Indonesia dikenal sungguh sebagai negara agraris sejak zaman dahulu kala. Ini disebabkan oleh penduduknya yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Maka, Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara industri. Secara banal hal ini bisa pula dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang belum modern—apalagi bila pertaniannya pun masih menggunakan cara-cara tradisional—sedangkan negara-negara industri lain adalah negara-negara yang modern.
Terkadang pemikiran seperti ini membuat kita minder diri dan kurang percaya diri menghadapi bangsa lain dalam arus pergaulan globalisasi saat ini. Maka, pembangunan Indonesia menuju yang modern terus digalakan saat ini, tanpa dengan kritis dipikirkan terlebih dahulu. Alhasis, banyak problem—seperti juga dunia modern memang melahirkan banyak problem kehidupan manusia—timbul karenannya.
Hal itu muncul pula pada fenomena yang dihadapapi desa-desa Indonesia saat ini yakni kegamangannya antara dunia tradisionalnya di satu pihak vis a vis tuntutan globalisasi saat ini. Salah satu yang paling kentara dan bisa kita lihat dengan kasat mata adalah masuknya televisi hampir di seluruh pelosok-pelosok desa Indonesia. Dengan media inilah tentu saja, seluruh isi dunia menjadi satu, seperti yang pernah diramalkan Marshal McLuchan ketika televisi mulai muncul di era 1950-an di Amerika Serikat[1].
Tapi itu hanya sekadar salah satu contoh. Globalisai yang tengah terjadi sekarang adalah sebuah proses perubahan yang tengah dihadapi masyarakat sama seperti proses modernisasi bangsa Indonesia yang terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Tulisan Frans Hüsken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, adalah salah satu tulisan yang menggambarkan dengan baik sekali sejarah perjalanan perubahan masyarakat Jawa, dari yang tradisional sekali sampai pada pola-pola yang modern sekali. Mulai dari campur tangan pemerintah kolonial hingga kebijakan-kebijakan Orde Baru adalah hal-hal yang mempengaruhi perubahan masyarakat desa di Jawa yang bercirikan agraris.
Tulisan ini hampir bernada sama dengan film Denias, Senandung di Atas Awan (selanjutnya ditulis Denias saja) arahan sutradara John de Rantau dan diproduksi pada tahun 2006. Denias menceritakan perjuangan anak desa Papua bernama Denias demi mendapatkan pendidikan. Film ini, seperti yang dikatakan juga oleh banyak orang, adalah film yang berisi kritikan akan lemahnya pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Kebutuhan akan pendididikan sendiri sebenarnya adalah sebuah perubahan masyarakata dari yang tradisional menuju modern. Seperti yang diutarakan oleh Everett Reimer, pendidikan kita sekarang adalah sebuah produk dunia modern[2].
Bagaiamana seorang anak Papua yang sungguh dekat dengan alam, begitu terpukau dengan pendidikan modern, lantaran dimasukan ide tentang pendidikan oleh orang kota (orang modern) dalam diri Maleo, seorang guru tentara. Namun sebagai manusia Papua yang alamnya mulai dimasuki oleh kepentingan-kepentingan modern dan digerogoti hantu-hantu globalisasi, pendidikan memang sangat dibutuhkan di sini. Tetapi mungkin harus lebih dilihat sebagai sebuah pendidikan yang membebaskan a la Paulo Freire. Dengan menggunakan imajinasi sosiologis[3], kita bisa mencandrakan bagaimana kesenjangan pendidikan dan kesulitan menemukan pendidikan yang layak adalah buah dari sebuah proses ketidaksetaraan yang diakibatkan modernisasi.
Dua permasalahan perubahan masyarakat dari dua korpus data itu akan berusaha dibahas dalam tulisan ini dengan perspektif sosiologis mengenai Perubahan Sosial.
Masyarakat Kita, Masyarakat Petani
Dalam tulisan Frans Hüsken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, sudah terasalah pada kita aroma perubahan masyarakat itu. Dari judul tulisannya pun, bisa kita simpulkan bahwa perubahan zaman yang tengah terjadi itulah yang akan menggoncangkan tatanan kehidupan masyarakat tradisional.
Akibat masuknya kolonialis Belanda di Jawa, mau tak mau kehidupan masyarakatnya pun perlahan tapi pasti memasuki sebuah fase perubahan sosial. Dimulai ketika Du Bus melihat pertanian Jawa sebagai suatu bentuk pertanian yang mandek dan karena itu maka butuh campur tangan dari para investor dari Belanda[4]. Alasan Du Bus, eksploitasi Eropa akan membawa keuntungan bagi penduduk pribumi. Pada akhir abad IX, pertumbuhan penduduk di Jawa relatif sangat cepat dan pada abad XX pertumbuhan yang pesat ini berubah menjadi masalah kelebihan penduduk. Hal ini memunculkan pandangan bahwa para penduduk Jawa itu terdiri dari para petani gurem yang telah dimiskinkan.
