Pada suatu masa, jauh jauh dan jauh sekali dari hari ini, ada beberapa mahasiswa FIB UI yang iseng mau menerbitkan sebuah majalah independen. Entah dari mana ide itu merasuki kepala mereka; bisa jadi karena bersinggungan dengan Media Kerja Budaya, Majalah Lentera, atau yang paling dekat dengan masa mereka, SOEMBOE.
Obrolan singkat mau pun padat dan tak jelas kerap terjadi Di Bawah Pohon Rindang, Payung-Payung Gedung I, Kansas, Payung-Payung Kansas, Kelas Terbuka atau pun tempat-tempat lainnya yang punya aura mistik nan magis di sekitaran FIB UI.
Untuk mengingat-ngingat hal itu, saya lantas membuka Pengantar Redaksi PendarPena edisi I, November 2007. Di bawah ini, saya kutipkan utuh pengantar bertajuk “Memburu Pemburu di Prairi Ilmu Pengetahuan: Catatan Awal tentang Pendar Pena” itu:
Memburu Pemburu di Prairi Ilmu Pengetahuan: Catatan Awal tentang Pendar Pena
…kerja belum selesai, belum bisa
Memperhitungkan apa-apa…
(Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi)
Mengapa Ini Ada
Sokrates pernah mengajarkan kira-kira dua millennium yang lampau bahwa seseorang tidak dapat menemukan pengetahuan, kebijaksanaan, atau pun kebenaran dengan merenung seorang diri. Pengetahuan dan kebenaran, menurut Sokrates, tidak pernah tersimpan secara terkonsentrasi pada diri beberapa orang atau beberapa kelompok tertentu, sekali pun kelompok itu sangat terpelajar. Pengetahuan dan kebenaran ada secara tersebar, tersembunyi dalam diri setiap orang.
Demi kesadaran akan pengajaran Sokrates di atas, kami—beberapa orang yang menyadari luasnya padang prahiri ilmu pengetahuan dengan berbagai hasil buruan yang dikoleksi oleh setiap pemburu ilmu pengetahuan dan sekaligus menyadari keterbelakangan kami—pernah mencoba mengkreasikan beberapa kegiatan sebagai wadah berbagi ilmu. Bisa dicatat, kami pernah mengkreasi diskusi-diskusi non-formal berpayung Muara Senja. Dari modernisme, post-modernisme, realisme sosialis, dan magis sastra, Manikebu-Lekra, hingga cinta dari pandangan Eric Fromm serta beberapa topik lainnya, pernah kami perbincangkan kala matahari yang tenggelam menghitamkan rerumputan hijau FIB dan kelam langit memaksa teman-teman lain cepat-cepat pulang ke rumah.
Ramai memang diskusi senja kami pada awalnya. Namun seiring berjalannya waktu, seiring begitu banyak perubahan di sekeliling kami, seiring kami pun tergiur akan hal-hal yang sangat memanjakan rasa pada awalnya tapi berakhir dengan kekecewaan demi kekecewaan, kesakitan demi kesakitan yang menghujam hati kami berganti-ganti, satu demi satu teman-teman diskusi pergi hingga menyisahkan jumlah anggota yang tak lebih dari jari-jari tangan. Pada akhirnya, kami pun terlena dan meninggalkan kebiasaan diskusi itu.
Pada masa itulah kami terjebak dalam periode absennya “kehendak untuk berubah dan kemauan untuk mengubah”. Apa yang harus berubah itu? Apa yang harus diubah itu? Tak pasti memang. Kami hanya tahu, banyak hal yang salah dan banyak hal yang harus diubah. Salah satunya adalah diri kami sendiri, salah duanya adalah tulisan ini yang seharusnya bisa diubah menjadi lebih berguna, lebih tepat sasaran, lebih berani, dan salah tiganya mungkin kertas yang tengah berada di genggaman anda ini.
