Tulisan ini akan membahas tentang Walter Benjamin dan Gesichtsphilosophische Thesen-nya. Lebih khusus, tulisan ini akan berkutat pada perihal pembersihan teleologis dari tubuh materialisme historis yang diusahakan Walter Benjamin dalam Gesichtsphilosophische Thesen. Pembersihan teleologis dari tubuh materialisme historis ini dilakukan Walter Benjamin via kritikan atas keadaan politik Eropa secara umum dan Jerman secara khusus pada masa hidup Walter Benjamin sendiri. Dari sana disimpulkannya bahwa materialisme historis harus melihat unsur masa lalu yang nyata-nyata sudah terjadi dan masa kini haruslah mengupayakan Keselamatannya saat ini karena Waktu Sekarang adalah momen yang menggambarkan keseluruhan sejarah manusia. Inilah sumbangsih yang cukup penting dari Walter Benjamin atas pemahaman seputar materialisme historis.
PENDAHULUAN
Walter Benjamin, seorang Marxsist Jerman dan Mazhab Frankfurt, dalam tulisannya pada 1939 – 1940, Gesichtsphilosophische Thesen[1] (selanjutnya disingkat GT), pada Tesis I menggambarkan materialisme historis secara unik, metaforis, sedikit komikal, dengan demikian sulit untuk dipastikan apa yang dimaksudkannya,
Seperti yang sudah diketahui, cerita harus diceritakan oleh sesuatu yang dikonstruksi secara otomatis sedemikian sehingga ia menanggapi setiap jalan dari pemain catur mana pun dengan langkah balasan yang dapat menjamin kemenangannya. Boneka pada pakaian adat Turki, cangklong di mulut, duduk di depan papan catur pada meja yang lebar. Illusi dibangkitkan menurut sistem cermin, meja ini transparan dari segala sisinya. Pada kenyataannya terlihat kurcaci bungkuk di dalamnya, si kurcaci adalah Master Catur dan ia mengendalikan tangan boneka itu dengan tali. Melalui perlengkapan ini, orang dapat membayangkan pasangan/lawannya dalam filsafat. Boneka yang akan selalu menang inilah yang dinamai orang-orang sebagai “materialisme historis”. Menjadi mudahlah pertandingan itu untuk orang-orang bila mereka pada akhirnya sadar bahwa itu menggunakan pelayanan teologi yang saat ini, seperti yang sudah diketahui, kecil, buruk dan bagaimanapun juga tidak diijinkan menampakan diri.[2]
Walter Benjamin dari kutipan di atas menunjukan sebuah keniscayaan kemenangan dari materialisme historis sebagai metode membaca sejarah umat manusia dalam menghadapi metode-metode membaca sejarah lainnya. Lebih lanjut, ia menekankan pula peran teologi yang memungkinkan kemenangan materialisme historis yang digambarkannya sebagai boneka pada pakaian adat Turki dengan cangklong di mulutnya. Sedangkan untuk teologi ia memetaforakannya dengan sosok kurcaci bungkuk, kecil, dan buruk rupa. Dari metaforanya ini kita menemukan bahwa teologi dicibir oleh Walter Benjamin.
Unsur teleologis[3] sering dipandang ada dalam materialisme historis Marx sebagai warisan dari filsafat Hegel. Filsafat sejarah Hegel menekankan peran Roh yang ada di luar diri manusia yang memungkinkan thelos pada akhir sejarah. Dengan kata lain, ada agen sejarah di luar diri manusia yakni Sang Roh. Thelos sebagai unsur teleologi dalam materialisme historis Marx sering dialamatkan pada ‘ramalan’ Marx tentang akhir sejarah di mana kelas proletar mengalahkan kelas kapitalis dan terciptalah masyarakat tanpa kelas.
Materialisme historis dengan kepercayaan akan sifat keniscayaannya tak lain dan tak bukan adalah pengulangan terhadap dialektika Hegel yang pada kata pengantar Marx untuk Das Kapital edisi kedua sudah ditentangnya[4]. Sebelum Das Kapital ini, Marx pun sudah menentukan sikapnya untuk tidak mengikuti kecenderungan filsafat Hegel yang berkembang di Jerman pada masanya melalui karyanya bersama Engels The German Ideology[5]. Penafsiran bahwa sejarah niscaya akan menuju tatanan dunia sosial oleh karena system kapitalisme pada dirinya menyimpan kontradiksi dan bibit kehancurannya sendiri tanpa mementingkan usaha manusia menuju hal tersebut inilah posisi yang diambil Karl Kautsky dkk misalnya, yang membuat mereka berbeda jalan dengan Luxemburg dan Lenin pada Internationale II.
Walter Benjamin dalam Gesichtsphilosophische Thesen membersihkan materialisme historis dari konsep otomatisnya—sebagaimana yang menjadi pegangan kaum Sosial Demokrat Jerman pada masanya yang adalah akibat perpaduan determinisme dan optimisme yang kuat dengan demikian memungkinkan kemenangannya.[6] Selain itu, konsep sejarah Walter Benjamin memang berusaha lepas dari sifat teleologis sejarah yang mengandaikan thelos akhir sebagai pembenaran dan perayaan sejarah. Tujuan atau akibat dari peristiwa sejarah mengakibatkan hal-hal tertentu saja dari peristiwa sejarah yang punya andil terhadap hasilnya saja yang dirayakan sedangkan nilai intrinsik dari peristiwa sejarah itu sendiri terlupakan.[7]
Andrew Benjamin dalam pengantar editor untuk buku Walter Benjamin and History menegaskan bahwa Walter Benjamin selalu menulis dalam konteks sosial politik zamannya. Di sini, Walter Benjamin selalu punya patner-patner atau konsep-konsep filsafat tertentu yang berkembang di zamannya yang turut berperan dalam kemunculan tulisan-tulisannya.[8] Demikian juga dengan GT ini. Untuk itu, dalam tulisan ini, kita akan pertama memaparkan riwayat singkat Walter Benjamin di tengah geliat zamannya. Hal kedua yang akan dilakukan adalah kita akan mencoba memahami apa yang dimaksudkan Walter Benjamin dalam GT. Pada bagian ini kita akan dibantu dengan tulisan-tulisan dari para komentator Walter Benjamin tentang GT ini. Selanjutnya, ketiga, akan dilihat salah satu unsur pemikiran Karl Marx yang dibahas Walter Benjamin dalam GT. Pada bagian keempat dan terakir tulisan ini kita akan mencoba merangkumkan apa yang dibahas Benjamin dalam GT perihal materialisme historis dan teleologi.
