Nietzsche terkenal sebagai fisuf palu godam. Hampir semua pemikir sebelum dia, tak ada yang lolos dari ketukan palunya dan pemikir-pemikir setelah Nietzsche harus menimbang baik-baik proyek pemikiran mereka dan memeriksa baik-baik diri mereka sendiri di depan palu godam Nietzsche. Dengan palu godamnya ini, Nietzsche menempati posisi yang vital sekaligus unik dalam tradisi filsafat barat modern yakni sebagai “garis batas” zaman modern dan zaman setelahnya. Dalam “General Introduction” untuk buku The Nietzsche Reader, editor buku itu (Keith Ansell Pearson dan Duncan Large) menyatakan bahwa Nietzsche menjadi poin teramat penting dalam kultur intelektual dalam abad 21 ini bersama Marx dan Freud[1]. Jadi, Nietzsche bukan hanya mengakhiri zaman modern melainkan filsafat setelahnya (abad 20 dan abad 21) sangat dipengaruhi oleh pemikirannya[2].
Salah satu yang bisa kita sebut sebagai pukulan godam Nietzsche terhadap para pemikir sebelum dan sesudahnya adalah penilaian Nietzsche terhadap siapa saja (filsuf) yang sangat getol untuk menemukan kebenaran. Menurut Nietzsche, mereka-mereka yang sangat ingin membuka tabir kebenaran diumpamakannya sama seperti anak muda Mesir yang membuka selubung patung Dewi Kebenaran. Dan ketika selubung itu sudah terbuka, anak-anak muda ini begitu bahagianya. Padahal, di belakang selubung itu, masih ada selubung lain lagi. Selain itu, Nietzsche dengan metode genealoginya memberi sebuah pertanyaan reflektif untuk siapa pun bahwa ada apa dengan dirimu, dengan kehendakmu, ketika engkau menghendaki sesuatu? Entah itu kehendak atas kebenaran atau tujuan akhir dari sesuatu. Bagi Nietzsche, mereka yang mencari kebenaran, tujuan, dan pendasaran atas hidup adalah mereka yang bertipe dekaden, sebaliknya tipe anseden adalah mereka yang menerima hidup apa adanya, menerima hidup seperti keriangan sosok seorang bayi yakni menghadapinya dengan ya yang berjarak sekaligus dengan tidak yang berjarak; sebuah sikap waspada dan main-main sekaligus di depan kehidupan.
Salah satu pemikir yang mendapat kritikan atau dicap Nietzsche sebagai yang bertipe dekaden adalah Sokrates. Hal ini bisa ditemukan dalam tulisan Nietzsche berjudul “The Problem of Socrates”[3]. Tulisan ini mencoba membaca teks “The Problem of Socrates” untuk menemukan di dalam teks itu seperti apa tuduhan-tuduhan Nietzsche pada Socrates dan sebisa mungkin mencari kesinambungan tuduhan Nietzsche tersebut dengan penikiran-pemikirannya yang lain di luar teks “The Problem of Socrtases”.
Menghakimi Mereka yang Berjarak
Teks “The Problem of Socrates” (PS) berciri-khas yang sama dengan kebanyakan teks Nietzsche lainnya yakni berbentuk aforisme-aforisme, tidak sistematis, tidak seperti tulisan akademis lainnya.
Membaca teks Nietzsche, konsekuensi dari gayanya yang tidak sistematis akademis namun lebih bersifat sastrawi ini, kita harus selalu menyadari kekayaan makna yang bisa didapatkan dari kalimat-kalimat berciri demikian. Membaca teks Nietzsche, kita tak perlu bersusah payah untuk menguliti teks tersebut untuk mendapatkan apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena, Nietzsche sendiri tidak menganjurkan pembacanya untuk mengikuti dia, melainkan mengikuti jalan si pembaca itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran yang beragam adalah suatu konsekuensi logis.[4]
Nietzsche membuka The Problem of Socrates dengan kalimat demikian, “In every age the wisest have passed the identical judgement on life: it is worthless”. Nietzsche menunjukan bahwa ada pandangan negatif dari para pemikir terhadap kehidupan. Pada hemat penulis, kehidupan yang dipandang negatif itu adalah objek refleksi dari para pemikir sendiri untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Bagaimana pun juga, pemikir adalah manusia yang tinggal di bumi. Dengan demikian, para pemikir dalam teks ini sebenarnya sudah mengambil jarak dengan kehidupan itu sendiri. Bisa jadi jarak yang diambil ini bersifat hierarkis, dalam pengertian pemikir menganggap dirinya lebih tidak negatif dari pada dunia itu. Atau para pemikir tetap menganggap dirinya negatif, karena ia adalah bagian dari kehidupan, tetapi yang negatif yang terselamatkan karena ia menyadari kenegatifan itu. Dengan demikian, pemikir dan apa yang dipikirkannya telah berjarak. Bisa ditanyakan dengan demikian, sejauh apa sang pemikir bisa memahami apa yang dipikirkannya bila ia sendiri sudah berjarak dengan apa yang hendak dipahaminya?
Dari pembukaan yang seperti menghakimi semua pemikir itu, Nietzsche lantas membicarakan Sokrates yang baginya adalah “….shrewdest of all self-deceivers?” (paragraf 12, kalimat 1, (PS)). Sokrates bersama Plato bagi Nietzsche adalah orang-orang yang ikut membawa Yunani ke dalam kehancuran.[5] Kehancuran yang dimaksudkan Nietzsche di sini mungkin adalah kemunduran selera dari selera tinggi ke selerah rendah seperti yang diungkapkan dalam paragraf 5 (PS), “It is above all the defeat of a nobler taste; with dialectics the rabble gets on top”.