Dalam tulisan ini pun Husken mengutip Clifford Geertz, di mana Geertz mau diwawancarai mengenai petani gurem di pedalaman Jawa itu adalah petani gurem yang itu penduduk Hindia Belanda. Jadi involusi pertanian adalah suatu upaya yang besar di surga. Geertz sendiri memandang perubahan itu sebagai sebuah sikap atas dilema demografisnya.
Film Denias seperti yang sudah diungkapkan di atas adalah sebuah film produksi tahun 2006. Film ini bercerita tentang perjalanan Denias mencari sekolah yang lebih layak untuknya. Digambarkan bagaimana dari tempat tinggalnya yang jauh di pelosok itu, ia harus berjalan-jalan bermil jauhnya sampai di Di dalam film ibu gembala mengunjungi kakak Denias di kampung Banti dengan hanya berjalan beberapa meter menuju pintu kampung. Banti yang sebenarnya hanya dapat dijangkau setelah melewati sebuah jembatan gantung yang melintasi sebuah sungai besar.
Di dalam film Denias dan Enos dapat menyusup dengan mudahnya ke kota dengan hanya bersembunyi di bak belakang mobil. Dalam keadaan sebenarnya petugas keamanan PT. Freeport Indonesia (lokasi dimana adegan ini diambil) melakukan pengawasan ekstra ketat termasuk mencek setiap bak belakang mobil bahkan dengan menggunakan detektor anti bom.
Beberapa Teorli Perubahan Masyarakat
Beberapa teori modern mengenai perubahan sosial:
Teori Modernisasi:
Teori ini hendak menggambarkan bahwa negara-negara berkembang akan mengikuti jejak negara maju melalui proses modernisasinya sehingga dengan demikian negara berkembang bisa sejajar dan take off sama seperti negara maju.
Teori Ketergantungan:
Menurut teori yang didasarkan pada negara-negara Amerika Latin ini, perkembangannya tidak merata; negara industri berada pada posisi yang dominan sedangkan negara dunia ketiga tetap saja dan semakin bergantung pada negara industri.
Teori Sistem Dunia:
Menurut teori dari Immanuel Wallerstein, perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi perifesi, dan negara-negara perifesi. Negara inti adalah bangsa-bangsa Eropa Barat yang sejak abad XVI sudah memulai industrialisasi, sedangkan negara perifesi adalah negara Eropa di selatan yang melakukan hubungan dagang secara aktif. Sedangkan negara perifesi adalah bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang merupakan kawasan ekstrem karena berada di luar jaringan perdagangan negara-negara.[5]
Selain itu, ada juga teori perubahan sosial lain yang menarik untuk membahas permasalahan kita saat ini adalah kapitalisme, modernisasi, dan industrialisasi.[6] Dunia sosial dari paham ini berubah dari sebuah wilayah hidup pribadi (gemeinschaft) kepada wilayah hidup mesin (gesellschaft). Menurut Marx, perubahan ini terjadi karena adanya kapitalisme. Di sini manusia dicerabut dari kehidupan pribadi, natural dan intimnya dan dijejalkan dalam kehidupan mesin-mesin oleh para pemilik produksi (kaun kapitalis).
Indonesia yang Tengah Berubah
Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 dan film Denias adalah dua gambaran dan data serta fakta[7]. Sejak sistem modal masuk ke dalam dunia argikultur Indonesia yang digambarkan oleh Frans Hüsken, sejak itulah dimulai proses pemodernisasian. Sesuai dengan apa yang dikatakan dalam tulisan itu bahwa Hindia Belanda harus belajar dari Belanda.
Selanjutnya, masih dalam kesinambungan gerakan perubahan sosial ini, Hindia Belanda mengalami ledakan penduduk perkotaan besar di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di mana ia menjadi sebuah permasalahan besar. Proses produksi dan konsumsi mulai mendorong eksploitasi lingkungan yang tidak kepalang. Eksploitasi ini mengandung pula ketidak-adilan, menyerap sumber daya alam dari tempat jauh, dan pada saat yang sama menyebarkan pengetahuan juga ke sana. Setelah menjadi Indonesia, sesudah Perang Dunia ke-2, terjadi lagi perpindahan penduduk dari desa ke kota besar-besaran, sehingga Jakarta bahkan mengalahkan Surabaya, yang sebelumnya lebih besar dalam hal jumlah penduduk.
