(Sebuah Pembacaan dari The Fundamental Concepts of Metaphysics; Bab tentang Justifying the Characterization of Comprehensive Questioning Concerning World, Finitude, Individuation as Metaphysics. Origin and History of the Word ‘Metaphysics’)
Dalam tulisan ini Heidegger mencoba memeriksa asal dan keaslian makna dari kata metafisika. Metafisika yang dianggap sejajar atau disamakan dengan filsafat itu sendiri; metafisika yang dianggap lebih tinggi dari disiplin-disiplin filsafat lainnya. Kenapa metafisika mendapatkan tempat yang istimewa dalam filsafat? Alasan atas posisi yang istimewa ini dicari Heidegger dengan menelusuri sejarah dan makna kata metafisika—bagaimana awal mulanya, perubahan-perubahannya. Hal ini penting karena seperti dikatakannya;
Yet in so doing we are not taking the essence of philosophy from this word ‘metaphysics’. On the contrary, we are first giving this word its meaning on the basis of an understanding of philosophy.
Bagi Heidegger, menelusuri sejarah kata dan maknanya penting. Baginya juga, bahasa adalah berpikir itu sendiri; Bahasa adalah rumah ada. Pemahaman atas ‘metafisika’ tidak diambil dari makna kata itu sendiri melainkan diberikan ke padanya dari sebuah pemahaman filosofis.
Kata metafisika bukanlah sebuah kata yang asli; artinya ia adalah sebuah kata yang terbentuk ‘kemudian’. Posisi sebuah kata sebagai kata primordial penting karena dari maknanya menunjukan sebuah pengalaman manusia yang asli dan esensial; kata itu adalah pengucapan atas pengalaman. Misalnya ketika kita menggunakan kata (dalam bahasa Indonesia) ‘habis’. Makna ‘habis’ sendiri berbeda misalnya dengan kata ‘penghabisan’. Tetapi kasus kata metafisika lebih dari itu; bukan sekadar penambahan awalan dan akhiran. Kata metafisika berasal dari bahasa Yunani μετά τά φυστκά (meta ta phusika), atau lengkapnya τά μετά τά φυστκά (ta meta ta phusika).
Φυστς (phusis) berarti “bertumbuh”, “pertumbuhan”, dengan pemahaman sebagai sesuatu yang memaksa masuk ke dalam pengalaman manusia yang paling mendasar. Pertumbuhan di sini dipahami sebagai,
growth as this occurring in the midst of, and permeated by, the changing of the seasons, in the midst of the alternation of day and night, in the midst of the wandering of the stars, of storms and weather and the raging of the elements [hal. 25].
Lalu, Heidegger menyimpulkan makna itu dengan sebuah kalimat; ‘self-forming prevailing of beings as a whole’. Manusia telah mengalami ‘keumuman dari adaan secara kseluruhan’ ini yang dialaminya secara seketika dan dalam keterlilitannya dengan benda-benda di dalam dirinya dan di dalam sesiapa yang seperti dia, sesiapa yang bersamanya dalam jalan ini. Jadi, bisa kita katakan, ‘prevailing of beings as a whole’ ini adalah kata lain dari being. Pengalaman-pengalaman manusia, termasuk the general prevailing of beings ini, yang mana meliputi di dalamnya takdir dan sejarah manusia.
Kata φυστς (phusis) seperti yang digunakan oleh para filsuf antik dipahami sebagai keseluruhan yang berlaku melalui manusia pada dirinya sendiri, sebuah keberlakuan yang mana manusia tak punya kekuatan atasnya, tetapi yang mana justru berlaku melalui dan mengelilinginya. Hal ini selalu dibicarakan manusia. Ini adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami oleh ‘manusia’. Heidegger mengatakan demikian:
Whatever he understands—however enigmatic and obscure it may be to him in its details—he understands it; it nears him, sustains and overwhelms him as that which is: φυστς that which prevails, beings, beings as a whole.
λόγος (logos) sebagai Perenggutan
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana proses ketersingkapan dari φυστς (phusis), yang berlaku dari ‘adaan secara keseluruhan’, dari ketersembunyiannya. Untuk eksis sebagai manusia, manusia berusaha untuk mengungkapkan apa pun yang ‘berlaku’ ini untuk bisa diekspresikan secara bebas. Di sini kita akan bertemu dengan dua kata dalam bahasa Yunani yakni Spoken out dan speaking. Kedua kata ini berbeda dalam penggunaannya oleh orang Yunani. λέγειν untuk menyebutkan speaking dan λόγος untuk keberlakuan yang telah diekspresikan. Dengan demikian, esensi dari keberlakuan adaan ini adalah sejauh manusia ada di sana bersama mereka, maka mereka akan bisa terekspresikan. Sebagai sebuah keberlakuan umum dari adaan, sudah termasuk di dalamnya pengekspresiannya.