WALTER BENJAMIN DAN ZAMANNYA[9]
A. Masa Kecil Hingga Berakirnya Perang Dunia I
David Ferris menuliskan bahwa membicarakan kisah hidup seorang Walter Benjamin adalah membicarakan kisah tentang keuangannya dan rintangan-rintangan intelektual yang dihadapinya selama dua puluh tahun bersamaan dengan perkembangan dirinya menjadi seorang kritikus budaya terkemuka dari generasinya. Ia juga adalah orang yang melakukan perjalanan hampir mengelilingi Eropa yakni ke Capri (Italia), Spanyol, Moskow, Daerah Artik, dan juga kota yang memberinya banyak imajinasi atas kritikannya yakni Paris. Ia juga seseorang yang melakukan korespondensi dengan banyak penulis, filsuf, budayawan, seniman, dan intelektual di zamannya seperti Rainer Maria Rilke, Andre Gilde, Hugo von Hofmannstahl, George Bataille, Theodor Adorno, dan masih banyak lagi. Dia juga seorang penerjemah karya sastra (seperti karya Proust dan Baudelaire); seorang penulis dengan berbagai nama samaran (Ardor, C. Conrad, K. A. Stempflinger, Detlev Holz, Hans Fellner, J. E. Mabinn—yang ini merupakan anagram dari Benjamin). Selain itu ia juga menulis drama radio, cerpen, puisi, dan juga mengkoleksi boneka-boneka dan bacaan anak-anak.
Manusia bermulti-talenta dengan hidup yang bisa dibilang tragis ini dilahirkan di Berlin pada 15 Juli 1892 dari Emil Benjamin dan Pauline Benjamin. Ia sulung dengan dua adik (Georg yang dilahirkan pada 1895 dan Dora pada 1901). Keluarga Emil Benjamin adalah keluarga kelas menengah atas Berlin, ketika kota itu menjadi salah satu kota metropolitan di Eropa. Sebagai anak dari keluarga berlatar demikian, Benjamin dididik oleh guru privat di rumah sampai berumur sembilan tahun ketika ia memasuki Kaiser Friedrich School. Namun pada 1904 ia keluar dari sekolah ini atas kehendak orang tuanya karena sakit.
Benjamin lantas pada 1905 pindah ke Haubinda, beberapa ratus mil jauhnya dari Berlin, dengan alasan yang sama. Di kota ini ketertarikannya pada filsafat dan sastra Jerman mulai berkembang. Di sekolah barunya di kota ini, Benjamin juga berkenalan dengan Gustav Wyneken yang tengah mengembangkan dokrin Budaya Kaum Muda (Youth Culture). Dalam doktrin ini ditekankan bahwa Kaum Muda secara moral lebih unggul dari orang tua, oleh karena itu proses pertumbuhan intelektual dan spiritual kaum muda harus dibiarkan terjadi secara natural.[10] Ide Wyneken ini sangat mempengaruhi Benjamin. Ia, selepas dari sekolah tersebut, masih terus berkorespondensi dengan Wyneken untuk waktu yang cukup lama. Oleh semangat Youth Culture ini juga, Benjamin aktif dalam Gerakan Pemuda di Jerman waktu itu, terlibat dalam majalah sekolah yang progresif (ketika kembali lagi ke Kaiser Friedrich School di mana ia dan beberapa temannya juga membentuk kelompok studi untuk membahas tema tema sastra yang diabaikan oleh kurikulum sekolah). Selain itu, ide ini juga turut mempengaruhi ia berpindah-pindah universitas ketika mendapatkan kurikulum di universitas itu yang terlalu doktrinal dan tidak memberi kesempatan pada perkembangan sendiri dari mahasiswa.
Kehidupan akademis di universitasnya dimulai dari Maret 1912 dengan masuknya ia ke Universitas Albert Ludwig namun pada Oktober tahun yang sama ia mendaftar ke Royal Wilhelm Friedrich University di Berlin. Benjamin semakin intens dalam perjuangannya di Himpunan Mahasiswa Merdeka (Free Students Association) sebagai penerapan ide Wyneken perihal Youth Culture. Pada 1913 ia menang dalam pemilihan presiden dalam perhimpunan itu dan ini membawanya kembali ke Freiburg. Dalam pengukuhannya pada Mei 1914, ia menyampaikan pidato yang merupakan bagian dari tulisannya yang terbit pada 1915 ‘The Life of Students’. Di sini ia mengkritik mahasiswa Jerman yang melihat kuliah sebagai pelatihan untuk profesi pekerjaan mereka ke depan. Baginya, jauh dari sebagai tempat latihan untuk profesi kerja tertentu, pendidikan justru pada dasarnya melawan itu.[11]
Pada periode ini pun, di Jerman sendiri berkembang isu seputar Zionisme; apakah orang Yahudi harus mengembangkan budaya dan intelektual mereka yang khas Yahudi ataukah mereka tetap meneruskan asimilasi mereka dengan Jerman, walaupun seberapa besar usaha asimilasi itu dari mereka, mereka ditolak juga. Hal ini terlihat misalnya dengan kemunculan tulisan dari Moritz Goldstein berjudul ‘German Jewish Parnassus’. Dalam ketegangan itu, Benjamin terang-terangan menolak politik Zionisme. Dalam kemelut demikian, dalam suratnya untuk Ludwig Strauss pada Januari 1913, ia menulis bahwa energi politiknya ada pada Kiri dan perjuangan politik kuncinya adalah mencapai Kiri sebagai mayoritas sehingga di seluruh Jerman model pendidikan dari Wyneken bisa diterima[12]. Di sini, Benjamin menaruh harapan yang cukup besar pada Sosial Demokrat sebagai partai yang cukup besar di Jerman kala itu.
