Tahun ini, Peristiwa 1965 genap berusia setengah abad. Mengapa usia kelima puluh tahun Peristiwa 1965 begitu ‘dirayakan’ tidak lain lantaran peristiwa ini membawa perubahan yang signifikan terhadap perjalanan sejarah Indonesia. Peristiwa 1965 yang dimaksudkan di sini adalah apa yang kita kenal dengan G 30 S dan peristiwa turunannya yakni penangkapan, pembunuhan, dan penghilangan hak-hak sipil dari mereka-mereka yang dianggap terlibat dan punya hubungan dengan PKI.
Lebih jauh, Partai Komunis Indonesia oleh narasi sejarah Orde Baru dituduh berada di balik Gerakan 30 September pada tahun 1965 itu. Lebih jauh, Peristiwa 1965 ini menyeret pula Presiden Indonesia kala itu, Soekarno, dan berujung pula pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto dengan Orde Barunya.
Di masa Orde Baru, narasi dan studi yang mencoba mengungkit seperti apa sesungguhnya Peristiwa 1965 terjadi dan apa dampaknya sebetulnya sudah banyak dilakukan. Namun, narasi tandingan terhadap sejarah a la Orde Baru ini hanya berseliweran di kalangan akademisi, aktivis, dan pemerhati sejarah. Tidak untuk masyarakat umum. Barulah setelah reformasi, wacana ini lebih bisa menjadi konsumsi publik luas, meski pun memang belum signifikan.
Dalam kerangka itulah buku karya Indonesianis asal Jepang Aiko Kurasawa yang terbit baru-baru ini patut disambut. Buku ini melengkapi studi-studi lain mengenai Peristiwa 1965. Sumbangan utama buku ini, sebagaimana tersurat pada sub judulnya, adalah pandangan Jepang perihal Peristiwa 1965. Aiko Kurasawa mengakui bahwa ketidak-tahuan masyarakat Jepang atas peristiwa berdarah 1965-lah motivasinya menulis buku ini (hlm. vii-viii).
Hubungan Jepang Indonesia
Indonesia di era 1960-an adalah negara yang masih balita. Negara baru ini sedang membangun dan juga belum lepas betul dari bayang-bayang perang yang diderita sebelumnya. Hal ini ditambah dengan Perang Dingin yang menyambut si balita. Aiko Kurasawa di dalam bukunya memberi porsi yang besar (sekitar 4 bab) membicarakan hubungan Indonesia dan Jepang di era ini.
Sebagai negara yang kalah perang pada Perang Dunia II, Jepang diwajibkan membayar ganti rugi pampasan perang kepada sejumlah negara yang dirugikannya, termasuk Indonesia. Inilah batu penjuru untuk membicarakan hubungan Indonesia dan Jepang pada era itu. Proses pembayaran ganti rugi pampasan perang menjadi semacam simbiosis mutualisme antara Jepang dan Indonesia.
Di satu sisi Jepang memberi bantuan beasiswa, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya bagi Indonesia. Namun di pihak lain, proyek-proyek dari ganti rugi tersebut dikerjakan oleh orang-orang Jepang dan perusahan-perusahan Jepang. Dengan demikian sesungguhnya juga menguntungkan Jepang dalam hal menjalankan roda-roda ekonomi dalam negerinya.
Sejarah kedua negara inilah yang memuluskan proses pembayaran pampasan perang menjelma sebuah simbiosis mutualisme. Jepang pernah menjajah Indonesia namun dari penjajahan ini juga banyak pemuda Indonesia mendapat pengaruh dan ilmu dari Jepang. Nama Laksamana Muda Maeda, seorang perwira Angkatan Laut Jepang, misalnya tentu dihafal oleh semua orang Indonesia karena nama tersebut masuk dalam narasi sejarah kemerdekaan Indonesia. Tentu selain Laksamana Muda Maeda, ada banyak nama lain yang turut ‘membantu’ di dalam kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Selain itu, di masa pendudukan Jepang didirikanlah banyak organisasi untuk masyarakat dengan beragam fungsinya. Yang paling terkenal misalnya adalah PETA, sebuah tempat pendidikan militer bagi pemuda pribumi agar siap membantu Jepang menghadapi Sekutu. Dari PETA ini belakangan kita tahu muncul banyak tokoh yang berjuang di masa revolusi fisik menghadapi usaha pendudukan kembali Belanda.
Pada era 1950-an dan 1960-an para pemuda yang dahulunya ada di dalam organisasi-organisasi tersebut menduduki jabatan penting di dalam negara Indonesia yang masih balita. Demi memuluskan kerja sama Indonesia-Jepang, pemerintah Jepang memberdayakan lagi mereka-mereka yang di masa perang pernah bertugas di Indonesia. Bagaikan ‘kawan’ lama kembali bertemu di tempat dan waktu yang lebih baik, Indonesia yang masih balita dan Jepang yang mulai membangun dari puing-puing bom atom bertemu dan bergandengan tangan. Kerja sama keduanya pun berjalan mulus.
Tentu keduanya menjalankan dengan perhitungan dan kepentingan sendiri-sendiri pula. Indonesia yang lebih condong ke kiri dan Soviet-Cina, sedangkan Jepang yang adalah bagian dari Sekutu. Peristiwa 1965 tentu menimbulkan kebingungan bagi Jepang. Tetapi setelah melihat ke mana bandol menunjuk, Jepang pun bermanuver dan bergandengan tangan dengan rezim Orde Baru.