Modernisasi, kapitalisme dan industrialisasi mengganggu kehidupan tradisional warga Papua. Kesenjangan sosial akibat modal uang yang dimiliki para pekerja Freeport dikonfrontasikan dengan keseharian mereka yang belum terlalu mengenal uang. Keterpukauan masyarakat tradisional atas segala hal yang berbau kota besar (kota adalah lambang kehidupan modern), mengakibatkan hal-hal baru menjadi permasalahan mereka juga kini. Permasalahan orang-orang modern yang datang tanpa malu-malu ke daerah mereka, ditransferkan begitu saja dengan paksa ke kepala mereka. Lihatlah bagaimana Denias dan kawan-kawan begitu terpukau dengan Helikopter serta mkakanan instan pemberian Malo. Lihatlah ketika tentara yang merangkap Pak Guru itu mengeluh pada orang kota lain akan anak-anak sekolahnya yang tak berseragam. Bukankah ini sebuah pandangan yang paskakolonialis[8] sekali?
Sebagai warga dunia, Indonesia tentu saja tidak boleh lari dari kenyataan bahwa dunia secara global tengah berubah. Tinggal sekarang, bagaimana kita menyiapkan diri dan masuk ke dalam perubahan itu dengan kuat tanpa bisa tergerus hilang oleh zaman. Maka di sini, yang ditakutkan adalah terjadinya Evolusi Kultur[9], di mana sebuah kebudayaan warga tertentu bisa hilang tanpa bekas dilindas zaman yang berubah.
Penutup
Perubahan zaman adalah sesuatu yang niscaya. Bolehlah di sini kita mengutip Herakleitos, seorang filsuf pra sokratik yang mengatakan bahwa semuanya berubah. Pantha Rei. Perkembangan dunia terus terjadi di sekitar kita. Bahkan, manusia tak kuasa lagi sekarang untuk mengikutinya, meladeninya. Bayangkan, hampir seminggu sekali, alat elektronik itu berubah. Hari ini kita bangga dengan laptop imut seukuran satu setengah jengkal tangan orang dewasa, tiga hari lagi kita sudah disuguhkan Bluebery, sebuah produk baru dari USA yang memudahkan hampir semua kegiatan elektronik kita, menyatukan semua kemampuan komputer, telepon, fax, video, kamera perekam, music player, dalam sebuah perangkat kecil saja.
Dunia terus berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Seperti halnya desa-desa Jawa yang terus berubah sampai saat ini, semua tempat di Indonesia ini pun tengah berubah. Maka, problema Denias akan pendidikannya itu harus diakui sebagai sesuatu yang krusial. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah dan perangkatnya serta para stake holder di daerah Waimena, Papua bisa bekerja sama, untuk mencari solusi pendidikan yang baik sampai ke seluruh pelosok Papua, ke seluruh pelosok Indonesia, agar anak-anak Indonesia siap akan segala perubahan yang akan datang menerpa mereka. Sehingga, mereka tidak tergerus arus zaman. Atau jangan-jangan memang kita dibodohkan?
Daftar Referensi
Henslin, James M, 2006, Essentials of Sociology: A Down-To-Earth Approach. Sixth Edition, Boston: Allyn and Bacon Pearson.
Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi di Jawa 1830-1980, Jakarta: Grasindo.
Loomba, Ania, 2003, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terjemahan), Jogjakarta: Bentang Budaya.
Palmer, Joy, A (ed), 2006, Fifty Modern Thinkers on Education, Jogjakarta: IRCISoD.
Reimer, Everett, 2003, Matinya Sekolah, (terjemahan), Jogjakarta: Hanindita.
Sunarto, Kamanto, 2004, Pengantar Sosiologi; Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Film: Denias, Senandung di Atas Awan.
Catatan Belakang
[1] John Storey (2004), Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, hal. 25.
[2] Everett Reimer, (2003) Matinya Sekolah, hal. viii.
[3] Joy A. Palmer –ed. (2006) Fifty Modern Thinkers on Education, hal. 232-240.
[4] Frans Hüsken (1998), Masyarakat Dalam Perubahan Zaman.
[5] Kamanto Sunarto (2004), Pengantar Sosiologi; Edisi Kedua hal 148.
[6] James M Henslin, (2006), Essentials of Sociology: A Down-To-Earth Approach. Sixth Edition, hal 409.
[7] Berdasarkan pengakuan (keterangan awal film) di film ini, dinyatakan bahwa Denias diangkat dari sebuah kisah nyata.
[8] Pandangan yang merendahkan yang muncul dari pihak yang hendak/sudah meaklukan suatu tempat. Lihat lebih jauh dalam “Kolonialisme/Pascakolonialisme”, Ania Loomba, Bentang, 2003.
[9] Ibid, James M Henslin, hal 409.
Catatan: Tulisan ini berasal dari tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar di Program Sarjana STF Driyarkara, 2008.