Magnolia seperti film yang tak menjanjikan apa pun yang berbeda dari Paris I Love You atau New York I Love You, bila kita melihatnya sebagai sebuah film yang berisi beberapa fragmen kisah. Kita tidak mengatakan di sini bahwa fragmen-fragmen itu tanpa benang merahnya. Dan sesungguhnya secara kronologis, dua film yang disebut pertamalah yang mirip Magnolia.
Perbedaan terlihat pada Magnolia yang loncat jauh ke belakang pada berita di “New York Herald..” tentang hukuman mati tiga orang atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap seorang apoteker dalam rangka merampoknya. Dan juga laporan dari “Reno Gazzete…” Juni 1983 tentang kematian seorang pekerja kasino akibat dihisap dari danau oleh pesawat pemadam kebakaran yang diikuti dengan bunuh dirinya pilot pesawat itu. Lantas seorang anak muda yang ingin bunuh diri dan seharusnya ia gagal tetapi tembakan shotgun ibunya dalam pertengkaran dengan ayahnya menjadikan bunuh diri ini sukses. Tiga kisah ini seakan menjadi pijakan atau latar belakang dari fragmen-fragmen cerita yang sebentar lagi tersaji. Narrator pun seakan sudah memberi kesimpulan nirtolak dari kalimatnya di penghujung tiga kisah latar ini ….this was all only a matter of chance.
Film ini adalah fragmen-fragmen kehidupan beberapa orang di San Fernando Valley. Ada anak kecil istimewa yang selalu menang dalam kuis televisi What Do Kids Now dan ayahnya yang selalu menekannya agar bisa memenangkan kuis itu, host What Do Kids Now yang divonis mati akibat kanker yang dideritanya, anaknya Claudia yang kecanduan obat-obatan dan tengah bertengkar dengannya, lantas ibu Claudia sekaligus istrinya yang kehilangan kepercayaan pada sang suami, seorang polisi baik yang kesepian, mantan jawara What Do Kids Now yang masih terbawa rasa ketakcintaan orang tua pada dirinya hingga ia tua, lelaki tua yang terbaring menunggu ajal yang merasa bersalah atas kematian istri pertamanya dan anak lelakinya—seorang penulis buku panduan sukses untuk laki-laki—yang memendam benci pada ayahnya, perawat kesepian, istri kedua ayahnya yang menyadari kesalahan-kesalahannya pada si lelaki tua di detik-detik terakirnya—maafkan saya yang tak terbiasa menulis nama-nama tokoh apalagi pemerannya; ini semata-mata agar anda googling sendiri atau anda mencari filmnya lantas menontonnya sendiri. Lagipula tulisan ini adanya di blog pribadi sehingga suka-suka saya mau nulis seperti apa.
Setiap tokoh memiliki problem sendiri-sendiri yang diakibatkan oleh ketersituasian tertentu mereka. Pada pencarian diri dalam problem-problem itu, pada tikungan jalan tertentu mereka saling berpapasan tanpa saling mengenal, terkadang mereka berpapasan dan bergandengan tangan. Film ini pada akirnya sepertinya hendak mengelaborasi bahwa pada diri setiap manusia selalu saja ada problem; entah dalam rupa seperti apa. Problem-problem itu lantas membawa tokoh-tokoh yang diceritakan di sini berada dalam moment putus asa, kehilangan harapan, lantas terjebak pada mencari solusi gampang yang terkesan seperti berlari dari problem itu. Namun, demikianlah. Malam semakin larut, silahkan menonton atau mengingat kembali apa yang telah kau tonton dari besutan Paul Thomas Anderson bertarik 1999 ini.
Harusnya saya tak lupa untuk menyinggung sedikit perihal scene terakir di mana terjadi hujan katak di tempat itu. Hujan katak ini terjadi ketika tokoh-tokoh itu berada dalam moment ketakpercayaan diri yang sungguh akibat problem mereka masing-masing. Dan mereka tengah dalam proses menjalankan solusi yang seperti telah disebutkan di paragraf sebelumnya; Linda yang sedang menenggak obat-obatan di mobilnya, Jim yang baru pulang dari kencannya dengan Claudia, Claudia yang menangisi nasib sambil piatu di apartemennya, Frank sedang mengeluarkan segala kebencian dan dendam terpendam atas ayahnya disaksikan oleh Phil sang perawat kesepian, ect. Saat itulah tiba-tiba hujan katak terjadi dan setelah berakir hujan katak itu, segala problem terpecahkan dan hidup menjadi bahagia untuk semua tokoh tersebut. Saya teringat formula deus ex machine dalam drama klasik Erupidies kalau tak salah. Demi memecahkan problem-problem itu, lautan manusia yang tak saling mengenal dan tidak terjalin hubungannya dengan baik ini butuh sesuatu yang lain, semacam mana dari surga untuk memecahkannya. Menghadapi hal-hal demikian lantas membutuhkan sesuatu yang lain yang jatuh dari entah, manusia seakan kehilangan otaknya dan tubuhnya untuk memecahkan itu sendiri dari dirinya dan kehidupannya.***
*Catatan: Dipublikasikan pertama kali di blog pribadi yang lama pada, 26 Januari 2011.