Pada intinya, bagi Nietzsche, Sokrates dengan dialektikanya membuat orang Yunani yang sebelumnya menghayati hidup sebagaimana yang dihayatinya dalam kisah-kisah tragedi mereka yang bagi Nietzsche menunjukan sikap ya—tidak—yang berjarak terhadap hidup, beralih pada dialektika untuk mencari kebajikan. Padahal, seperti yang diungkapkan dalam paragraf 5 (PS), bagi orang Yunani sebelum Socrates, dialektika sangat dijahui dan dianggap tidak sopan.
Di paragraf 12 (PS), penulis menemukan sesuatu yang “lunak” setelah sebelum-sebelumnya Nietzsche begitu “garang” terhadap Sokrates. Nietzsche membuka paragraf terakhir itu dengan pertanyaan bahwa apakah Sokrates memahami hal itu (sebuah kemunduran yang ditawarkannya pada masyarakat Yunani)? Nietzsche tidak menjawabnya secara pasti tetapi dengan nada ironi ia mengatakan bahwa Sokrates-lah yang ingin mati. Orang Athena tidak memberinya racun namun Sokrates sendirilah yang memintanya (memaksa Athena memberikan itu padanya). Selanjutnya Nietzsche menutup “The Problem of Socrates” dengan kutipan langsung dari Sokrates yang intinya menyatakan bahwa Sokrates mengakui diri bukanlah seorang dokter dan ia sudah lama sakit.
Penulis mau mengartikan paragraf terakhir dari “The Problem Socrates” ini demikian:
Apakah Sokrates memaksa Athena memberinya racun adalah karena Sokrates dengan dialektikanya itu (diingat bahwa dialektika adalah sesuatu yang sebenarnya sangat dibenci dan dijauhi oleh orang Yunani sendiri) sendiri telah merencanakan bunuh diri? Karena Sokrates sebagai orang Yunani, pasti tahu bahwa tradisi negeri itu tidak terlalu bersahabat dengan dialektika. Ataukah karena Sokrates sudah menyadari diri sebagai seorang yang sakit (goyah, tak kokoh, sebagaimana yang dituduhkan Nietzsche di paragraf 1 (PS)), sehingga ia mencari sebuah cara mati yang lebih terhormat?
Sebagai seorang filsuf yang tak mau diikuti, Nietzsche menyembunyikan hal-hal tertentu, atau membiarkan hal-hal tertentu bisa diartikan berbagai cara, sehingga mengandaikan pembacanya mencari tahu sendiri dengan jalannya sendiri. Dengan demikian, kata problem Sokrates sendiri janganlah pula kita artikan secara satu bahwa Sokrates membawa masalah pada kemunduran masyarakat Yunani, melainkan harus pula bisa kita artikan atau kita cari cara mengartikan yang lain, karena teks ini sendiri pun tidak memberi jawaban akir. Membaca Nietzsche sepertinya memang memasuki sebuah dunia teka teki.
Daftar Bacaan:
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007.
Nietzsche, Friedrich. Twilight of the Idols and The Anti-Christ. diterjemahkan oleh R.J. Hollingdale. Midllesex: Penguin Books. 1974.
Pearson, Keith Ansell dan Duncan Large (editor), The Nietzsche Reader, Oxford: Blackwell Publishing Ltd. 2006.
Wibowo, A. Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press. 2004.
[1] Lih. Keith Ansell Pearson dan Duncan Large (editor), The Nietzsche Reader, (Oxford: Blackwell Publishing Ltd), 2006, hlm. xviii. Lihat juga catatan kaki 1 di halaman yang sama, di mana diungkapkan bahwa Paul Ricoeur termasuk yang melabeli ketiganya sebagai school of suspicion.
[2] Hal ini ditekankan juga oleh F. Budi Hardiman dalam Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 257.
[3] Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, diterjemahkan oleh R. J. Hollingdale (Middlesex: Penguin Books), 1974, hlm. 29-34. Kutipan dari teks The Problem of Socrates selanjutnya merujuk ke teks ini.)
[4] Hal ini seperti diungkapkan A. Setyo Wibowo dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press), 2004, terutama bagian Pengantar Penulis dan Bab I. Penulis buku tersebut menambahkan pula bahwa, nanti akan bisa dilihat, tafsiran mana yang bergaya dekaden atau ascenden. Bagi Nietzsche sendiri, seperti yang dikupas dalam buku ini, bahwa ada orang yang cukup kuat untuk masuk ke kedalaman dan ada juga yang tidak cukup kuat sehingga cukuplah untuk tidak masuk ke kedalaman. Buku Gaya Filsafat Nietzsche juga menjadi sumber utama dalam penulisan tulisan ini.
[5] Seperti yang dijelaskan A. Setyo Wibowo bahwa zaman Socrates dan Platon adalah zaman pasca perang saudara di Yunani. Sehingga Yunani pada saat itu memang mengalami kemunduran, entah di bidang kehidupan bernegara (kota), perdagangan, dan lain sebagainya. Mungkin yang dimaksud Nietzsche adalah juga kehancuran dalam pemahaman ini.
Catatan: Tulisan dari kuliah ini pertama kali dipublikasikan di kecoamerah.blogspot.com, 26 Desember 2009.