Benjamin menghentikan korespondensinya dengan Wyneken ketika Wyneken menyetujui perang. Tahun 1915 memang membawa perubahan besar di Eropa akibat telah dimulainya Perang Dunia I. Benjamin di tahun ini juga memulai persahabatannya dengan Gerhard Scholem yang ditemuinya pada ceramah oleh seorang sosialis Kurt Hiller. Scholem menunjukkan padanya edisi pertama (April 1915) jurnal besutan Rosa Luxemburg dan Franz Mehring, Die Internationale: Zeitschrift für Theorie und Praxis des Marxismus. Benjamin tertarik untuk terlibat dalam jurnal ini namun tak berapa lama berselang, jurnal ini dibredel pemerintah. Ia juga pada tahun ini pindah ke Muenchen. Di Muenchen ini, pada 1916, ketertarikan Benjamin berubah. Ia tak lagi mencurahkan perhatian pada Youth Culture yang didapatkannya sejak di Haubinda. Ia mulai mencurahkan perhatian pada zaman antik, kebahagiaan, serta studi tentang Sokrates. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah masalah sastra dan bentuk-bentuk sastra serta bahasa dalam hubungannya juga dengan romantisisme Jerman dan mistitisme (yang terakhir merupakan sumbangan dari persahabatannya dengan Scholem).
Tahun 1917, Benjamin mendaftar ke Universitas Berne untuk menjalankan disertasi doktoralnya dengan merencanakan penulisan tentang romantisisme Jerman khususnya pemikiran Friedrich Schlehel dan Novalis. Draft disertasinya ditulis pada April 1919 dan dipertahankannya pada Juni tahun yang sama. Demi bisa mengajar di universitas, Benjamin harus menulis disertasi kedua untuk mendapatkan Habilitation, prasyarat untuk mendapatkan posisi mengajar di Jerman yang harus juga mendapatkan dukungan dari pembimbing dari universitas. Bersamaan dengan itu istrinya, Dora, melahirkan anak satu-satunya mereka, Stefan Rafael. Kesulitan keuangan dan keinginan Benjamin untuk mendapatkan Habilitation menghantar keluarga itu kembali ke orang tua Benjamin di Berlin. Usahanya untuk mendapatkan Habilitation ini dihentikannya pada 1925.
Pada tahun-tahun ini, Perang Dunia I berakhir. Secara khusus, pada 10 Desember 1918, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Jerman, Friedrich Elbert, menarik pulang pasukan Jerman.[13] Ini merupakan sebuah fase baru untuk kehidupan di Jerman sendiri. Kekaisaran Jerman, yang tanda-tanda keruntuhannya sudah terlihat beberapa tahun sebelumnya, perlahan digantikan oleh Republik Weimar.
B. Berbalik Ke Kiri Hingga Port Bou
Tahun1924 dianggap sebagai masa ketika kerja filsafat dan budaya Walter Benjamin mengalami perubahan yang cukup drastis. Di tahun ini, ia bertemu dengan Asja Lacis, seorang sutradara teater Kiri. Asja Lacis (Benjamin dan Lacis bertemu di Capri, Italia) memperkenalkannya dengan politik sayap kiri yang radikal. Benjamin ada di Capri dalam rangka menyelesaikan tesisnya mengenai drama Barok[14]. Bersamaan dengan itu, Benjamin juga membaca History and Class Consciousness, sebuah karangan seminal Georg Lukacs. Di saat inilah Benjamin benar-benar tertarik pada tulisan tulisan Marx. Ia menulis tentang peristiwa ini pada sahabatnya Scholem demikian,
I hope someday the Communist signals will come through to you more clearly than they did from Capri. At first, they were indications of a change that awakened in me the will not to mask certain actual and political elements of my ideas in the old Franconian way I did before, but also to develop them by experimenting and taking extreme measures. This of course means that the literary exegesis of German literature will now take a back seat.[15]
Benjamin selanjutnya mendapatkan titik cerah dalam bidang akademisnya ketika mendapat kesediaan dari Franz Schulz, pembimbing dari Universitas Frankfurt. Namun, kemudian Schulz merekomendasikan Hans Cornelius, profesor estetika. Karena menurutnya topik yang dikemukakan Benjamin lebih pas dengan bidang dari Cornelius. Cornelius menolak membimbingnya dan merekomendasikannya kepada Max Horkheimer. Namun, pada 1924, Benjamin menghentikan segala usaha untuk thesisnya dan juga Humiliation itu.
Pada Desember 1926 sampai Februari 1927, Walter Benjamin mengunjungi Moskow dan hidup bersama Lacis di sana. Di Moskow ini, Benjamin merefleksikan pilihan politiknya, sebagaimana ditulisnya dalam Moscow Diary; apakah mengikuti Partai Komunis atau tetap berada di luar sebagai ‘left-wing outsider’. Namun ia memilih untuk tidak mengikuti partai mengingat gaya hidupnya yang berpindah- pindah.
Benjamin pada 1930 merencanakan untuk meninggalkan Jerman dan mengikuti temannya Scholem yang sudah lebih dahulu ada di Palestina. Bakhan, pertemuan antara Benjamin dan Perwakilan dari Hebrew University. Namun oleh satu dan lain alasan, kepergiannya itu dibatalkan. Pada tahun ini juga Benjamin mulai bersahabat dengan Bertolt Brecht yang berkat Lacis sudah dikenalnya sejak Mei 1929. Persahabatannya dengan Brecht ini semakin memperdalam komitmen Benjamin sendiri dalam pilihan politik yang dilakukannya di Capri. Ia juga mulai bersahabat dengan Theodor Adorno yang sudah dikenalnya sejak 1923 ketika mereka sama-sama terlibat dalam sebuah seminar.