Heidegger mengutip ucapan Herakleitos, “The master, whose Oracle is at Delphi, neither speaks out, nor does he conceal, but gives a sign [signifies].” Kutipan ini menurut Heidegger menjelaskan konsep dari kata λόγος. Untuk itu harus diketahui pula apa lawan kata dari kata ini. Yang dari kutipan itu disimpulkan Heidegger sebagai ‘merahasiakan dan di dalam perahasiaan’. Maka selanjutnya makna dari kata λέγειν adalah ‘mengangkat ke luar dari pengrahasiaannya’. Maka di dalam kata λόγος (logos) apa yang tersembunyi itu sudah diangkat dan termanifestasikan. Namun demikian, seperti juga dari kutipan Herakleitos, apa yang telah tersingkapkan itu, “keumuman dari hal” itu, akan berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Dengan demikian, λόγος (logos) adalah φυστς (phusis) yang selalu berusaha untuk menyembunyikan dirinya sendiri yang telah tersingkapkan.
λόγος (logos) sebagai Pengungkapan dari Apa yang Tak Terahasiakan. Άληθεια (aletheia/truth) sebagai Sesuatu yang Tercuri, Sesuatu yang Harus Disobek dari Ketersembunyiannya
Masih dalam selancar bahasa Yunani kuno dan masih dalam fragmen Herakleitos, yakni:
The highest that man has in his power is to meditate [upon the whole], and wisdom [lucidity] is to say and to do what is unconcealed as unconcealed, in accordance with the prevailing of things, listening out for them.
Dari sini, Heidegger mengatakan bahwa dapat dipahami dengan baik apa yang dimaksudkan oleh filsafat jaman antik dari φύσις (phusis); keberlakuan dari apa yang berlaku (keberlakuan secara konstan dan terjadi secara frekuensi tertentu; dari apa yang berlaku secara konstan dan dengan frekuensi yang sering itu}; ‘the prevailing of what prevails’; λόγος (logos), kata, yang mengambil keberlakuan ini dari kerahasiaanya. Jadi, dengan kata lain filsafat adalah permenungan atas ‘keberlakuan dari adaan’ (prevailing of beings), atas φύσις (keberlakuan dari apa yang berlaku), dalam rangka untuk mengekspresikan φύσις (phusis) dalam λόγος (logos).
Aristoteles selanjutnya menggunakan kata φύσιολόγοι (physiologists) untuk menyebut para filsuf antik Yunani yakni mereka yang bertanya tentang beings as a whole, sebutan untuk mereka yang membicarakan/mengekspresikan φύσις (phusis) dan mengungkapkannya. Untuk memahami φύσις (phusis) dengan baik harus dipahami kata Yunani άλήθεια yang bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak-dirahasiakan. Dengan huruf ά- sebagai sebuah awalan yang bisa dipahami dalam bahasa Jerman sebagai un-. Jadi kebenaran bagi Orang Yunani adalah sesuatu yang harus dikoyakan dari persembunyiannya, sesuatu yang harus dicuri dari sana, di mana φύσις (phusis) sendiri berusaha menyembunyikan dirinya sekuat tenaga. Truth is innermost confrontation of the essence of man with the whole of beings themselves.
Kita memiliki di sini tiga kata kunci Yunani yakni φύσις (phusis), λόγος (logos), dan άλήθεια (aletheia, truth/tak-terahasiakan). Jadi, ada phusis sebagai keberlakuan dari ‘beings as a whole, yang keterkoyakan dari persembunyiannya adalah logos. Logos ini adalah kebenaran, sesuatu yang tak tersembunyi lagi. Manusia adalah bagian dari phusis—dalam kaitannya dengan beings yang lain. Logos adalah pengungkapan atas prevailing of beings as a whole; di mana dengan mengungkapkan itu maka manusia menemukan kekuatannya yang paling ‘tinggi’; manusia sebagai makhluk Dasein; di mana pengungkapan itu adalah membuka sesuatu yang tersembunyi.
Lebih dari pada itu, kebenaran adalah sesuatu yang tersembunyi dan dipakukan dalam manusia sebagai Dasein. Aristoteles selanjutnya mengkomparasikan logos dan ketaktersembunyian ini di mana logos bertugas untuk memaksa ketaktersembunyian ini menampakan dirinya.
φύσις (phusis) mempunyai dua makna. Yang pertama adalah prevailing of beings as a whole sebagai sesuatu yang sudah ada, ada, dan akan ada secara sama; berada dalam keadaan yang sama selamanya, dan tidak tercipta ιέχνη. Seperti yang dikatakan Herakleitos;
This kosmos is always the same throughout everything, and neither a god nor any human being created it, rather this φύσις always was, always is, and always will be an ever-flaming fire, flaring up according to measure and extinguishing according to measure.
