HARI KEDUAPULUH
“dalam suasana hati yang sangat sedih
si Lugu berjalan-jalan di tepi pantai
sambil menyandang senapan yang
berkapasitas dua tembakan beruntun
dan menyisipkan pisau besar di pinggang.”
(Voltaire)
solidaritas merangkak di tanah
menghadang kematian di udara
bom-bom berjatuhan di segala
penjuru arah
pasukan pejalan kaki berhamburan
dan begerilya di gorong-gorong
namun solidaritas terus kokoh
menantang social distancing
namun solidaritas terus bergema
meski bersemunyi di gorong-gorong
apa yang tersisa pada manusia
solidaritas
waktu menciptakan berjuta
suasana hati
tempat-tempat menciptakan
suasana hati berbeda-beda
hanya ada satu tempat
kini
apakah ia tak bisa menciptakan
berwarna-warba suara hati?
lalu orang-orang bicara tentang
kreativitas
lalu orang-orang bicara tentang
suasana hati via gadget
lalu orang-orang bicara tentang
apakah hari esok akan berbeda
dengan hari kemarin
ini dialektika
ada aufgehoben
pada matahari hari esok
kemarin adalah tesis
jetztzeit adalah anti tesis
dan kita selalu hidup dan
menghidupi antitesis
kegamangan pada kemungkinan
yang lalu bayang-bayang
yang esok angan-angan
kita berdiri pada waktu yang sama
kita berdiri pada tempat yang sama
ada pelajaran filsafat dalam puisi
ada jargon-jargon selilit
di gerigi gigil puisi
ketika kita ada di esok hari
sintesis menjelma antitesis
tesis selalu lesap di hidup kita
dan seniman
ia tercenung bermenung
di pinggir semangat zaman
mengira-ngira hari esok
menimba-nimba hari kemarin
di tengah hidupnya
tak tercatat dalam statistika negara
dan seniman
menjelma kerumunan di hari-hari ini
selalu menjadi catatan kaki
bagi geliat zaman hari ini
selalu menjadi dalam kurung
dari peristiwa-peristiwa
pengubah pendulum waktu
dan seniman ia tercenung termenung
di keruk semangat zaman
pada akhir huruf konsonan
paling tak penting
jadi begini tekniknya
letakkan dulu kutipannya di bawah
di bawah sana
ada ruang kosong
nah, isilah
seperti kita mengisi hari-hari
yang berantakan ini
“dan saat aku bertanya-tanya
ketika melewati bangunan yang
hancur itu
apakah suatu hari nanti
mereka akan kembali berdiri
seperti semula
lalu, suatu pagi aku kembali
ke sana dan semua sudah rata
tanah
digusur buldozer”
(Kazuo Ishiguro)
Puisi di atas saya tulis ketika #workfromhome memasuki hari ke sekian. Tidak presisi hari keduapuluh sebetulnya karena saya beberapa kali absen untuk menulis puisi. Awalnya, saya ingin konsisten menulis satu hari satu puisi selama #workfromhome di masa pandemi COVID-19. Kita kini memasuki era baru memang dan oleh karenanya aktivitas tersebut dihentikan.
Lantas pada suatu hari datanglah pesan dari Jessica Tanto perihal ingin mengajak kolaborasi; ia meminta saya membaca satu puisi dan ia akan meresponnya dalam gerak tari. Saya lantas memilih puisi di atas untuk dibacakan. Rekaman audionya saya kirimkan pada Jessica yang lantas diinterpretasikannya sebagaimana yang ada di video di bawah ini: