Setiap tahun, 28 Oktober selalu dikenang. Betapa tidak. Memori kita sudah begitu dijejali dengan pentingnya tanggal ini pada tahun 1928, ketika segenap pemuda mengikrarkan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Bersamaan dengan itu, akir-akir ini muncul anggapan bahwa ketergantungan pada teknologi informasi berbasiskan internet membnuat generasi z (sebutan untuk remaja internet native) mulai kehilangan pegangan pada nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dengan kata lain, kemajuan teknologi dipersalahkan. Program Bela Negara yang baru-baru ini diluncurkan pemerintah tersirat sebagai jawaban pula atas kegalauan ini.
Menciptakan Hari Peringatan
Indonesia sebagaimana kita tahu, baru muncul sebagai sebuah negara secara resmi pada 1945. Namun demikian tentu saja perbincangan menuju peristiwa itu sudah terjadi jauh sebelumnya. Salah satu yang dianggap penting menurut sejarah resmi dalam penyatuan itu adalah Sumpah Pemuda di tahun 1928. Perlu kita ingat bahwa penentuan tanggal-tanggal peringatan dan perayaan seperti 28 Oktober ini ditetapkan dan ditentukan setelah kemerdekaan terjadi.
Penelitian Keith Foulcher seputar 28 Oktober 1928 menunjukkan pada kita bahwa peristiwa tersebut bukanlah peristiwa yang begitu besar, heboh, dan menggoncang (Foulcher, 2002). Setidak-tidaknya, bisa jadi para peserta Kongres Pemuda II itu tidak menyangka bahwa kegiatan mereka akan menjadi sebuah peristiwa yang begitu dirayakan oleh generasi mendatang. Selain itu, meski pun mereka mengikrarkan sumpah bahwa berbahasa satu bahasa Indonesia, semua mereka yang berkumpul di situ tidak bisa berbahasa Indonesia melainkan Bahasa Belanda.
Kita tentu bisa memeriksa lebih jauh perihal kontroversi Sumpah Pemuda ini. Namun demikian, hingga kini Sumpah Pemuda menjadi penting sebagai hari peringatan untuk melegitimasi persatuan dan kesatuan Indonesia, perihal meleburkan perbedaan-perbedaan mengingat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, dan lebih lanjut tentu saja perihal bahasa nasional. Perihal bahasa Indonesia ini sesungguhnya bertalian erat dengan perihal teknologi.
Bangsa dan Teknologi
Negara Indonesia merupakan produk dari modernisasi. Hal ini tampak jelas ketika kita melabeli Indonesia sebagai sebuah negara modern. Perbedaan mencolok dari Indonesia sebagai negara modern tentu saja dapat gamblang kita temui dalam perbandingan dengan sistem monarki kerajaan. Negara Indonesia dengan demikian sebuah negara modern yang sepenuhnya lahir dari modernitas.
Membicarakan Indonesia yang modern ini tentu saja kita akan membicarakan juga perihal penjajahan, kolonialisme dsb., yang merupakan agen utama modernitas di Indonesia. Salah satu faktor paling mendasar modernitas tentu saja kemajuan teknologi. Kesadaran akan keindonesiaan yang harus merdeka pun muncul atas sumbangsih dari teknologi.
Salah satu perekat utama Indonesia yang bersatu adalah bahasa sebagaimana dikumandangkan pada Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia itu berawal dari bahasa melayu yang sudah ada di hampir setiap wilayah pesisir Indonesia berkat perdagangan yang terjadi di masa sebelumnya. Ketika penjajahan Belanda makin menguat, otomatis bahasa melayu pasar ini pun mulai kehilangan kendali. Namun demikian, kemunculan teknologi informasi cetak mengangkatnya kembali sebagai sebuah faktor penting dan mendorongnya menjadi faktor penentu yang cukup utama, menurut istilah Bennedict Anderson, imajinasi bersama akan bangsa.
Teknologi informasi cetak yang masuk ke Hindia Belanda tentu saja dibawah oleh orang Eropa. Namun tidak butuh waktu lama untuk mereka-mereka yang ada di Indonesia untuk melihat potensi, baik bisnis mau pun kemampuan perlawanan, dari media ini. Muncullah banyak terbitan, buku, majalah dan koran dari mesin-mesin cetak yang banyak berdatangan di Indonesia. Tidak semuanya tentu saja mengkumandangkan ketimpangan penjajahan, kekejaman penjajah Belanda dan menghasut rakyat untuk memberontak; beragam sungguh isi terbitan yang ada itu. Namun, semua itu menyumbang pada kesadaran modern masyarakat Anak Negeri Hindia Belanda.
Tentu bisa lebih banyak contoh atau pemaparan perihal teknologi dengan kesadaran modern yang perlahan-lahan menghantar menuju kemerdekaan Indonesia. Rudolf Mrazek di dalam bukunya Enginering of the Happy Land menggambarkan bagaimana teknologi yang masuk ke Hindia Belanda menyumbang pada perubahan tingkah laku masyarakatnya. Dan memang demikianlah karakteristik teknologi itu sendiri.
Mengklik Keindonesiaan
Pemaparan di atas barangkali cukup memberi alasan bagi kita untuk kembali pada permasalahan yang diresahkan di awal tulisan ini yakni generasi z dan keindonesiaan. Indonesia modern yang merdeka adalah juga dampak penerimaan masyarakat Hindia Belanda kala itu atas teknologi. Maka, ketika kita menyayangkan teknologi sebagai perusak semangat nasionalisme, barangkali justru di sana kitalah yang tidak bisa melihat dengan jeli potensi yang dimungkinkan oleh teknologi, sebagaimana teknologi cetak pernah menyumbangkan hal penting untuk mewujudnya Indonesia.
Memandang generasi z kehilangan keindonesiaan lantaran kegandrungan mereka pada budaya klik bukanlah sebuah pandangan yang elok. Begitu banyak contoh di sekitar kita menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi membawa banyak kemungkinan baru nan progresif dalam hal hak-hak warga negara dan juga dalam hal penglurusan pengetahuan sejarah kita. Pemerintah saat ini tidak bisa berbicara sekehendak hatinya di hadapan media. Di dalam hitungan detik, apa yang disampaikan seorang tokoh akan tersebar melalui portal berita dan di-viral-kan melalui beragam media sosial. Permasalahan-permasalahan masyarakat sekarang pun mendapat wadah baru untuk diutarakan melalui kemajuan teknologi informasi berbasis internet.
Keindonesiaan jangan-jangan memang bukan hilang karena budaya klik pada generasi z. Jangan-jangan, budaya klik saat ini akan menghasilkan sebuah keindonesiaan yang berbeda sama sekali wajahnya daripada keindonesiaan yang pernah dimiliki generasi sebelumnya. Karena memang, meminjam Bennedict Anderson, Indonesia adalah sebuah proyek yang harus terus-menerus dipikirkan dan dijalankan.***