Di Jerman sendiri, perpolitikan dan kehidupan mulai menunjukan kesimpang-siurannya. Republik Weimar yang dibangun pasca Perang Dunia I dengan penuh janji akan masa depan yang cerah di bawah koalisi Partai Sosial Demokrat (SPD), Partai Demokrasi Jerman (GDP), dan Partai Katolik Jerman mulai mengalami kebangkrutannya.[16] Perubahan di beberapa bidang kehidupan yang terlihat pada awal-awal Republik Weimar mulai merosot. Belanja negara yang berlebihan akibat tunjangan sosial sebagai program SPD mengakibatkan hutang luar negeri yang menumpuk. Kemunculan fasisme yang semakin kuat siap menerkam sistem politik liberal yang melahirkannya. Bukankah sistem politik itu jua yang memungkinkan adanya kampanye dari partai NAZI seperti ini,
FELLOW CITIZENS!
THE LION IS LOOSE!
WHO IS GUILTY?
THE JEWS!
ELECT THE GERMAN PEOPLE’S PARTY![17]
Pada 14 September 1930, NAZI berhasil mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilihan umum. Hitler lantas menjadi Kanselir pada 30 Januari 1933. Keadaan perpolitikan yang tak memungkinkan, NAZI yang terang-terangan mendiskriminasikan Komunisme dan Kaum Yahudi, sebuah puncak perseteruan yang sebenarnya sudah mulai mengemuka sejak sebelum Perang Dunia I, membuat banyak orang yang merasa terancam mulai meninggalkan Jerman. Benjamin adalah salah satu di antara mereka, meninggalkan Berlin dan pergi mengunjungi Paris pada Maret 1933. Setelah dari Paris, ia pergi ke Ibiza untuk mengunjungi saudaranya, Georg, seorang anggota aktif Partai Komunis Jerman yang ditahan di Ibiza.
Di Paris, Benjamin tinggal di apartemen saudarinya, Dora, dan beberapa kali pergi ke Denmark mengunjungi Brecht. Pada 1935, hubungannya dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt yang kini pindah ke New York semakin kental ditandai pula dengan saat itu institusi tersebut memberi komisi atas dua essai Benjamin ‘Problems in the Sociology of Language’ dan ‘Eduard Fuchs, Collector and Historian’. Di Paris ini ia menulis pula beberapa karangannya yang lain yang nantinya menjadi sangat penting seperti ‘The Work of Art in the Age of Its Technical Reproducibility’. Lepas tahun 1935, Benjamin mulai mengalami kesulitan di Paris. Setelah tidak lagi tinggal di apartemen saudarinya, ia berpindah-pindah tempat tinggal; motel dan hotel. Pada September 1939, ia sempat ditangkap dan dipekerja-paksakan namun selamat atas bantuan kawannya Adrienne Monnier.
Malam hari antara 26-27 September 1940, Benjamin meninggal dan tak ada yang tahu seperti apa peristiwa pada malam itu sesungguhnya. Bersama dirinya ditemukan pula di sana manuskrip yang belum selesai dari The Arcade Project dan Gesichtsphilosophische Thesen. Ia meninggal dalam keputusasaannya karena tidak bisa pergi ke Amerika ketika NAZI yang mengejar-ngejar kaum komunis serta Yahudi sudah menjadi momok nyata yang mengerikan di dataran Eropa. Padahal, ia sudah sangat mengusahakan hal itu bahkan sempat pula mencari tahu kemungkinan menjual Angelus Novus[18] sebagai cadangan keuangannya di Amerika nanti.
MATERIALISME HISTORIS TANPA TELEOLOGI
GT merupakan sebuah tulisan yang merangkumkan pemikiran Benjamin pada 1930-an dan juga pengalaman hidupnya sendiri. Selain itu, refleksinya dalam GT juga menyangkut runtuhnya Kiri Eropa menghadapi fasisme serta pakta antara Hitler-Stalin yang dihubungkannya dengan penyelidikannya tentang teologi politik.[19] Sedangkan Matthias Fritsch melihat kritikan Benjamin atas ide teleologi dalam konsepsi materialisme historis ini menekankan bahwa Marx, atau Sosial Demokrat pada masa itu, berada dalam bahaya oleh rasa aman akan hukum sejarah ini.[20]
Tentu banyak unsur yang dapat digali dari GT ini. Namun, pada bagian ini kita hanya akan berkonsentrasi pada persoalan usaha pembersihan teleologi dari materialisme historis. Hal-hal penting yang ada dalam GT seperti ingatan, momen mesianik, keselamatan tidak menjadi perhatian utama kita pada kesempatan ini. Dengan demikian, pembahasan kita lebih akan berkutat pada tesis tesis tertentu saja yang lebih secara langsung berhubungan dengan perihal teleologi dalam materialisme historis.
Tesis I seperti yang sudah kita singgung di awal tulisan ini sudah menunjukkan bagaimana Benjamin mencibir unsur teleologi dalam materialisme historis. Howard Caygill mengajak langsung melihat tesis XVIII untuk memahami hubungan dari materialisme historis dan teologi yang menjadi pembuka GT ini. Dalam tesis tersebut, Benjamin menulis,
“In relation to the history of organic life on earth ,” writers a modern biologist, “the paltry fifty millernnia of homo sapiens constitute something like two seconds at the close of a twenty-four-hour day. On this scale, the history of civilized mankind would fill one-fifth of the last second of the last hours.” The present, which, as a model of Messianic time, comprises the entire history of mankind in an enormous abridgment, coincides exactly with the stature which the history of mankind has in the universe.[21]
Kalimat terakhir dari Benjamin sendiri menunjukkan bahwa waktu sekarang sebagai model Waktu Messianis, merupakan keseluruhan sejarah umat manusia dalam ringkasan yang besar. terdiri dari seluruh sejarah umat manusia dalam sebuah ringkasan yang sangat besar. Dan Waktu Sekarang dengan demikian persis sama dengan sejarah keseluruhan umat manusia di alam semesta. Di sini, Benjamin menekankan pentingnya Waktu Sekarang, karena ia sama dengan keseluruhan sejarah umat manusia. Kesekarangan sebagai hal penting dalam sejarah jelas berbeda dengan teleologi, dan juga pemahaman seputar Mesianis pada umumnya, yang menekankan pada tujuan pada masa yang akan datang dari sejarah itu sendiri.
