INI SEBUAH sebuah cerita usil yang terbersit seketika di kepala saya ketika tersesat di perpustakaan sebuah perguruan tinggi.
***
Akhir-akhir ini, saya berkesempatan menyambangi perpustakaan beberapa kampus negeri dan swasta. Karena tugas dari sebuah institusi, saya harus membongkar-bangkir karya ilmiah para mahasiswa di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Beberapa judul menarik hati. Yang masih teringat misalnya, Realisme Sosialis Seni Lukis Lekra, Novel Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer: Telaah Materialisme Historis Menurut Terry Eagleton, Unsur-unsur Intrinsik Student Hijo dan masih banyak lagi. Yah, Anda tentu paham yang saya maksudkan; banyak skripsi dengan tema dan bahkan dari judulnya pun cukup ‘kiri.’
Tentu berbesar-hatilah saya; bahwasanya banyak orang, setidaknya di kalangan mahasiswa, yang tidak lagi terpenjara kepalanya oleh propagAnda Orba. Dan memang, pasca reformasi mitos-mitos yang dibangun Orba perlahan-lahan runtuh walau tidak seutuhnya, bahkan jauh lebih banyak yang bertahan. Bukan pula berarti sebelum runtuhnya Orba tak ada karya ilmiah yang mengangkat tema-tema demikian. Kita tahu itu. Namun, jumlahnya tentu saja lebih sedikit dari yang muncul sekarang.
Justru yang lebih menggelitik benak saya adalah bagaimana ketertarikan mereka untuk mengangkat perkara ‘kiri’ dalam karya ilmiah mereka? Ini pun masih saya kesampingkan perkara sadar atau tidak sadarnya mereka bahwa yang mereka angkat adalah ‘kiri.’ Tentu alasan-alasan klasik tak perlu saya permasalahakan lagi. Semisal, terinspirasi dari dosen, terinspirasi dari perkawanannya dengan kaum pergerakan, atau memang dia adalah mahasiswa-cum aktivis. Yang hendak saya utak-atik adalah mahasiswa yang tidak terinspsirasi dari hal-hal di atas. Setidaknya, novel Semusim dan Semusim Lagi (2013) mengatakan pada saya kemungkinan adanya generasi Indonesia masa kini yang demikian; generasi yang tidak terlalu punya interaksi langsung dengan dunia sekitarnya, tetapi menyentuh dunia yang lebih luas melalui ‘perangkat teknologi’ yang mumpuni.
***
Dengan kemudahan teknologi dan perselancaran melalui papan selancar besar Mbah Google, kita tentu tak perlu berpusing untuk berpikir dari mana seseorang membaca ini dan itu. Seorang mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang) bisa saja menulis paper tentang Revolusi Oktober Rusia 1917, tanpa perlu ia bersilang tatap atau bersilang kata dengan seorang aktivis kiri mana pun di sekitarnya. Cukup berselancar bersama Google dan ia bisa menemukan segala referensi yang bisa membuatnya mampu menyelesaikan tugas akhirnya dengan benar. Tentu saja dengan metode yang juga oke, yang bolehlah didapatkannya dari kelas dan barangkali juga dari Google.
Dia, sebut saja Si Mahasiswa A, barangkali akan membayangkan Revolusi Oktober sebagai sesuatu yang seksi, jauh sungguh keberadaannya tanpa mampu digapainya, sesuatu yang menurutnya sebanding dengan mitos Cawan Suci bagi umat Kristen abad pertengahan. Tak ada bayangan dalam kepalanya bahwa berita tentang Revolusi Oktober tersebut menyulut pemberontakan di Hindia BelAnda yang berujung pada diusirnya Henk Sneevliet. Tak ada. Dia membayangkan Revolusi itu sebagai sesuatu yang jauh, sungguh terlepas dari kemacetan jalanan yang dihadapinya ketika ke kampus. Dan ia menulis karya ilmiahnya itu dengan sangat baik.
Ia barangkali memang tak tahu kalau di sekitarnya, di negaranya, bahkan di kotanya, ada para aktivis penerus marxisme leninisme yang terus getol nan setia berjuang di ruas kiri jalan. Kita perlu maklum juga akan hal ini. Konon kabarnya, google akan menyesuaikan entri-entri temuannya dengan kebiasaan perselancaran internet kita. Jika benar konon tersebut, niscaya ketika mahasiswa A mengetik kata Lenin atau marxism atau marxism leninism, ia tak akan disuguhkan sebuah link dalam negeri, semisal IndoPROGRESS ini, di laman-laman awal pencarian. Terlepas dari memang kata kuncinya dalam bahasa Inggris. Entah bagaimana caranya, google lantas menghantarkan dia pada referensi-referensi tentang Revolusi tersebut yang satu pun tidak membawanya ke tanah airnya sendiri. Cukup memprihatinkan memang.
***
Demikianlah. Maka orang seperti saya, tentu pula Anda, barangkali akan tercengang membaca karya ilmiah mahasiswa A ini. Penasaran, kita barangkali berusaha berkenalan dan bercakap-cakap dengannya. Ketika bercakap-cakap itulah saya, dan tentu Anda, barangkali ‘ilfil’ dengannya. Betapa tidak! Dia, si mahasiswa A yang menulis Revolusi Oktober dengan baik itu, bahkan tidak tahu kalau masih ada partai-partai kiri yang mengusung marxisme-leninisme di negeri khatulistiwa ini. Dia bahkan tak tahu kalau buruh terus saja dan setiap tahun berdemonstrasi menuntut haknya. Ketika ditanyakan tentang ketak-tahuannya tersebut, dengan polos si mahasiswa A (atau lebih baik mahasiswi A) menjawab, ‘maaf Bang, gua ga pernah nonton tivi dalam negeri dan baca koran.’
Saya, entah jika Anda berbeda, pasti akan serta merta memaki anak ini. Atau setidaknya di dalam kepala saya akan ada bunyi ‘zzzzzz…..’ yang panjang lantaran begitu dongkol dengan ketaktahuannya ini. Betapa tidak! Menulis tentang Revolusi Oktober dengan begitu baik tetapi tidak tahu tentang perjuangan emansipatoris di negeri sendiri, di depan batang hidungnya sendiri. Tetapi juga terkadang terbersit tanya di dalam hati, ‘apakah memang dia harus tahu tentang semua itu?’
Tanpa bersentuhan dengan gerakan kiri atau orang kiri seperti saya, Si Mahasiswa A itu sudah berhasil membuat sebuah karya ilmiah yang kiri dengan baik. Bahkan, ketika membaca dan menuliskan tentang Revolusi Oktober, di dalam kepalanya sama sekali tak ada terpikirkan tentang demonstrasi buruh atau bahkan perkara penulisan kreatif untuk sebuah jurnal online progresif seperti ini. Menghadapi kasus demikian, apakah yang harus saya, atau Anda, lakukan? Membiarkan karya ilmiahnya tentang Revolusi Oktober yang cukup bagus itu teronggok tak berdaya di perpustakaan kampusnya ataukah kita minta saja padanya satu eksemplar dan kita bawa pulang untuk dibaca?***
*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Rubrik Oase IndoPROGRESS, 7 September 2013.