Seorang Caleg menghamili seorang gadis SMP. Beberapa kejap saya tertegun dan selanjutnya memaki diri. Betapa tidak? Dengan tertegun saya seolah-olah tidak tahu kejadian-kejadian yang sering diperbincangkan. Entah benar, entah sekadar hisapan jempol, atau sekadar perang-perangan di media sosial, baiklah kita ambil contoh itu sebagai ilustrasi. Hubungan rakyat jelata dan elite politik barangkali memang seperti itu; ada jarak yang jauh di antara keduanya. Ada penindasan yang dibuat seakan-akan normal.
Maka berita kedua juga berita biasa-biasa saja. Ketika kampanye mulai memasuki tahap sibuk-sibuknya, TNI di Jambi membunuh 5 warga yang mempertahankan tanahnya dari perusahaan perkebunan sawit. Apa reaksi warga media sosial kita? Sibuk mengutuki seorang penggemar senapan yang menembaki kucing.
Jika dipikir-pikir, berita-berita dan kejadian-kejadian akhir-akhir ini bikin kita semua ciut hati. Tak pandang bulu ketakutan yang ditimbulkan akhir-akhir ini; dari pemerkosaan di angkot yang marak terjadi beberapa waktu lalu, pertarungan warga dan perusahaan, ugal-ugalannya para pejabat dan sanak familinya, rusaknya lingkungan, para pembunuh psikopat, krisis ekonomi, pendapatan yang terus saja kurang di hadapan dewa konsumsi, pelarangan diskusi, dll. Jika kita terus merinci barangkali semalam pun tak selesai. Belum lagi ditambah kisah-kisah yang jika dipikirkan serius bisa membuat kita jadi skizofrenik; tentara pasukan USA yang bertambah di Australia, bahaya perang dunia III, dst., dst. Entah dari dalam negeri entah dari luar negeri.
Seiring pemilu di ujung leher, semua ketakutan itu lantas campur aduk. Politisi mengusulkan Golput dipidana, peraturan pencoblosan ditambah-tambah sana sini, dll, dll. Semoga hanya perasaan saya saja, tetapi seolah-olah kita dibuat gentar dan takut dengan kehidupan kita menjelang Pemilu ini. Tetapi barangkali juga sekadar kebetulan. Apa yang dipikirkan orang-orang ketika keadaan bahaya dan serba darurat ini nampak dalam kehidupan sehari-hari? Tak lain dan tak bukan: messiah, ratu adil, sang penyelamat yang didoakan agar lekas-lekas tiba. Tak heran, bangsa kita memang dilahirkan di dunia yang serba berpengharapan. Cerita tentang Ratu Adil dan sejenisnya sudah lama hinggap pada kita, entah sejak kapan. Beberapa boleh mencela, sinis, dan tertawa mencemooh, tetapi para politisi (katakanlah para Caleg) tahu betul akan hal ini.
Keresahan-keresahan kita dan serba darurat hidup kita yang mengemuka akhir-akhir ini dimanfaatkan betul oleh politisi. Lihatlah saja ungkapan manis penuh janji yang berhamparan di iklan-iklan kampanye, spanduk, dan segala jenis publikasi lainnya. Itulah ekspresi pentasbihan diri sebagai Ratu Adil. Yang sedang dimanfaatkan tak lain tak bukan ialah centrang-perenangnya hidup kita. Memang terkadang menggelikan. Tetapi apakah memang menggelikan untuk semua orang? Tentu tidak.
Jika para Caleg mencoba memoles dirinya bak Ratu Adil, tentu saja mereka Ratu Adil kelas coro. Big Boss-nya Ratu Adil tentu saja para calon presiden. Apa yang ditampilkan oleh para calon presiden ini sebagai jalan ke luar dari carut marut kehidupan kita sungguh luar biasa. Anda hanya perlu menyaksikan iklan mereka di televisi dan tampaklah apa yang mereka janjikan. Pembaptisan diri mereka sebagai Ratu Adil tentu lebih canggih dari para Caleg.
Para Ratu Adil kelas coro nantinya akan merapatkan dirinya pada Sang Big Bos Ratu Adil. Tentu yang saya maksud bukan sekadar satu partai, tetapi bagaimana para Caleg ini menampilkan image dirinya. Tak sedikit kita temukan para caleg yang dalam publikasi mereka menampilkan wajah mereka dengan wajah salah satu calon presiden. Bahkan lebih jauh, berpose bersama foto Soeharto—atau jualan Sukarno.
Sampai di sini bisalah kita katakan, mereka-mereka yang bertarung dalam Pemilu nanti menjadikan kecarut-marutan hidup sebagai legitimasi kehadiran mereka dalam Pemilu. Katakanlah, keserba-daruratan hidup dan serba tak amannya hidup kita jadi fondasi Pemilu.
Maka di Pemilu bertemulah masa yang resah dan gelisah menunggu nasib baik hidupnya dengan janji-janji manis para ‘ratu adil-ratu adilan’ akan masa depan yang gilang gemilang. Barangkali masalahnya jadi lebih sederhana jika yang mendaku Ratu Adil hanya satu individu saja. Persoalannya menjadi berbeda ketika begitu banyak yang mendaku sebagai kunci ke masa depan yang lebih baik.
Di tengah tawaran yang begitu banyak masyarakat pun kebingungan dan serba salah. Situasinya mungkin sama seperti kebingungan menghadapi satu produk dari beragam merek padahal fungsi mereka sama saja. Jika produk-produk itu hanya untuk kebersihan kulit atau menghilangkan dahaga, maka produk di pemilu ini fungsinya untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Maka mereka yang memilih adalah mereka yang berada dalam katakanlah perjudian masa depan.
Andaikan saja Pemilu sudah berlalu dan yang terpilih sudah duduk di tempat yang dipilihkan untuknya. Politik borjuis adalah politik dengan logika representasi di mana tercipta jurang antara masyarakat dan elite politik. Jarak ini tak perlu jauh kita cari. Di jalan raya pun, ketika pejabat lewat, jarak itu mengemuka dengan begitu vulgarnya. Memang sekarang makin banyak pejabat yang suka blusukan pasca Jokowi hadir di hadapan publik. Tapi dalam blusukan itu pun masih tersisa jarak bukan? Kenapa jika Jokowi yang blusukan menjadi sesuatu yang membahagiakan sedangkan setiap hari kita ini memang hidupnya blusukan?
Jarak ini mencipta fatamorgana dalam aktivitas berpolitik masyarakat. Tadinya ketika memasuki TPS, ia membawa masa depannya dipertaruhkan. Andaikan yang dipilihnya menang, ia sesaat ikut bahagia. Namun ketika jarak itu jadi nyata, tindakan politiknya jadi sia-sia, menjelma fatamorgana. Hidup berjalan lagi seperti sedia kala, kesulitan-kesulitan hidup muncul lagi, keresahan-keresahan jiwa menampak lagi. Kita seolah-olah tak bisa lepas dari kungkungan hidup penuh penderitaan. Baiklah, saya kutap-kutip orang Budha; masyarakat kita tak pernah bisa moksa dan samsara yang mengikat nasib buruknya di dunia adalah politik representasi. Dan masyarakat, kita semua, sudah dari zaman nenek moyang kita dibiasakan dan ditempa untuk selalu panik sekaligus saleh dalam berbagai situasi.***
*Penulis berterima kasih pada Anom Astika atas diskusi yang lantas berbuah tulisan a la kadarnya ini.
** Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoPROGRESS, 08 Maret 2014.