Jika tesis XVIII ini kita hubungkan dengan tesis II di mana Benjamin menyatakan perihal Mesianis yang baginya tidak hanya berurusan dengan masa depan; Mesianis tidak merujuk pada masa depan dari masa sekarang melainkan masa depan dari masa lalu. Masa depan dengan demikian selalu tidak melupakan masa lalu. Masa depan yang dibayangkan sekarang selalu pula dalam rujukannya dengan masa lalu. Sedangkan di sini yang pada tesis III Benjamin menekankan bahwa hanya mereka yang tertebuslah yang bisa memahami kepenuhan masa lalu.
Masih menurut sistem pembacaan dari Howard Caygill, tesis XVIII ini dibaca pula dalam hubungannya dengan tesis VIII–XIII. Tesis VIII dimulai dengan pemahaman seputar tradisi ketertindasan yakni keadaan darurat bukan merupakan sebuah pengecualian melainkan sebuah keharusan. Tesis IX lebih menukik lagi pada konsep sejarah Walter Benjamin. Dalam tesis ini, dengan menyimbolkan sejarahnya pada lukisan Angelus Novus, di mana dikatakannya bahwa malaikat ini merupakan malaikat sejarah yang seperti hendak membebaskan diri dari apa yang ditatapnya. Ia menatap masa lampau dan tampaknya ia hendak berhenti untuk membenahi segala yang hancur di hadapannya namun badai yang berhembus dari Firdaus mengepakan sayapnya dan menerbangkannya ke masa depan yang dipunggunginya. Angin badai inilah progresivitas.[22]
Di sini kita melihat bahwa bagi Benjamin, sejarah selalu terhempas ke depan dalam posisi meratapi kehancuran-kehancuran di masa lalu. Masa lalu yang berisi ketertindasan dan kehancuran yang menyedihkan. Sebuah thelos tak menjadi tujuan Sang Malaikat karena yang membahagiakan sudah hancur dan mendorongnya terus ke depan yang tak diketahuinya apa. Di sini sejarah bagi Benjamin adalah usaha untuk berhenti sejenak dan membenahi reruntuhan tapi itu tak mungkin karena progresivitas sejarah yang terus mendorongnya ke depan. Maka, yang menjadi perhatian sejarah Benjamin bukanlah pada sesuatu di ujung sana, tetapi apa yang nyata terjadi di hadapan kita yang sedikit lagi akan menjelma sejarah. Andaikan tak menatap ke belakang tetapi terus menatap ke depan, maka reruntuhan di masa lalu tak akan pernah kita ketahui.
Posisi menatap ke depan inilah posisi pembacaan sejarah yang dianut oleh pemahaman secara umum atas materialisme historis Marx dan juga Sosial Demokrat Jerman pada masa Republik Weimar. Lebih jauh lagi, Sosial Demokrat dikritiknya bukan hanya pada pemahaman seputar konsep kemajuan sejarah sebagai teleologi, tetapi juga kompromi politik dan ekonomi partai itu. Keruntuhan Republik Weimar adalah juga sumbangsih Sosial Demokrat yang menetapkan kebijaksanaan kesejahtraan sosial pekerja yang memakan anggaran negara Weimar begitu banyak. Pemborosan di bidang sosial ini di masa ketika dunia tengah mengalami kelesuan akibat Perang Dunia I mengakibatkan Weimar punya hutang yang banyak.[23] Krisis keuangan Weimar ini semakin diperparah dengan jatuhnya pasar saham di Amerika.[24]
Kritik atas praktik politik dan pemahaman Sosial Demokrat Jerman ini mengemuka dalam tesis X-XIII. Pada tesis X, Benjamin menyatakan bahwa kemunculan gemilang fasisme adalah konsekuensi dari optimisme berlebihan dari para pemimpin kiri yang melihat materialisme historis sebagai keotomatisan sejarah yang berujung pada kemenangan kaum proletar di akir sejarah, sebuah penyelesaian oleh materialisme sejarah sebagai penyelamat di akhir sejarah; di samping itu juga kompromi politik dan ekonomi mereka.[25] Lebih lanjut tentang awal tesis XI, Benjamin menulis demikian,
The conformism which has been part and parcel of Social Democracy from the beginning attaches not only to its political tactics but to its economic views as well. It is one reason for its later breakdown. Nothing has corrupted the German working class so much as the notion that it was moving with the current. It regarded technological development as the fall of the stream with which it thought it was moving.[26]
Menurut Matthias Fritsch, di sini Benjamin menekankan materialisme historis sebagai teori yang menekankan pada infrastruktur ekonomi harus direvisi mengingat sejarah tidak bisa dipandang hanya sebagai sejarah linear. Materialisme historis harus dilihat tidak lagi hanya sebagai gerakan secara homogen dari basis menentukan suprasturuktur saja, melainkan bagaimana bagian-bagian tertentu dari suprastruktur juga menentukan basis.[27]
Kita melihat bahwa ada beberapa poin yang bisa kita dapatkan pada kesempatan ini menyangkut teleologi dari materialisme historis yang coba dibersihkan oleh Benjamin. Pertama, Benjamin memberikan konsep baru tentang sejarah bukan sebagai sebuah tatapan terhadap thelos akhir yang ada di masa depan melainkan tatapan terhadap masa lalu yang adalah kehancuran. Subyek sejarah yang paham akan masa lalu ini, dimungkinkan untuk mendapatkan keselamatan; keselamatan yang adalah usaha diri subjek sejarah untuk menghentikan kehancuran yang mungkin terjadi di masa sekarang. Karena, masa depan adalah masa depan dari masa lalu. Masa lalulah yang memungkinkan masa depan, maka masa kini bukan hanya bersifat persinggahan semata. Masa kini berperan memahami masa lalu sehingga masa lalu yang nantinya muncul dari yang sekarang dalam keterlemparan ke masa depan selanjutnya, reruntuhannya sudah diselamatkan oleh masa sekarang yang sebelumnya. Kedua, Benjamin mengkritik pemahaman materialisme historis dengan kepercayaan pada thelos di akhir sejarah secara doktrinal yang dianut (sejauh pembacaan ini) Sosialisme Demokratis Jerman pada masanya. Benjamin menekankan pentingnya pemahaman akan masa lalu dan juga pentingnya memahami masa sekarang sebagai sesuatu yang sama dengan keseluruhan sejarah umat manusia. Maka, menyelamatkan sejarah umat manusia bukan melalui harapan akan penebusan sebagai akhir sejarah, melainkan bagaimana penebusan itu diupayakan pada masa sekarang.
