga dengan kata dari bahasa Portugis Servico yang menjadi Serewi dalam pelafalan lokal ditambah Deo artinya Tuhan atau Don (raja). Bisa saja, orang-orang di kampung kecil itu hidupnya untuk menjaga Tuhan karena di sana ada Kapela Tuan Meninu atau bisa juga sebagai pelayan Raja karena di samping kampungnya ada perkebunan milik raja.
Perarakan Tuan Meninu dari kampung Kora Rewido ke pusat kota Larantuka pun bisa dilihat dari segi Serewi Don (melayani raja ini). Peti Patung Tuan Meninu yang berisi salib itu nantinya akan ditempatkan di armida kedua dari delapan armida yang ada. Kemungkinan pula bahwa partisipasi ini menunjukkan kesetiaan masyarakat Kota Rewido, yang beberapa versi sejarahnya sudah diutarakan di atas, pada Raja Larantuka. Dan transportasi menggunakan perahu melalui laut ini, pada hemat penulis hanyalah permasalahan teknis belaka di jaman dahulu. Berdasarkan cerita orang-orang tua, dari Kota Rewido ke pusat kota Larantuka di tahun 1950an jaraknya terasa sungguh jauh bagi mereka. Apalagi ketika zaman dahulu kala ketika Prosesi Jumat Agung itu mulai digagas. Pastilah jarak 5 kilometer terasa sungguh jauh ditambah pula bahwa jalan belum tentu ada seperti sekarang. Maka, pilihan yang tepat untuk warga kampung kecil Kota Rewido yang mayoritas adalah nelayan itu tentu menggunakan sampan untuk turut berpartisipasi dalam acara itu.
Dalam perjalanannyapun, seperti yang terus dipertahankan sampai sekarang, ada formasi-formasi sampan tertentu yang menyertai. Sampan besar Tuan Menino berada di tengah apitan dua sampan pengawal. Sedangkan di depannya, ada sampan penunjuk arah. Di belakangnya baru diikuti sampan-sampan warga yang hendak turut serta, barulah ditutup oleh sampan pengawal belakang. Di zaman dahulu, menurut cerita para orang tua, hanyalah sampan-sampan kecil berkatai atau pun tidak saja yang turut dalam prosesi bahari itu. Seiring berkembangnnya zaman, kini diikuti pula oleh perahu-perahu bermotor yang lebih besar lagi. Namun tetap saja, perahu-perahu bermotor atau pun sekoci-sekoci modern yang turut serta itu tak pernah berani mendahului sampan-sampan kecil yang menduduki formasi awalnya itu. Prosesi itu bukan sekadar berjalan-jalan saja, akan tetapi di atas sampan-sampan masyarakat kampung Kota Rewido khusyuk memanjatkan doa dan nyanyian secara bersama-sama hingga tiba di Pantai Kuce.
***
Prosesi Bahari di Selat Gonsalu ini adalah sebuah contoh kecil bagaimana sebuah peristiwa terjadi berkat jasa lautan di sekitar kita. Keberadaan prosesi bahari itu tidak bisa dipisahkan dari laut sebagai faktor yang memungkinkan hal itu terjadi. Dari kedatangan patung Tuan Meninu, transportasi dan sarana perairan yang dipilih untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan, lautlah yang berperan. Apalagi untuk masyarakat-masyarakat di kampung-kampung kecil pinggir pantai seperti kampung Kota Rewido misalnya, laut bukan saja menjadi tempat mencari nafkah, tetapi juga menjadi apresiasi kehidupan rohaniah mereka. Bukan hanya terhenti di dalam kepercayaan tradisional, dalam agama modern seperti Katolik pun, laut menjadi tempat apresiasi nelayan atas hidup rohani mereka.
*Catatan: Dipublikasikan di Jurnal PendarPena, Nomor 11, Tahun Pertama, Oktober 2008. Ditulis dengan ‘sok-sokan’ menggunakan nama pena.