Umberto Eco adalah nama yang tak asing bagi pencinta sastra dan filsafat di dunia pun pula Indonesia. The Name of The Rose, novel pertamanya, sudah berhasil mengukuhkannya sebagai sastrawan besar dunia. Eco tak bisa sekadar kita lihat sebagai sastrawan kelas wahid dunia. Ia juga seorang filsuf, terkhusus semiotika, yang diundang memberi kuliah di universitas-universitas terkemuka dunia. Selain itu, pakar sejarah abad pertengahan Eropa adalah titel yang tak salah disematkan padanya. Dan saya kira, tiga kemampuannya itu bermuara penuh pikat dalam novel, The Prague Cemetery.
The Prague Cemetery berkisah tentang Eropa abad ke-19; Eropa yang dilanda badai pencerahan. Abad Pencerahan terutama dicirikan oleh pemahaman bahwa manusialah titik awal dan tujuan dari dunia dan kehidupan. Yang terpenting adalah manusia yang berpikir. Cogito ergo sum—aku berpikir maka aku ada—demikian diktum terkenal Rene Descartes, filsuf Aufklaerung. Dalam The Prague Cemetery, setelah Bab I berisi narasi narator pertama, Eco lantas mengajukan judul Bab II yang sangat berciri pencerahan ini, “siapakah aku”. Setelah itu, mengalirlah pada kita cerita tentang Eropa pada abad itu.
Eropa abad ke-19 diceritakan melalui seorang figur yang katakanlah berada di dua kaki. Ini salah satu kecemerlangan The Prague Cemetery yang membuat kita menganga. Simonini hidup bersama kakeknya, seorang pembenci Aufklaerung yang merongrong kesucian Gereja. Dalam sejarah, masa sebelum Aufklaerung dikenal sebagai Abad Kegelapan yang dicirikan oleh kekuasaan Gereja Katolik dengan Tuhan sebagai yang terutama. Di sisi lain, ayah Simonini adalah anak zaman Aufklaerung. Ayahnya sangat membenci gereja, terkhusus Jesuitisme yang justru adalah kawan-kawan karib Kakeknya. Dari Sang Kakek Simonini mendapatkan warisan pemikiran Abad Pertengahan dan melalui Ayahnya, ia mendapatkan faham-faham progresif ala Aufklaerung. Eco mengajukan tokoh protagonis utama, Simonini, sebagai potret kegamangan manusia yang berada pada perarlihan zaman. Pada Simonini, semangat zaman sebelumnya tak hilang begitu saja, bersamaan dengan itu, semangat zaman baru pun merasukinya.
Dua hal berbeda yang terjadi di masa kecil Simonini mewarnai keseharian selanjutnya. Dan The Prague Cemetery berhasil menghadirkan Eropa abad 19 secara lengkap—ide Aufklaerung, komunisme, psikologisme, feodalisme, gereja, dan Semitisme—lantaran tokoh utamanya adalah Simonini yang berada pada persimpangan ini. Dengan latar belakang diri yang mengetahui seluk beluk kekuasaan lama dunia (Gereja) dan ide-ide kemajuan, serta pencerahan, Simonini leluasa memasuki segala relung Eropa abad ke-19. Dari Perayaan Ekaristi Setan hingga Komune Paris, dari sang pemberontak Garibaldi hingga penulis kenamaan Dumas dapat dirangkai Simonini. Untuk itu, Eco harus menciptakan tokoh fiktif—seperti keterangan yang diberikan pada halaman 604-605—Simone Simonini yang kuat.
Eco pada hemat saya mematahkan cara bertutur sastra konfensional. Galibnya, untuk menceritakan kisah secara lengkap, penulis menggunakan sudut pandang ‘orang ketiga serba tahu’. Sedangkan sudut pandang ‘akuan’ biasanya akan terjebak pada penceritaan hanya pada satu sudut saja. Eco justru menggunakan sudut pandang ‘akuan’. Namun ‘akuan’ Eco adalah ‘akuan serba tahu’. Untuk itu, Eco mempersiapkan dengan teliti tokoh ‘akuan’-nya, Simone Simonini.
Namun, Eco terlalu pandai untuk menciptakan Simonini bak manusia super. Isi kepala Simonini memang mendua. Konsekuensinya, dengan memanfaatkan pengetahuan yang katakanlah briliant atas ilmu psikologisme pra-Freud, Eco memberi konsekuensi yang tak gampang untuk tokohnya. Simonini mengidap kepribadian ganda. Namun, kepribadian gandai ini pun dengan lihai dimanfaatkan Eco untuk menciptakan puncak-puncak konflik The Prague Cemetery.
The Prague Cemetery adalah sejarah Eropa yang digambarkan dengan lihai dan piawai. Fakta-fakta sejarah berpadu dongeng yang menjelma novel sejarah nan memukau. Dalam The Prague Cemetery kita menyaksikan tarikan antara pola pikir dan penguasa dunia lama, Gereja, berhadapan dengan pola pikir yang baru, modernisme/individualisme. Kita pun bahkan mampu mencium akar dari Perang Dunia II di dalam novel ini. Dalam Perang Dunia II kita tahu ada sebuah narasi besar yakni pembantaian atas Ras Yahudi oleh Hitler dan Nazinya. The Prague Cemetery rupanya menunjukkan pada kita bagaimana akar dari kebencian atas Yahudi itu terjadi di Eropa, bahkan sebelum Perang Dunia I.
The Prague Cemetery pada hemat saya adalah sebuah novel sejarah yang mendekati sempurna. Pengetahuan sejarah yang baik dan kelihaian memanfaatkan pengetahuan itu dalam sebuah narasi cerita menampak dalam novel ini. Rupanya dengan novel Umberto Eco ini kita bias belajar dan mengukur kualitas novel sejarah dalam negeri kita. Semoga kita banyak belajar dari The Prague Cemetery dan Umberto Eco.
Judul: The Prague Cemetery
Pengarang: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Tebal: vii + 612
Penerbit: Bentang (Yogyakarta, 2013)
Catatan: tulisan ini dipublikasikan di blog lama saya, kecoamerah.blogspot.com, pada September 2013 yang lalu.