Setelah kita melihat apa yang diusahakan Benjamin dalam GT, sekarang kita akan coba masuk pada pemahaman materialisme historis yang dikritik Benjamin. Bagian berikut adalah pemaparan seputar basis dan suprastruktur yang oleh Benjamin coba direvisi dengan mengatakan bahwa suprastruktur pun pada saat tertentu bisa menentukan basis.
BASIS DAN SUPRASTRUKTUR
Salah satu kalimat terkenal Marx tentang sejarah adalah kutipan dari karyanya bersama Engels yakni Manifesto Komunis. Dia menulis di sana bahwa perjalanan sejarah adalah pertentangan antarkelas,
The history of all hitherto existing society is the history of class struggles. Free man and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another…[28]
Di manakah letak pertentangan ini? Bagi Marx, realitas masyarakat itu adalah proses produksi kebutuhan dasar yakni praksis. Yang pertama-tama dari praksis ini adalah produksi atas kebutuhan untuk terus bertahan hidup ini (dengan kata lain ekonomi) menjadi bangunan bawah yang menopang bangunan atas dalam kehidupan masyarakat. Bangunan atas (pemikiran, politik, seni, dll) mengikuti apa yang ada di bangunan bawah (kepemilikan alat kerja, kerja, pemilik modal dan pekerja, dll). Jadi, kesadaran atau pemikiran akan berubah ketika sistem produksi/kerja ini berubah.
Basis ini ditentukan dua hal penting yakni tenaga-tenaga produktif yakni kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat dalam mengerjakan dan mengubah alam dan hubungan-hubungan produktif yakni hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur yakni tatanan institusional yakni segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, dll dan tatanan kesadaran kolektif yakni yang memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi spiritual pada usaha manusia.[29]
Perjalanan sejarah berdasarkan pendekatan materialisme historis yang menjelaskan seputar wilayah praksis sebagai produksi kebutuhan utama manusia ini digambarkan Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. Dalam buku ini secara lugas digambarkan oleh Engels tahapan tahapan perubahan masyarakat berdasarkan caranya mendapatkan kebutuhan pribadinya. Pada awalnya unsur alamlah yang menentukan perkembangannya. Selanjutnya, pengefisiensian atas kerjalah, yang dimungkinkan oleh penemuan-penemuan, menentukan perubahaan selanjutnya. Perubahan yang didasari oleh material alam dan cara pengefektifan kerja menentukan gerak perubahan masyarakat. Hal ini berjalan seiring dengan perubahan dalam sistem kepemilikan properti.
Mengenai basis dan suprastruktur yang saling mempengaruhi ini, ada baiknya kita menggambarkannya dalam contoh. Misalnya, kita ambil contoh dalam sejarah, ketika dalam masyarakat Indonesia kepemilikan tanah seutuhnya adalah milik raja atau suku-suku tertentu, dan kerja dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk sembah bakti pada raja dan dihayati sebagai pengejawantahan “dewa” di bumi, maka nilai-nilai kehidupan bernegara yang dianutnya pun adalah raja yang melindungi rakyat. Namun ketika swastanisasi terjadi sehingga orang-perorangan bisa memiliki tanah dan juga alat-alat lainya, pandangan hidup bernegara pun berubah; bukan lagi raja tetapi pemerintah yang adalah pilihan rakyat sendiri. Pada titik tertentu suprastruktur (ideologi dan kepercayaan) pada titik tertentu akan berbalik dan menjadi sesuatu yang mendominasi manusia untuk menjalankan hidupnya. Mari kita ambil sebuah contoh lagi demikian, masyarakat Indonesia tradisional punya semangat menerima takdirnya. Manusia diciptakan berbeda-beda dengan tugasnya masing-masing makadari itu jalani saja apa yang menjadi nasibmu di dunia ini.
Kita melihat di sini bahwa pada momen tertentu ideologi itu atau bangunan atas itu akan menentukan bangunan bawah pula. Jadi, bisa dikatakan di sini bahwa pada posisi pertama, basis selalu menentukan bangunan atas. Namun dalam perkembangannya, bangunan atas ini akan berkembang sedemikian rupa dan mengalami ‘pengindependensian’ dirinya sehingga bisa berbalik menentukan proses pada bangunan bawah.