Salah memang bila tidak mengetahui apa yang ingin diubah itu. Tapi kami cukup berhibur diri, bahwasanya kami punya kesadaran untuk mencium sebuah kesalahan. Ini sama halnya ketika kami membaui bau busuk tanpa mengetahui dari mana ata apa sumber bau busuk itu. Lantas, kami akan berasumsi tentang bangkai tikus, kucing yang buang hajat di sembarang tempat, atau nasi basi yang teronggok di tempat sampah. Tetapi kam belum mau menjatuhkan vonis, apa sumber bau busuk itu. Tentu saja untuk memastikannya butuh proses. Begitu pula dengan kesadaran kami akan sesuatu yang salah, butuh proses untuk menemukan sumber kesalahan itu.
Keberadaan kami sebagai kaum yang diuntungkan oleh keadaan sosial untuk bisa mengenyam ilmu pengetahuan di sini, bukanlah sebuah pemberian melainkan sebuah tugas yang harus dilaksanakan. Banyak cara memang untuk melaksanakannya. Sudah sering pula hal itu dilakukan teman-teman di kampus ini. Namun satu yang rasanya alpa dan terlupakan; menghidupkan semangat berdiskusi, berdialektika di antara kita.
Di sinilah, di kampus yang jauh dari kebisingan jalan raya, jauh dari kesumpekan perkampungan kumuh Jakarta, kita berada. Tapi, janganlah kita tertidur dalam suasana yang menyenangkan ini. Harusnya di sini kekritisan dan semangat mengubah keadaan muncul. Salah satu caranya adalah dengan bertukar pendapat dan berbagi ilmu, membicarakan semua yang telah terjadi di sana, membincangkan semua yang telah timpang di sana.
Kami pun percaya pada pandangan beberapa orang bahwa pengetahuan dan kebenaran adalah suatu produk sosial dan jalan kepada pengetahuan dan kebenaran selalu merupakan jalan demokrasi. Maka, kami memimpikan hadirnya sebuah wadah berdiskusi yang demokratis, yang jauh dari pandangan mencemooh, syak wasangka, saling membenci di antara kita.
Di titik ini, rasanya kami perlu mendefinisikan diri. Karl Popper pernah membedakan sikap rasional dan sikap intelektual. Seorang rasional, kata Popper, akan memulai pekerjaannya dengan pengakuan, “saya tidak tahu”. Sehingga, bertanya pada orang lain adalah kewajiban utama dan penting. Sebaliknya, sikap intelektual akan dimulai dengan klaim, “saya tahu tentang beberapa soal penting dan karena itulah sebaiknya orang lain bertanya kepada saya”. Maka kami dalam kesadaran yang penuh telah memilih sikap rasional.
Sebagai seorang rasional, tentu saja kami tak akan jemu-jemunya bertanya, tak akan jemu-jemunya mendorong terjadi proses transfer pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan yang tersebar secara difus, ada di hampir setiap kepala di muka bumi ini. Maka Jurnal Pendar Pena yang bermodalkan semangat dan mimpi ini kami hadirkan pada anda, sebagai wadah berdiskusi, sebagai wadah pengkristalan ide-ide dari prairie ilmu pengetahuan.
Pendar Pena
Paradoks memang bila menamakan terbitan ini Pendar Pena padahal di saat menghadirkan tulisan Pendar Pena itu sendiri, semua dari kami menggunakan komputer. Pendar Pena dipilih sebagai nama terbitan ini hanyalah sebagai usaha mengenang masa lalu, masa ketika manusia masih menggunakan pena (yang sulit itu). Namun dengan keterbatasan tersebut, mereka mampu menghasilkan sesuatu yang sangat membanggakan, yang kita kenang sampai saat ini. Apakah hanya hasil karya mereka saja yang layak kita kenang? Harusnya semangat merekalah yang kita petik. Maka malulah kita generasi yang hidup di dunia serba gampang ini namun tidak melakukan apa-apa.
Sudah lama memang wacana menerbitkan sebuah jurnal ilmiah populer menggeliat di benak kami. Hampir enam bulan sudah rencana itu hanya menjadi sekadar rencana tanpa realisasinya. Rupanya kata-kata lama bahwa harus ada pemicu untuk berkobarnya semangat ada benarnya. Semangat kami berkobar-kobar ketika di bulan September lalu muncullah kekecewaan yang bermuara pada perdebatan dan selebaran-selebaran. Yah, tak lain seputar wacana Black Metal. Hal ini jugalah yang melatar-belakangi, mengapa tema musik yang kami angkat dalam edisi ini.