Makna kedua φύσις (phusis) adalah sebagai dasar/intisari dari segala hal ini.
Dua Arti φύσις (Phusis) Pada Aristoteles. Pertanyaan Seputar πρώτη φιλοσοφία (Prote Philosophia)
Di sini sebenarnya tidak terjadi adanya dua orientasi dalam pemikiran Aristoteles melainkan ia mempertanyakan mengenai beings as a whole, dan juga apa itu ‘ada’ dari ‘adaan’ ini, essensi mereka, nature mereka, sebagai πρώτη φιλοσοφία (prote philosophia). Jadi πρώτη φιλοσοφία (prote philosophia), Filsafat Pertama, adalah tanya-jawab/pertanyaan tentang φύσις (phusis) sebagai beings as a whole dan juga sekaligus pertanyaan tentang being (ada).
Pemahaman filsafat yang demikian ini perlahan-lahan menghilang pasca Aristoteles. Hal ini diakibatkan juga oleh kemunculan formasi pendidikan (sekolah) yang memadamkan pertanyaan-pertanyaan akan kehidupan. Apalagi semenjak being (ada) menjadi sesuatu yang diketahui, sesuatu yang terekspresikan.
Dalam pandangan skolastik, φύσις (phusis) mendapat artinya yang berbeda dari pemahaman Yunani sebelumnya; being sebagai sesuatu yang mengacu pada tindakan dan perbuatan manusia, yang sebenarnya dimaksudkan sebagai ήθος, asal kata dari etika. Ήθος yang berarti berarti pendirian manusia, tingkah-laku-dirinya sebagai ada yang ‘berbeda’ dengan alam; dalam pemahaman yang sempit.
Maka muncullah kemudian tiga cabang filsafat yakni etika (έπιστήμη ήθική), logika (έπιστήμη λογική), dan fisika (έπιστήμη φυσική); pembagian yang dimulai oleh Plato dan selanjutnya oleh Xenocrates, para pengikut Aristoteles dan kaum Stoa di jaman Hellenistik.
Perubahan Sistem Makna μετά (Meta) dalam Kata ‘Metafisika’ dan Kaitan Akan Pemahaman Tentangnya
Makna μετά (meta) adalah di belakang, mengikuti setelahnya. Terjadi kebingungan pada Andronikos dari Rhodez ketika mengklasifikasikan karya Aristoteles tentang πρώτη φιοσοφία (prote philosophia) dalam tiga disiplin filsafat di atas. Ada kesamaan dari apa yang dikatakan Aristoteles dalam πρώτη φιλοσοφία (prote philosophia), dengan physics namun tidak bisa diklasifikasikan ke dalam itu karena pembahasan Aristoteles lebih luas dari itu. Dan akirnya diberi judul μετά τά φυστκά (meta ta phisika).
Selanjutnya kata μετά (meta) ini berubah menjadi sesuatu yang dimaknai sebagai hal yang berada di atas atau melampaui yang indrawi. Ini dimulai dari makna kata meta dalam bahasa latin yang mana selain post juga trans (on or to the other side of: across: beyond). Ia menjadi sebuah ilmu atas sesuatu yang suprasensuous.
Yang Melekat dan Tidak Pantas dari Konsep Tradisional Metafisika
Yang pertama di sini adalah metafisika yang dipahami sebagai sesuatu yang menunjukan kepada hal-hal suprasensuous; yang berakar dari masuknya dogma Kristiani dalam filsafat barat. Dalam ‘filsafat kristiani’ ini metafisika merujuk pada Tuhan yang ada di dunia luar sana; yang suprasensuous. Descartes pun mengatakan hal serupa. Dalam pemahaman yang berkembang kemudian, meta dimaknai sebagfai ‘segalanya’. Segala beings, yang sensuous mau pun suprasensuous, ada dengan cara yang sama sebagai satu hal; yakni sebagai beings.
Konsep metafisika tradisional yang kacau: kombinasi dari dua jenis (trans) sebagai ‘adaan’ yang ‘suprasensuous’ dan karakter ‘unsensuous’ dari ‘Ada’-nya ‘adaan-adaan’; The unsensuous characteristics of the being of beings. Hal ini diakibatkan juga oleh pencampur-adukan yang dilakukan Thomas Aquinas terhadap metafisika, teologi dan Filsafat Pertama; yang nantinya akan berlandaskan pada sesuatu yang suprasensuous yakni Tuhan.***
*Catatan: Tulisan ini semacam bahan pegangan untuk kebutuhan pada kelas Metafisika di Program Sarjana STF Driyarkara beberapa tahun yang lampau.