Bahwa suprastruktur tidak selalu ditentukan oleh basis ini sudah disadari pula oleh Marx dan Engels. Dalam suratnya kepada Joseph Bloch di Koenigsberg bertarik 21(-22) September 1890, Engels menulis demikian,
…According to the materialist conception of history, the ultimately determining element in history is the production and reproduction of real life. More than this neither Marx nor I have ever asserted. Hence if somebody twists this into saying that the economic element is the only determining one, he transforms that proposition into a meaningless, abstract, senseless phrase. The economic situation is the basis, but the various elements of the superstructure—political forms of the class struggle and results, to wit: constitutions established by the victorious class after a successful battle etc., juridicial forms, and even the reflexes of all these actual struggles in brains of participants, political, juristic, philosophical theories, religious views and their further development into system of dogmas—also exercise their influences upon the course of historical struggles and in many cases preponderate in determining their form.[30]
Pemahaman ini melandasi pula kritik sastra Marxisme dengan salah satu pemikir pentingnya saat ini, Terry Eagleton. Eagleton berdasarkan apa yang dikatakan Engels ini menekankan bahwa kritik sastra Marxisme bukan sekadar cerminan pasif basis meskipun ia adalah bagian dari suprastruktur. Maka, seperti yang sudah kita uraikan di atas, basislah—pada pokok utamanya—yang menentukan bangunan atas. Namun dalam perjalanannya, bangunan atas ini bisa pula menentukan basis, seperti yang sudah kita perlihatkan dari contoh di atas; sesuatu yang oleh Engels dan Marx sudah disadari sedari awalnya.
PENUTUP
Walter Bernjamin termasuk generasi yang mengalami masa keemasan Weimar dan juga masa mulai runtuhnya negara itu; bahkan kematiannya pun bisa kita lihat sebagai akibat dari perpolitikan di Jerman saat itu. Keadaan zaman yang demikian direfleksikan Walter Benjamin dalam GT, sehingga seperti yang dikatakan oleh Caygill bahwa Walter Benjamin melihat munculnya Fasisme Nazi ini sebagai konsekuensi atau akibat dari sifat keras kepala para pemimpin kiri Republik Weimar. Di sini Walter Benjamin berusaha menunjukan kesalahan-kesalahan pemahaman atas materialisme historis yang dalam pandangannya berperan juga menciptakan Eropa pada umumnya dan Jerman khususnya yang porak poranda akibat munculnya secara kuat fasisme.
Kesalahan yang ditunjukan Benjamin adalah penerjemahan dan pemahaman kaum Sosial Demokrat Jerman saat itu yang menerima akhir sejarah sebagai thelos dokrinal dari materialisme historis. Pemahaman yang seperti ini salah satu dampaknya, seperti yang diutarakan oleh Matthias Fritsch justru mendekatkan pada pemahaman sejarah a la borjuis[31] pada titik di mana kita tinggal duduk menunggu datangnya akhir sejarah itu. Walter Benjamin lantas menunjukan unsur penting sejarah yakni pemahaman akan masa lalu (dimetaforakan dalam malaikat yang ternganga akibat masa lalu yang dilihatnya) yang memungkinkan loncatan masa kini terhadap masa nanti yang adalah juga tatapan akan masa lalu yang berikutnya, karena sejarah itu linear dan terus melaju ke depan. Walter Benjamin sama sekali tidak memikirkan soal akhir sejarah sebagai sebuah janji manis tentang keselamatan. Baginya keselamatan harus diusahakan pada Waktu Sekarang karena Waktu Sekarang adalah sebuah momen yang mewakili keseluruhan sejarah peradaban manusia.
Pemahaman yang keliru kedua adalah perihal basis yang melulu menentukan suprastruktur sebagaimana dipahami oleh kaum Sosialis Demokratis Jerman. Benjamin merevisinya dengan mengatakan bahwa suprastruktur pun pada bidang-bidang tertentu turut menentukan basis. Hal ini ternyata juga sudah dipahami oleh Marx dan Engels.
Bagi saya sumbangsih terpenting Walter Benjamin dari GT-nya ini adalah ia berhasil menunjukkan bahwa materialisme historis tidak bisa dipahami sebagai perjalanan sejarah dengan janji Keselamatan di akhir sejarahnya. Keselamatan itu harus diradikalkan dan diejawantahkan pada masa sekarang. Hal ini dimungkinkan oleh pemahaman yang utuh atas masa lalu karena unsur masa lalu justru penting dalam sejarah. Sedangkan imajinasi masa depan yang bagaikan Firdaus tidak lagi diperhitungkan Benjamin. Usaha membawa Keselamatan pada Waktu Sekarang adalah aksi yang harus diambil subyek sejarah Benjamin.
Daftar Pustaka
Benjamin, Andrew (ed.). 2005. Andrew Benjamin (ed.), Walter Benjamin and History. London dan New York: Continuum.
Benjamin, Walter. 1968. Illuminations: Essays and Reflections. (terj. Harry Zohn). New York: Schocken Books.
Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing.
Caygill, Howard. 2005. Andrew Benjamin (ed.), Walter Benjamin and History. London dan New York: Continuum.
Engels, Friedrich. 1972. Borodulina, T. (peny.). K. Marx, F. Engels, V. Lenin On Historical Materialism: A Collection. Moscow: Progress Publishers.
Ferris, David. 2008. The Cambridge Introduction to Walter Benjamin. Cambridge: Cambridge University Press.
Fritsch, Matthias. 2005. The Promise of Memory: History and Politics in Marx, Benjamin, and Derrida. New York: State University of New York Press.
Kleden, Paul Budi. 2005. Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.), Mengabdi Kebenaran: Menyongsong HUT ke-80 P. Jozef Pieniazek SVD. Maumere: Penerbit Ledalero.
Leslie, Esther. 2007. Walter Benjamin. London: Reaktion Book.
Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Marx, Karl. 2004. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital (terj. Oeh Hay Djoen). Jakarta: Hasta Mitra.
Marx, Karl dan Friedrich Engels. 1988. Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto. (terj. Martin Milligan). New York: Promotheus Books.
Steiner, Uwe. 2010. Walter Benjamin: An Introduction to His Work and Thought (terj. Michael Winkler). Chicago dan London: The University of Chicago Press.
Suryajaya, Martin. 2011. “Kisi-kisi Misteri Inkarnasi” dalam bulletin Problem Filsafat No. 9, Tahun I, Mei.