Kami sangat-sangatlah sadar, edisi pertama Pendar Pena ini jauh dari sempurna. Namun kami akan terus berbenah diri, akan terus belajar dari kesalahan-kesalahan. Bukankah manusia dari masa ke masa selalu memandang kesalahan sebagai faktor yang memungkinkan terciptanya kebenaran? Maka itu, kritikan, masukan, umpatan dan cacian sangat kami nanti-nanti. Akan semakin indah dan bergairahlah pekerjaan ini bila banyak kritikan pedas dan caci-cacian yang dialamatkan pada kami.
Terlepas dari semua itu, Pendar Pena kini hadir. Beribu terima kasih pantaslah dihaturkan pada para kontributor; Andrey E.V. Samosir yang rela meluangkan waktunya untuk membagikan pengetahuan di bidang Black Metal, dan Bung Jefri Sibarani yang dengan senang hati membongkar-bangkir tumpukan puisinya di bawah bantal lantas memberikannya pada kami. Tanpa antusias dari kedua orang ini, mustahil Pendar Pena edisi perdana ini mengada. Hormat dan syukur pantas juga diujarkan pada semua teman yang membantu kami secara finansial. Terakhir dan terpenting, ucapan terima kasih pantas diutarakan bagi anda sekalian yang berniat meluangkan waktu untuk membaca tulisan-tulisan ini. Tulisan takkan menjadi tulisan tanpa pembaca, sama seperti persahabatan takkan menjadi persahabatan tanpa kasih, perpustakaan takkan menjadi perpustakaan tanpa informasi, permainan sepak bola takkan menjadi permainan sepak bola tanpa bola.
Kami tidak ingin menipu diri bahwa ada kepuasan dan kesomobongan tertentu yang muncul ketika kami menghadirkan Pendar Pena ini. Kami puas, akhirnya salah satu mimpi telah kami capai, bahkan sedikit menyombongkan diri sebagai kaum yang menyadari keterpurukan dan menginginkan perubahan. Pablo Picasso, seorang pelukis, pernah berkata, “lukisan saya yang paling memuaskan saya adalah lukisan yang akan saya buat nanti”. Ini menyadarkan kami bahwasanya keberpuasan diri dan kecongkakan yang buta atas suatu hasil kreativitas adalah kuburan terdalam untuk proses kreativitas itu sendiri.
Seorang sahabat pernah mengeluhkan karya fotografinya yang katanya belum juga bagus, belum juga mencapai kesempurnaan. Bagi kami, ini adalah sikap yang positif dari orang yang kreatif. Tapi tentu saja, itu bukan menjadi alasan untuk kita berendah diri. Apa pun hasilnya, suatu yang pasti, kita telah berkarya dan kita harus terus berkarya. Apa yang kami lakukan saat ini harusnya belum memuaskan kami, malah mendorong kami untuk berbuat sesuatu yang lain lagi, sesuatu yang lebih berguna lagi, sesuatu yang lebih berkualitas lagi, dan sesuatu yang lebih memuaskan lagi.
Yah, masih ada lebih banyak hal yang harus kami lakukan, yang lebih tepat guna untuk sebuah perubahan yang kami ingini. Tentu saja bukan sampai di situ saja. Apa yang kami lakukan sebenarnya hanyalah pendaran candil kecil yang semoga bisa menyuluh berkobarnya api unggun, berkobarnya kebakaran dalam diri anda sekalian dan terbakarlah kalian semua. Selamat membaca, berdiskusilah tentang semua yang ada di sini, tanggapilah dan perluaslah semua yang anda anggap salah, semua yang anda anggap masih kurang. “KITA BARU DI GARIS START KAWAN!! GARIS FINISH MASIH JAUH, MASIH TERSEMBUNYI DI BALIK BUKIT SANA.”
Berto Tukan
Jurnal Populer Alternatif PendarPena terbit sejak November 2007 hingga Maret 2010 setiap bulannya. Anggota utamanya tentu saja adalah mereka-mereka yang hingga kini masih menghuni sebuah WAG bernama “PendarPena”, lengkap dengan icon logonya yang agak-agak katro jika dilihat dengan kacamata sekarang. Di sana ada saya, Sulaiman Harahap, Hendra Kaprisma, Tia Septian, Oscar Ferry, dan Mufti Ali S.
