Salah satu yang menyenangkan dari komik bagi saya adalah caranya memparodikan hidup. Apalagi ketika kehidupan yang dipotretnya kebetulan sama dengan kehidupan pembacanya. Dan memang begitulah salah satu hubungan komik dan pembacanya; keintiman dibangun dari konten komik yang memotret keseharian pembaca.
Kehidupan urban Jakarta dengan kesibukannya yang menggila tentu wilayah yang luas nan beragam bagi kerja kreatif seorang komikus. Komikus dituntut mampu membaca gerak langkah masyarakat urban Jakarta lantas merefleksikannya dan menghadirkannya dalam rupa karya. Tetapi bagaimana jika seniman itu melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan apa yang direfleksikannya itu adalah hidupnya sendiri, hidupnya sebagai kaum urban Jakarta? Di sini, ‘riset’ sebagai bagian karya seni luntur perannya. Kehidupan kesehariannya menjadi ‘riset’ itu sendiri. Azer aka Muhammad Reza Mustar pada hemat saya adalah komikus yang demikian. Hal ini tampak pada tiga segmen dalam KOMIKAZER, buku komik teranyarnya.
***
Perkembangan teknologi informasi mendorong membanjirnya penggunaan media sosial di tengah masyarakat urban. Instagram, facebook, path, twitter, adalah peralatan kita untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi dan berjejaring. Segmen pertama KOMIKAZER berkonsentrasi di masalah ini. Di tangan Azer, fenomena-fenomena tersebut dijadikan parodi-parodi nakal, menyentuh, dan menggugah. ‘Berdoa di Twitter’ misalnya menggambarkan seorang pemuda yang berdoa untuk kemenangan tim sepak bola kesayangannya. Pemuda itu menggunakan kaos AC Milan dan sajadah-nya bertuliskan Barcelona serta ia mengirimkan doa untuk kemenangan Manchester United via twitter. Selain menggambarkan penggunaan twitter, Azer juga menunjukkan penggunaan atribut yang ‘tak konsisten’ pada masyarakat urban. Bukan lantaran ketakpahaman atau kurang ‘radikal’ dalam mendukung sebuah klub sepakbola, tetapi masyarakat kerap mengkonsumsi saja apa yang ada.
Kekhawatiran-kekhawatiran dan ironi yang ditampilkan oleh Azer terkadang membuat was-was pada tingkah laku kita sendiri di media sosial. Salah satu komik yang paling oke untuk itu adalah gambar seorang pria yang kedua tangannya memegang kepala sedangkan di tempat kepala berada terdapatlah sebuah smartphone. Azer menambahkan kalimat demikian, “social media ironically turing us anti social!!” Tak perlu berpanjang lebar tentang pesan komik strip ini, karena ia menyindir semua kita yang familiar dengan media sosial.
Jika pada segmen pertama KOMIKAZER bisa saja muncul pada karya komikus-komikus dari daerah lain, pada segmen kedua saya kira tidak demikian. Segmen ini memotret kehidupan yang benar-benar milik kaum urban Jakarta. Dibuka dengan komik seorang pemuda yang diwisuda, ditutup dengan komik “Sometimes Hidup itu Live”, segmen kedua menggambarkan segala carut marut yang mungkin dihadapi seorang pemuda pekerja kelas menengah Jakarta. Simak saja komik strip “P7” yang meringkas semesta kepedihan kehidupan kelas pekerja urban Jakarta. Sebagai alternatif dari “P7”, hidup sebagai freelance dianggap pilihan yang tepat. Namun, pilihan ini pun menjadi masalah dalam kehidupan sosial orang Jakarta. Freelance masih identik dengan pengangguran. Pada segmen kedua ini, tampak sekali ‘ketidak-berjarakan’ komikus dengan kehidupan urban. Ia adalah bagian darinya.
Segmen ketiga KOMIKAZER bisa kita labeli sebagai ‘komik tentang hal-hal yang salah’. Apa yang dimaksudkan dengan ‘yang salah’ di sini punya beberapa arti. Pertama, salah tempat. Kedua, gaya hidup yang salah konteks. Dan ketiga salah sebagai permainan makna dan tujuan dari sebuah hal. Komik strip “Pergi ke Pasar Santa” merupakan contoh yang menarik dari pemahaman salah yang pertama. Kata ‘pasar’ selama ini identik dengan tempat jual beli yang kumuh, kotor, dan masyarakat kelas bawah. Namun dengan adanya fenomena Pasar Santa di Jakarta, kata ‘pasar’ sebagai kata yang identik dengan hal-hal tersebut di atas mulai bergeser.
Makna yang salah kedua lebih banyak muncul dalam bentuk parodi gaya hidup kelas menengah di tengah problem ekonomi dan problem kesenjangan sosial. Misalnya komik strip tentang seorang hipster yang menggemari vinyl. Vinyl tak bisa dikatakan semurah sekeping VCD. Azer menghadirkan vinyl dengan harga yang demikian sebagai obat stress karena kehabisan duit untuk seorang pemuda. Komik strip tentang seorang pemuda yang datang ke cafe menunjukkan makna yang salah ketiga. Cafe kerapnya dianggap sebagai tempat bercengkrama, melepas penat. Bukan tempat untuk bekerja. Cafe yang demikian mulai mengalami pergeseran fungsi seiring cafe-cafe dilengkapi dengan fasilitas wifi. Cafe kini menjadi pilihan untuk jenis-jenis kerja yang membutuhkan koneksi internet yang cukup baik. Dan juga tentu saja suasana baru dalam bekerja.
***
Menikmati KOMIKAZER adalah menikmati hidup sebagai kaum urban kelas menengah Jakarta. Apa yang kita dapatkan adalah cerminan dari hidup kelas tersebut. Namun demikian, hal itu juga membangun pertanyaan atas komik-komik strip Azer. Apakah dengan demikian mereka yang tidak berada dalam frame kelompok masyarakat tersebut—kelompok masyarakat kelas menengah urban Jakarta—bisa menikmati karya-karyanya? Ataukah memang saat ini seni perlu menukik pada hal-hal yang spesifik barulah dari sana membuncah refleksi-refleksi yang universal? Terlepas dari itu, pada KOMIKAZER mengemuka tertawaan atas hidup sembari juga merasa miris atasnya.
Judul : KOMIKAZER
Komikus : Muhammad Reza Mustar a ka Azer
Penerbit : Oknum, Desember 2014
Tebal : 114 halaman
*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Sarasvati, edisi April 2015, hlm. 78-79.