Respons atas 1965
Mengenai peristiwa G 30 S 1965 sendiri, buku Aiko Kurasawa ini tidak berbicara banyak. Ia hanya menggambarkan peristiwa tersebut dari perspektif beberapa orang Jepang yang tengah ada di Indonesia ketika peristiwa itu terjadi. Alhasil, tak banyak yang bisa ditemukan selain kebingungan serta kesimpang-siuran perihal peristiwa itu. Hal ini memang disadari dan disengaja oleh Aiko dan memang bukunya tidak bermaksud membicarakan Peristiwa G 30 S an sich.
Setelah membahas kerja sama dan juga bagaimana suasana internasional, Prof. Aiko berkonsentrasi pada peran Ratna Sari Dewi serta respons masyarakat Jepang terhadap peristiwa terersebut. Menurut temuan buku ini, media massa Jepang cukup bervariasi dalam menanggapi Peristiwa 1965. Selain ada beberapa yang hanya membeberkan secara sekilas sebagaimana media massa mancanegara kala itu pada umumnya, Prof. Aiko memberi porsi yang cukup besar pada Asashi Shinbun yang cukup intens dan lengkap melaporkan Peristiwa 1965. Tentu saja dalam perbandingan dengan media massa Jepang lainnya dan juga media massa mancanegara lainnya.
Selain itu ada Akahata yang berafiliasi dengan JCP (Japan Communist Party) yang memberitakan penganiayaan terhadap kaum komunis Indonesia itu dengan sangat intens. Bahkan Sasaki, wartawan Akahata yang menulisnya, mencap bahwa, “…kekejaman di Jawa jauh lebih kejam daripada yang pernah dilakukan Nazi” (hlm. 87). JCP lantas mendapat perhatian cukup banyak dalam hal respons masyarakat Jepang atas Peristiwa 1965. Dari JCP lah muncul protes-protes keras serta tuntutan pada Pemerintah Jepang untuk mengambil sikap tegas atas kekejaman yang terjadi di Indonesia. Bahkan JCP di dalam pernyataan resminya menuduh bahwa peristiwa G 30 S digunakan sebagai “dalih” oleh kaum kontra revolusioner Indonesia dan Sekutu untuk menghancurkan kaum komunis di Indonesia.
Prof. Aiko Kurasawa menutup bukunya dengan menceritakan perihal sebuah film feature biasa Jepang, Jaguar Ran. Film ini berkisah tentang pemerintahan sebuah negara di selatan yang ditumbangkan dengan cara kudeta. Presiden negara tersebut lari ke Jepang sebelum melanjutkan ke Amerika Serikat. Namun demikian, pemerintahan baru terus mengejarnya. Dalam keadaan yang demikian, Kepolisian Jepang diperintahkan untuk melindunginya. Menurut Aiko Kurasawa, film ini menunjukkan bahwa barangkali masyarakat Jepang sadar akan Peristiwa 1965 di Indonesia. Namun, mungkin sedikit peduli terhadap perubahan politik yang diakibatkan olehnya.
*****
Peristiwa politik penting apalagi yang diikuti oleh sebuah peristiwa pembunuhan yang melukai rasa kemanusiaan tentu tak lekang dimakan waktu. Lihat saja Eropa dengan Nazi Jermannya. Dari tahun ke tahun hingga kini, sineas Eropa tidak pernah alpa menelorkan minimal satu film dengan latar belakang peristiwa tersebut. Kembali pada Peristiwa 1965, kita kini masih berada di dalam euforia memeriksa ulang sejarah kita dan membuka tabir-tabir sejarahnya. Kita masih jauh dari apa yang dilakukan dan dijalankan oleh masyarakat Eropa, khususnya Jerman, terhadap Nazi-nya. Barangkali Sasaki benar, apa yang terjadi di Jawa (Indonesia) lebih kejam dari apa yang dilakukan Nazi pada Perang Dunia II.
Oleh karena itulah hasil-hasil studi para sarjana seperti Peristiwa 1965: Perspektif dan Sikap Jepang ini patut kita syukuri dan sambut baik. Ini adalah usaha-usaha untuk melihat sejarah bangsa kita dengan lebih benderang. Tentu saja di sana sini masih banyak hal yang tertutup dan belum jelas benar. Nah, pada tangan dan pundak kitalah, orang Indonesia yang ingin meluruskan jalan bangsanya sendiri, kerja-kerja yang tersisa itu dibebankan.
Judul Buku: Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang
Penulis: Aiko Kurasawa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas (Jakarta: 2015)
Tebal: xxii + 202
*Catatan: Resensi buku ini pertama kali dipublikasikan di Portal AkarpadiNews, 4 November 2015.
Pingback: [Kompilasi Tinjauan Buku – Resensi] Peristiwa 1965 : Persepsi dan Sikap Jepang – Aiko Kurusawa – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966
Pingback: [Kompilasi Tinjauan Buku – Resensi] Peristiwa 1965 : Persepsi dan Sikap Jepang – Aiko Kurasawa – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966
Pingback: Esai-esai Berto Tukan : ‘Mencongkel Selilit Ingatan’, “Peristiwa 1965 Mengubah Jalan Sejarah Bangsa Indonesia’ Hingga ‘Menunggu Kedewasaan Pemerintah tentang 65’ – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966