Weitz, Eric D. 2007. Weimar Germany: Promise and Tragedy. Princeton: Princeton University Press.
[1] Gesichtsphilosophische Thesen ini adalah judul yang dipakai dalam buku Illuminationen: Ausgewāhlte Schriften, (Frankfurt a. Mein: Suhrkamp Verlag, 1961). Ueber den Begriff des Gesichte juga dipakai sebagai judul tulisan ini. Dalam terjemahan Inggris, ada yang mengiktui judul kedua, misalnya Harry Zohn menerjemahkannya, Theses on the Philosophy of History. Judul kedua dipakai misalnya misalnya dalam buku editan Andrew Benjamin, Walter Benjamin and History, dan juga buku karangan Uwe Steiner, Walter Benjamin: An Introduction to His Work and Thought.
[2] Walter Benjamin, Illuminations: Essays and Reflections, diterjemahkan oleh Harry Zohn, (New York: Schocken Books, 1968), 253.
[3] “Teleology. Ancient Greek philosophy, philosophy of science, philosophy of religion [from Greek telos, the end or aim of a thing + logos, study] Aristotle assumed that everything that happens in the universe must be understood as the striving of something toward an end promoting its well-being or helping it to survive. He ascribes telos to plants and animals, believing that their behavior serves their needs and preserves their life. In view of the regularity in the natural world, he claims that nature itself must have an internal end or purpose. Aristotle did not admit a conscious, rational agent in his teleological explanation, but in the teleological argument or argument from design, the Christian tradition infers from the regularity in nature that there is a supernatural designer, God, who designed everything in the world to be of service to man. The theory of evolution denies the need to posit a purposive designer, but confirms that functional adaptation serves a purpose of survival in natural selection. Since purposive and functional activities are observed universally, teleology is much discussed in the philosophy of science. Whether functional or teleological explanation is a distinctive kind of explanation or can be reduced to causal explanation is a matter of controversy.” Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing, 2004), 680.
[4] “Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan ia secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir, yang bahkan ditransformasikan menjadi suatu subyek independen, dengan nama Idea adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari Ide itu. Bagi saya sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.” Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen, (Jakarta: Hasta Mitra, 2004), xxxix.
[5] Baca pemaparan Martin Suryajaya tentang buku The German Ideology ini dalam makalahnya untuk diskusi Komunitas Marx 18 April 2011 di Kampus STF Driyarkara yang diterbitkan juga di Problem Filsafat: Buletin Komunitas Marx, No. 9/Tahun I/Mei 2011.
[6] Uwe Steiner, Walter Benjamin: An Introduction to His Work and Thought, diterjemahkan oleh Michael Winkler, (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 2010), 169.
[7] Lihat Paul Budi Kleden dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi, Mengabdi Kebenaran: Menyongsong HUT ke 80 P. Jozef Pieniazek SVD, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2005), 100.
[8] Andrew Benjamin dalam Andrew Benjamin (ed), Walter Benjamin and History, (London dan New York: Continuum, 2005), 1.
[9] Bagian ini bersumber utama dari David Ferris, The Cambridge Introduction to Walter Benjamin (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 1-21, dengan beberapa referensi lain sebagaimana ditunjukan oleh keterangan-keterangan selanjutnya.
[10] Esther Leslie, Walter Benjamin, (London: Reaktion Book, 2007), 20-21.
[11] Esther Leslie, Walter Benjamin…, 30.
[12] Esther Leslie, Walter Benjamin…, 25 dan 28.
[13] Eric D. Weitz, Weimar Germany: Promise and Tragedy, (Princeton: Princeton University Press, 2007), 7.
[14] Tesisnya ini tak pernah mendapatkan pengakuan akademis karena tak berhasil mendapatkan pembimbing oleh karena beberapa alasan. Namun disertasinya tersebut belakangan terbit dengan judul The Origin of German Tragic Drama (Ursprung des deutschen Traurspiels).
[15] David Ferris, The Cambridge Introduction…, 21.
[16] Eric D. Weitz, Weimar Germany…, 84.
[17] Eric D. Weitz, Weimar Germany…, 124.
[18] Angelus Novus merupakan lukisan karya Paul Klee (1879-1940) seorang pelukis Swiss. Angelus Novus ini lantas menjadi simbol dari pemikiran Walter Benjamin tentang sejarah.
[19] Howard Caygill dalam Andrew Benjamin (ed), 215.
[20] Matthias Fritsch, The Promise of Memory: History and Politics in Marx, Benjamin, and Derrida, (New York: State University of New York Press, 2005), 31.
[21] Walter Benjamin, Illuminations…, 263.
[22] Lihat juga pemaparan perihal Angelus Novus ini dari Paul Budi Kleden, 103-108.
[23] Sedangkan untuk Eropa pasca Perang Dunia II, kita tahu bahwa kestabilan ekonomi di sana dibantu oleh Amerika lewat Marshal Plan. Salah satu contohnya adalah lebih cepat kembali sejahtranya masyarakat Jerman Barat karena mereka mendapatkan bantuan ini sedangkan Jerman Timur masih berkesulitan penghidupannya.
[24] Eric D. Weitz, Weimar Germany…, 163-164.
[25] Howard Caygill, 216.
[26] Walter Benjamin, Illuminations…, 258.
[27] Matthias Fritsch, The Promise of Memory…,32.
[28] Karl Marx dan Friedrich Engels, Economic and Philosophy Manuscript of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Promotheus Books, 1988), 209.
[29] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), 143-145.
[30] T. Borodulina (peny.) K. Marx, F. Engels, V. Lenin On Historical Materialism: A Collection, (Moscow: Progress Publishers, 1972), 294.
[31] Matthias Fritsch, The Promise of Memory…, 32.
*Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Jurnal Filsafat Driyarkara, Th. xxxii No. 2/2011 (Tema: Karl Marx & Marxisme: Sebuah Pengantar) hal. 127-141