Pada edisi perdana, redaksinya adalah Berto Tukan, Sulaiman Harahap, Tia Septian. Sedangkan perihal Sirkulasi Dana: Muft Ali S., Enos. Pada edisi kedua susunan redaksinya mengalami perubahan yakni Berto Tukan, Sulaiman Harahap, Tia Septian, Mufti Ali S. Pada edisi ketiga ada semacam perubahan signifikan pada semacam redaksinya yakni: Penanggung Jawab Dewan Redaksi; Pemimpin Redaksi Berto Tukan; Redaktur Pelaksana Sulaiman Harahap; Redaksi Hendra Kaprisma, Ahmad Fikri Hadi; Tata Letak Tia Septian; Editor Khusus Tri Subhi; Sirkulasi Mufti Ali. S. Pada Nomor 5 Tahun I berubah lagi menjadi Penanggung Jawab Rapat Dewan Redaksi; Pemimpin Redaksi Berto Tukan; Redaksi Sulaiman Harahap, Hendra Kaprisma, Mufti Ali S., Tia Septian. Pada Nomor 6 Tahun I, pada Redaksi bertambah satu nama, Firly Afwika. Pada Nomor 11 Tahun I, ada perubahan pada Redaksi yakni Firly Afwika sudah tak ada di sana, namun ada penambahan yakni Penata Grafis dan Ilustrator Tri Haptiko Sukarso.
Susunan seperti itu bertahan beberapa edisi dan berubah pada edisi terakhir; Penerbit PendarPena; Penanggung Jawab Dewan Redaksi; Pemimpin Umum Sulaiman Harahap; Pemimpin Redaksi Berto Tukan; Redaksi Oscar Ferry, Hendra Kaprisma, Mufti Ali Sholih; Reporter Hedwi Prihatmoko, Rachman C. Muchlas; Sekretaris Redaksi Tia Septian; Editor David Laurens; Penata Grafis & Letak Tri Haptiko Sukarso; Ilustrator Rizqi M. Apriliana, Yovantra Arief; Staf Keuangan Ana Ainiatul Farihah; Staf Sirkulasi Ibnu Rizal, Yudhistiro Nugroho.
Saya sendiri sudah lupa, mengapa PendarPena ini tiba-tiba berhenti terbit 🙂
Anda bisa mendapatkan versi elektronik Jurnal Populer Alternatif PendarPena itu di bawah ini:
- Edisi I, November 2007 (Tema: Musik)
- Edisi II Desember 2007 (Tema: Film dan Kita)
- Edisi III, Februari 2008 (Tema: Jalan Sunyi Komik)
- Edisi IV, Maret 2008 (Tema: Fashion dan Kita)
- No V, April 2008 (Tema: Kuliner, Makanan)
- Nomor 6 Tahun I, Mei 2008 (Dunia Kita, Dunia Sastra)
- Nomor 7 Tahun I, Juni 2008 (Tema: Jakarta oh Jakarta)
- Nomor 8 Tahun Pertama, Juli 2008 (Tema: Transportasi Kita)
- Nomor 9, Tahun Pertama, Agustus 2008 (Tema: Islam Pribumi Nusantara)
- Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008 (Tema: Kiri Indonesia)
- Nomor 11, Tahun Pertama, Oktober 2008 (Tema: Maritim-Mari Kembali ke Laut)
- Nomor 12, Tahun Pertama, November 2008 (Tema: Bahasa)
- Nomor 1, Tahun 2, Desember 2008. (Tema: Media Massa dan Semangat Jaman)
- Vol. 2, Nomor 2, Januari 2009 (Tema: Multikulturalisme di Tengah Kota)
- Vol. 2, Nomor 3, Februari 2009 (Tema: Cinta Sebagai Komoditi Budaya Populer)
- Vol. 2, Nomor 4, Maret 2009 (Tema: Mitos dan Kearifan Lokal)
- Vol. 2, Nomor 5, (Tema: Budaya Pemilu Kita)
- Vol. 2, Nomor 6, Mei 2009 (Tema: Waktu Senggang)
- Vol. 2, Nomor. 07, Maret 2010 (Tema: Apa dan Siapa Mahasiswa)